Bagi
beberapa kalangan, haji bukanlah hal sulit, baik dari sisi keuangan maupun
administrasi. Beberapa kalangan tidak perlu antri untuk bisa mendapatkan kuota
haji. Para ahli agama Islam terkemuka, para pejabat pemerintahan, dan para
saudagar teras atas menjadikan haji sebagai rutinitas tahunan. Ada banyak
sekali alasan mengapa semua berpacu menjalankan ibadah haji, termasuk alasan
bahwa haji menjadi arena pertaubatan setelah setahun lamanya merasa sering
melakukan dosa.
Namun
apakah haji berkali-kali itu lebih utama?
Forum Bahtsul Masail Diniyah
Waqiiyyah pada Muktamar ke-27 Nahdlatul Ulama di Situbondo, 8-12 Desember 1984
membahas tentang keutamaan dana “haji ghoiru wajib” untuk membiayai amaliyah
yang bersifat sosial kemasyarakatan.
Dipertanyakan:
“Bagaimana pandangan Muktamar terhadap keutamaan penggunaan dana haji ghairu
wajib dibandingkan dengan untuk membiayai amaliyah yang bersifat sosial
kemasyarakatan?"
Muktamirin
mendefinisikan haji ghoiru wajib sebagai haji yang dihukumi fardlu kifayah atau
sudah cukup jika diwakilkan kepada orang lain saja, yakni bagi para mukallaf
(orang Islam yang telah dibebani kewajiban agama) yang menjalankan haji pada
kedua kalinya, ketiga kali dan seterusnya.
Haji
ghoiru wajib dapat pula berarti haji sunnah yang dilakukan oleh anak kecil yang
belum baligh dan orang gila. Muktamirin juga menegaskan definisi amal sosial
kemasyarakatan. Sama dengan haji ghairu wajib, amal sosial itu ada kalanya
fardlu kifayah, dan ada pula yang sunnah.
Dikatakan,
melaksanakan haji ghairu wajib dan amal sosial pada suatu waktu sama-sama
fardlu kifayah dan kadangkala sama-sama sunnah. Lalu manakan yang lebih utama?
Sebagian
Muktamirin berpendapat bahwa haji, sekalipun ghairu wajib, tetap utama dibanding
dengan ibadah-ibadah yang lain, karena mencakup harta dan badan. Alasan
lainnya, bahwa haji itu menghimpun seluruh pengertian ibadah. Orang yang
berhaji seakan-akan melaksanakan serangkaian ibadah, entah shalat, puasa,
i’tikaf, juga amal sosial, dan bahkan berjuang di jalan Allah. Demikian antara
lain mengutip pendapat Qadhi Husain dalam kitab Mughnil Muhtaj.
Sementara
itu Muktamirin yang berpendapat bahwa menyalurkan dana haji ghairu wajib untuk
kepentingan sosial itu mesti lebih utama berpegang pada taushiyah Imam Syafi’i
seperti dikutip dalam kitab Idhahu Muhyis Sunnah karya Ibnu Hajar
Al-Haitami berikut ini:
فَرْضُ الصَّدَقَةِ أَفْضَلُ مِنْ فَرْضِ الْحَجِّ وَنَفْلُهُ أَفْضَلُ مِنْ نَفْلِهِ
Bahwa
kewajiban menyalurkan dana sosial itu lebih utama dari pada kewajiban haji, dan
kesunnahan menyalurkan dana sosial itu lebih utama dari pada haji sunnah.
Nah,
pada saat jumlah jamaah haji dibatasi karena alasan keamanan dan kenyamanan
pelaksanaan ibadah haji mengingat terlau berjubelnya umat Islam yang ingin
mengerjakannya, dan pada saat masyarakat lebih membutuhkan dana sosial dari
pada melihat orang berhaji berkali-kali, maka bukan tidak mungkin pendapat yang
kedua itu lebih utama.
KH. A. Khoiril Anam
Posting Komentar