Bangsa kita telah 68 tahun merdeka. Waktu yang cukup lama, agaknya kita
perlu merenungkan kembali arti kemerdekaan, agar kita dapat memaknai kembali
ucapan terima kasih secara lebih dalam. Kata ini mudah diucapkan, kedua kata
ini sama-sama terdiri dari dua susunan kata; terima kasih, matur nuwun, dalam
bahasa jawa, tapi tanggung jawab dari dua susunan kata tersebut amat besar dan
dalam sekali. Jadi kalau kita ucapkan terima kasih itu terlalu kecil, dibanding
jasa-jasa para pendahulu kita.
Perumpamaannya, kita menerima nasi sudah masak, tinggal makan. Oleh sebab itu kita jangan sampai saling berebut. Kasihan yang menanak, kasihan yang mencangkul, kasihan yang mengairi, kasihan yang panen, kasihan yang menjemur, kasihan yang menggiling, kasihan yang bersihkan, kasihan yang masak, kasihan yang menyiapkan. Jadi kalau makan nasi saja, kita sudah berhutang budi pada sekian banyak orang.
Orang tua, karena sayangnya pada anak cucunya, boleh dikata kepala dijadikan kaki, kaki dijadikan kepala. Karena sayangnya pada anak cucunya, walaupun haram diambil dikasihkan ke anak, lalu ditanggung sendiri, karena terpepet, demi kehidupan putra-putrinya.
Satu sisi melihat kenyataan itu saya kagum. Ibu-ibu yang jual nasi pagi hari, jam dua malam mereka sudah bangun. Tiada lain demi anak-anaknya. Setelah selesai dagang mereka mencuci pakaian, menyiapkan makan suami, mengurus anak-anak, belanja. Mereka paham betul apa yang disukai suaminya, yang disukai anak-anaknya meskipun itu hal kecil. Itulah hebatnya ibu-ibu.
Sementara bapak-bapak yang jadi tukang becak semisal, pagi-pagi keluar menarik beca. Perut masih kosong, bisa masuk teh hangat saja sudah sangat untung. Menarik beras dua kuintal kepasar sebenarnya tidak mungkin kuat, perut kosong tapi dipaksakan demi uang tujuh ribu untuk makan anak-anak.
Dari pasar dapat muatan lagi, sementara peluh-keringat masih mengalir, diangkut demi mendapat beras dua kilogram. Terkadang waktu makan masih mikir, kalau makan telur, beras dua kilo berkurang, akhirnya tiap makan; tempe krupuk. Seandainya tempe krupuk bisa ngomong, pasti akan bilang; kamu tidak bosan-bosan makan aku. Tapi apa hendak dikata, kerupuk-tempe tidak terlihat, yang kelihatan anak dan istri. Orang tua-orang tua kita menyekolahkan anak-anaknya setinggi mungkin, walaupun mereka sendiri tidak tamat sekolah. Dalam ungkapan ‘Arab; ma fil aba fil abna, kalau orang tua tidak mendapat, anak harus dapat.
Jadi kalau kita mau berpikir jauh atas apa yang sudah disuguhkan orang tua, jangankan nasi ada lauk pauknya, nasi saja kita sudah berterimakasih. Pasti kita akan berterimakasih pada mereka, dan orang yang mengerti terimakasih pasti akan berdoa; ya Allah jangan Engkau ambil aku terlebih dahulu, sebelum aku membahagiakan kedua orang tuaku. Ya Allah, panjangkanlah umur kedua orang tuaku, bahagiakanlah mereka, berilah kesehatan lahir batin, sehingga aku dapat memulikannya lebih dari yang kami harapkan. Itulah seorang anak yang paham arti terimakasih.
Itu sekup yang kecil, sekup keluarga, kalau kita tarik lebih jauh dari
keluarga kita tarik ke anak bangsa. Terang saja, bagi orang yang sadar
dilahirkan ditanah air ini, akan meningkatkan rasa cinta pada Republik dan
tanah air. Keturunan boleh-boleh saja keturunan Cina, keturunan Arab, keturunan
Belanda, karena yang dituntut Anda dilahirkan di tanah air ini.
Sebab itu anda dituntut untuk mencintai negeri tercinta ini. Mampukah kita menjadi golongan yang tidak mengecewakan orang tua, itu dalam keluarga. Kalau kita tarik dalam sekup Nasional, kitapun ditanya, sejauhmana kita sebegai generasi penerus, tidak akan mengecewakan pejuang-pejuang kita. Sebenarnya mereka di baka menanti atas jawaban kita. Apakah kita menjadi bangsa yang cengeng? Bangsa yang glamour, manja? Bangsa yang mudah dipicu? Ataukah kita menjadi penerus yang siap membangun bangsa?
