Salah satu contoh etika yang kelima
dalam makam tajrid ini adalah seorang hamba yang dalam masa lalunya tersesat
dari jalan Alloh. Hamba itu selalu menuruti hawa nafsunya dan maksiat kepada
Alloh. Lalu dia mendapatkan hidayah oleh Alloh SWT dan kembali pada jalur
Islam. Dia mulai melaksanakan perintah Alloh dan menjauhi larangannya. Sholat,
puasa dan beribadah pun mulai dia kerjakan.
Jika sebelumnya syaitan mampu
membujuk-bujuk, menipunya dengaan melakukan dosa dan menerjang
larangan-larangan Alloh, maka sekarang setelah dia mendapat hidayah dan kembali
kejalan yang lurus. Syaitan tidak akan menggodanya dengan cara yang sama. Namun
dengn segala kepintaranya syaitan akkan melakukan cara-cara lain untuk kembali
menyesatkan hamba Alloh tadi.
Syaitan membujuknya dengan berkata
"Sekarang kamu telah menjadi hamba Alloh yang sholeh, sholat fardlu dengan
sempurna dan puasa ramadlan dengan sabar. Lihatlah orang-orang sekitarmu yang
masih terjerumus dalam kemaksiatan sedangkan kamu telah menjauhinya. Apakah
kamu tidak merasa bahwa sekarang telah menjadi waliyulloh yang dengan dekat
dengan-Nya?
Apakah hamba Allioh tadi terlena
dengan tipu daya syaitan ini dan menyerap seperti tadi sehingga menjadi
keyakinan dirinya, maka dia akan kembali pada jalur kesesatan sebagaimana
sebelum mendapat hidayah. Bahkan kesesatan kali ini sangat besar bahayanya
karena ujub (Kesombongan) yang timbul pada dirinya merupakan ancaman bagi
kerusakan dirinya. Hal ini tak lain adalah penyakit yang paling parah dalam
hatinya dan inilah yang disebut Alloh sebagai dosa bathin (tak terlihat).
Syaitan memang memasang perangkap
yang berbeda pada tiap individu. Perangkap ini disesuaikan dengan tingkat dan
posisi individu tadi. Orang yang telah beribadah dibujuk dengan penyakit ujub
dan sugesti bahwa dia telah menjadi makhluk Alloh yang mulia, sholeh dan telah
menjadi wali-Nya, dan jika menjadi orang yang rugi dan tekah merusak semua amal
ibadahnya.
Kebodohan Salik
Perasaan salik bahwa dirinya sudah
mulia dan mendapat apa yang telah dicita-citakan adalah suatu kebodohan. Kenaoa
dia berpikir bahwa untuk melaksanakan hak-hak Alloh itu ada batasnya. Kenapa
dia tidak berkkaca pada Rosululloh yang telah mendapat derajat 'ulya, dihadapan
Alloh saja masih meras kurang dakam memenuhi hak-hak-Nya.
Jika memang dalam beramal itu ada
batasnya, apakah mungkin bagi Nabi atau wali untuk bebas dari nikmat-nilmat
yang telah diberikan Alloh kepadanya?
Jalan lurus yang telah ditempuh
Salik merupakan anugrah dan pertolongan alloh swt. Mulut yang dia gerakkan
untuk bersyukur, mata yang dia gunakan untuk melihat, telinga yang digunakan
untuk mendengar dan kaki yang dia gunakan untuk berjalan, kesemuanya merupakan
augrah dan pemberian Allh swt. Begitu juga kekuatan untuk dapat sholat dengan
sempurna, harta yang dia shodaqohkan dan akal yang dia gunakan utuk berfikir
adalah juga pemberian dan pertolongan Alloh swt.
Dan ketika seorang hamba semakin
dekat dengan Alloh, maka Alloh akan menambah nikmat dan anugrah kepadanya. Lalu
bagaimana mungkin dia dimudahkan untuk melaksanakantugas-tugas Alloh dengan
sempurna, sementara dia sangat ceroboh dengan merasa telah menjadi orang yang
mulia.
Seorang Salik yang baru mendapat
hidayah dan baru mengenal Allioh memang tidak bisa memikir lebih jauh hal
tersebut. Ironinya dia hanya berasumsi bahwa dirinya telah menjalankan
kewajiban kkepada Alloh dan telah sholat fardlu pada waktunya. Dari sinilah
syaitan dengan mudah menyesatkannya dengan bisikan-bisikan dan tipu daya.
