Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menyampaikan
bahwa kita boleh bersedekah atas nama orang yang telah meninggal dunia.
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ
هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ
رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أُمِّي
افْتُلِتَتْ نَفْسُهَا وَأُرَاهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ أَفَأَتَصَدَّقُ
عَنْهَا قَالَ نَعَمْ تَصَدَّقْ عَنْهَا
Telah bercerita kepada kami Isma'il berkata telah
bercerita kepadaku Malik dari Hisyam bin 'Urwah dari bapaknya
dari 'Aisyah radliallahu 'anha bahwa ada seorang laki-laki yang
berkata kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam: Sesungguhnya ibuku telah
meninggal dunia secara mendadak dan aku menduga seandainya dia sempat berbicara
dia akan bershadaqah. Apakah aku boleh bershadaqah atas namanya? Beliau
menjawab: Ya bershodaqolah atasnya. (HR Muslim 2554).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menyampaikan
bahwa sedekah tidak selalu dalam bentuk harta.
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ أَسْمَاءَ
الضُّبَعِيُّ حَدَّثَنَا مَهْدِيُّ بْنُ مَيْمُونٍ حَدَّثَنَا وَاصِلٌ مَوْلَى
أَبِي عُيَيْنَةَ عَنْ يَحْيَى بْنِ عُقَيْلٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ يَعْمَرَ عَنْ
أَبِي الْأَسْوَدِ الدِّيلِيِّ عَنْ أَبِي ذَرٍّ أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِالْأُجُورِ
يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّي وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ
أَمْوَالِهِمْ قَالَ أَوَ لَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ مَا تَصَّدَّقُونَ
إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ
تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةً وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ
صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةٌ
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad bin
Asma` Adl Dluba'i Telah menceritakan kepada kami Mahdi bin Maimun
Telah menceritakan kepada kami Washil maula Abu Uyainah, dari Yahya
bin Uqail dari Yahya bin Ya'mar dari Abul Aswad Ad Dili
dari Abu Dzar bahwa beberapa orang dari sahabat Nabi shallallahu
'alaihi wasallam bertanya kepada beliau, Wahai Rosulullah, orang-orang kaya
dapat memperoleh pahala yang lebih banyak. Mereka shalat seperti kami shalat,
puasa seperti kami puasa dan bersedekah dengan sisa harta mereka. Maka beliau
pun bersabda: Bukankah Allah telah menjadikan berbagai macam cara kepada kalian
untuk bersedekah? Setiap kalimat tasbih adalah sedekah, setiap kalimat takbir
adalah sedekah, setiap kalimat tahmid adalah sedekah, setiap kalimat tahlil
adalah sedekah, amar ma'ruf nahi munkar adalah sedekah (HR Muslim 1674).
Kita boleh bersedekah dengan dzikrullah yakni tasbih,
takbir, tahmid, tahlil, membaca Al Fatihah, membaca Yasin, bahkan
mengkhatamkan Al Qur'an.
Mereka membantah dengan pendapat masyhur (pendapat secara
umum) Imam As Syafi'i bahwa pahala bacaan tidak sampai. Padahal ada penjelasan
pahala bacaan yang bagaimana yang tidak sampai.
Al Imam An Nawawi adalah murid Al Imam Syafi’i yang
bersambung sanadnya kepada beliau, maka kita mengambil pendapat dari muridnya
karena muridnya lebih tahu di saat seperti ketika Al Imam Syafi’i berbicara,
sebagaimana yang diriwayatkan berikut,
Suatu waktu Al Imam Syafi’i ditanya oleh seseorang yang
kaya raya, dia berkata: “wahai Al Imam, aku berjima’ dengan istriku di siang
hari bulan Ramadhan, apa yang harusnya aku lakukan?”, maka Al Imam berkata : “berpuasalah 2 bulan berturut-turut,
dan jika terputus sehari saja maka harus diulang kembali dari awal”.
Maka orang itu berkata : “tidak ada yang lain kah”, Al Imam
menjawab : “tidak ada”.
Kemudian datang seorang miskin dan bertanya : “wahai Al
imam, aku berjima’ dengan istriku di siang hari bulan Ramadhan, apa yang harus
aku perbuat?”
Al Imam menjawab : “berilah makan 60 orang miskin”, orang
itu berkata : “ tidak ada yang lainkah wahai Al Imam?”, Al Imam Syafi’I
menjawab : “tidak ada”.
Maka muridnya bertanya : “ wahai Al Imam mengapa engkau
katakan demikian kepada orang yang bertanya, padahal memberi makan 60 orang
miskin atau berpuasa 2 bulan berturut-turut keduanya bisa dilakukan?!”,
Maka Al Imam berkata : “karena orang yang pertama adalah
orang yang kaya raya, jika dikatakan kepadanya agar memberi makan 60 orang
miskin maka bisa jadi ia akan berkumpul dengan istrinya setiap hari di siang
bulan ramadhan, dan orang yang kedua karena dia orang miskin jika disuruh puasa
maka hal itu sangat mudah baginya karena ia telah terbiasa dengan keadaan lapar
setiap harinya, maka disuruh agar memberi makan 60 orang miskin, dan hal ini
sulit baginya namun supaya tidak diulanginya lagi perbuatan itu”.
Demikian fatwa Al Imam Syafi’i, maka Al Imam Sayfi'i mengatakan
bahwa bacaan Al Qur’an tidak sampai kepada yang wafat, karena orang-orang kaya
yang di masa itu jauh hari sebelum mereka wafat, mereka akan membayar
orang-orang agar jika ia telah wafat mereka menghatamkan Al Qur’an berkali-kali
dan pahalanya untuknya, maka Al Imam Syafi’i mengatakan bahwa pahala bacaan Al
qur’an tidak bisa sampai kepada yang wafat.
Jadi syarat sampai pahala bacaan tergantung niat (hati), kalau niat tidak lurus seperti niat "jual-beli" maka pahala bacaan tidak akan sampai.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya
Allah tidak melihat kepada rupa kalian, tetapi Allah melihat kepada hati kalian.”
(HR Muslim).
Hal senada juga diungkapkan oleh Syaikh Ahmad bin Qasim al-Ubadi
dalam hasyiah Tuhfatul Muhtaj Jilid VII/74, “Kesimpulan bahwa jika seseorang meniatkan pahala
bacaan kepada mayyit atau dia mendoakan sampainya pahala bacaan itu kepada
mayyit sesudah membaca Al-qur’an atau dia membaca disamping kuburnya, maka hasillah
bagi mayyit itu seumpama pahala bacaannya dan hasil pula pahala bagi orang yang
membacanya ”.
http://www.facebook.com/groups/piss.ktb/doc/283706181652197/
oleh Ust. Zon Jonggol
Posting Komentar