Semulia-mulia segala utusan Allah, ditempatkan di padang pasir bisa membangun. Tanah kering menjadi basah. Negara kita bukanlah padang pasir, sejak dahulu hingga sekarang negara kita ibarat karpet yang hijau. Mestinya kita jangan tertidur nyenyak karena hijaunya itu. Sebab yang mencangkul menunggu kita semua untuk membangun bangsa ini. Sehingga melahirkan tokoh-tokoh yang bisa menjawab tantangan umat, tantangan masa depan.
Nabi Saw. pernah berpesan pada keturunannya; wahai anak cucuku, jangan mempermalukan aku dihapan Tuhan yang Maha Kuasa, umatku berdatangan dengan membawa banyak amal, budi pekerti, sementara engkau hanya membawa ke-aku-annya, karena keturunannya.
Kahawatiran baginda Nabi pada generasi penerusnya sejauh itu. Saya kira sesepuh dan para pejuang kita sama kalau kita artikan; ‘wahai generasiku jangan kalian permalukan aku dihadapan Allah, dihadapan Tuhanmu. Lihat bangsa lain bisa membangun negaranya. Mulai sektor ekonomi, ketahanan, dan bisa meningkatkan rasa jati dirinya, nasionalisme yang kuat, merasa mencintai, handar bening, memiliki, bukan sekedar basa-basi memiliki. Sedangkan kalian hanya tidur, sedangkan kalian hanya santai-santai, membanggakan inilah negeri kami yang subur, gemah ripah loh jinawi’.
Pasti malu rasanya para sesepuh kita. Bangun, bangun, jangan terlambat, yang menunggu banyak. Generasi kita menunggu. Kita teriakan dengan perilaku kita; bukan lagi Indonesia Merdeka, tetapi Indonesia Jaya, Indonesia Jaya, Indonesia Jaya.
Sebab itu anda dituntut untuk mencintai negeri tercinta ini. Mampukah kita menjadi golongan yang tidak mengecewakan orang tua, itu dalam keluarga. Kalau kita tarik dalam sekup Nasional, kitapun ditanya, sejauhmana kita sebegai generasi penerus, tidak akan mengecewakan pejuang-pejuang kita. Sebenarnya mereka di baka menanti atas jawaban kita. Apakah kita menjadi bangsa yang cengeng? Bangsa yang glamour, manja? Bangsa yang mudah dipicu? Ataukah kita menjadi penerus yang siap membangun bangsa?
Semulia-mulia segala utusan Allah, ditempatkan di padang pasir bisa membangun. Tanah kering menjadi basah. Negara kita bukanlah padang pasir, sejak dahulu hingga sekarang negara kita ibarat karpet yang hijau. Mestinya kita jangan tertidur nyenyak karena hijaunya itu. Sebab yang mencangkul menunggu kita semua untuk membangun bangsa ini. Sehingga melahirkan tokoh-tokoh yang bisa menjawab tantangan umat, tantangan masa depan.
Nabi Saw. pernah berpesan pada keturunannya; wahai anak cucuku, jangan mempermalukan aku dihapan Tuhan yang Maha Kuasa, umatku berdatangan dengan membawa banyak amal, budi pekerti, sementara engkau hanya membawa ke-aku-annya, karena keturunannya.
Kahawatiran baginda Nabi pada generasi penerusnya sejauh itu. Saya kira sesepuh dan para pejuang kita sama kalau kita artikan; ‘wahai generasiku jangan kalian permalukan aku dihadapan Allah, dihadapan Tuhanmu. Lihat bangsa lain bisa membangun negaranya. Mulai sektor ekonomi, ketahanan, dan bisa meningkatkan rasa jati dirinya, nasionalisme yang kuat, merasa mencintai, handar bening, memiliki, bukan sekedar basa-basi memiliki. Sedangkan kalian hanya tidur, sedangkan kalian hanya santai-santai, membanggakan inilah negeri kami yang subur, gemah ripah loh jinawi’.
Pasti malu rasanya para sesepuh kita. Bangun, bangun, jangan terlambat, yang menunggu banyak. Generasi kita menunggu. Kita teriakan dengan perilaku kita; bukan lagi Indonesia Merdeka, tetapi Indonesia Jaya, Indonesia Jaya, Indonesia Jaya.
Habib Lutfi Bin Yahya
Posting Komentar