Ilaj (Penyembuhan Salik)
Jalan yang lurus harus ditempuh oleh
Salik agar terhindar dari penyakit diatas tiada lain adalah dengan perpegang
teguh dengan ucapan Ibnu 'Atho'illah "Salik harus menjawab bisikan syaitan
dengan mengatakan 'Bagaimana munkin aku bisa wushul (sampai) ke derajat yang
dekat dengan Alloh ? dimasa dulu aku selalu melakukan kesalahan-kesalahan dan
sekarang aku juga masih tenggelam dalam kecerobohan. Aku hanya sholat fardlu
dan puasa romadlon, sementara kesunnatan-kesunnatan tidak aku lajujan. Apakah saya
sudah khusyu' dan melupakan dunia ketika aku sholat ? apakah aku telah menjauhi
hal-hal yang diharamkan Alloh ? lalu seberapa besar taatku kepadaAlloh jika
dibandingkan dengan nikmat dan anugrahnya. Saya selalu tenggelam dalam
perjalanan awal, sementara hasratku untuk mencari ridlo Alloh selalu jauh dan
menjauh didepanku.
Inilah makna ucapan Ibnu
'Atho'illah, cita-cita Salik tak ingin berhenti ketikka telah terbuka hatinya
kecuali suara kebenaran mengatakan "Apa yang kamu cari masih
didepanmu"
Jika salik mampu menghindari bisikan
syaitan dan mengambil jalan diatas (Ubudiyyah) hal itu akan menjaganya dari
tipu daya syaitan. Bahkan dia akan semakin tambah dalam beribadah dan taat
kepada Alloh. Sia tidak akan semakin puas dengan amal-amal fardlu saja, namun
akan melakukan amal-amal sunnah, merutinkan dzikir dan membaca Al-Qur'an. Dia
juga akan merasa dirinya kurang sehingga dia mulai melakukan Qiyam Al-Lail dan
jika sholat seakan-akan dia akan meninggalkan dunia ini.
Dengan cara ini pula ketika Salik
semakin dekat dengan Alloh maka dia semakin merasakan keagungan dan besarnya
kekuasaan Alloh. Dia juga akan merasa bahwa dirinya adalah hamba yang kurang
dan lemah di hadapan Alloh dan perasaan ini akan selalu tertancap di dalam
dirinya smapai mati.
Jalan lain yang harus ditempuh salik
adalah dengan selalu berdzikir kepada Alloh dengan sungguh-sungguh,
mengangan-angan sifat-Nya dan kebaikan yang telah diberikan Alloh terhadapa
hambanya. Dengan kata lain dia harus mendalami ma'rifatulloh dengan metode
Al-Qur'an sebagaimana yang telah dilakukan para ulama' bukan metode yang di
demonstrasikan oleh para orientalis.
Jika kita mau melihat keadaan
prang-orang sholeh setelah Nabi Muhammad SAW, yaitu orang-orang yang menempuh
dan mengikuti sunnah Nabi maka kita akan menemukan bahwa semakin mereka
ma'rifat dan dekat kepada aAlloh maka mereka semakin merasa hina dan bertambah
takut kepada Alloh.
Disebutkan di dalam biografi
Abdulloh ibn Mubarok bahwa suatu ketika beliau menuju air zam-zam saat beliau
haji, lalu beliau berkata "Ya Alloh, Abdulloh bin muammil menceritakan
hadist kepadaku dari Ibnu Zubaeir dari shohabat Jabir, dari Rosululloh SAW,
beliau bersabda : "Air zam-zam diminum sesuai tujuannya", Ya Alloh ,
saya meminumya untuk dahagaku dihari kiamat.
Seandainya kita yang meminum air
zam-zam dan mengetahui hadist tersebut pasti kita akan meminta keinginan dan
kebahagiaan dunia kita. Lalu apa perbedaan antara kita dan Ibnu Mubarok ?.
Perbedaannya adalah kita merasa
telah memenuhi hak-hak Alloh, kita telah berdakwah, mengajar dan beribadah.
Lalu kenapa kita takut dahaga dihari kiamat ? pasti kita akan mendapat pahala
dan dimuliakan oleh Alloh. Oleh karena itu kita meminta kebutuhan duniawi.
Adapun Ibnu Mubarok, semakin dekat
dan ma'rifat kepada Alloh, maka beliau semakin merasa kurang dan belum memenuhi
hak-hak Alloh. Jadi, ketika beliau berada pada makam yang mustajab (do'a
terkabulkan) maka beliau tidak meminta hal-hal duniawi melainkan hanya
memikirkan kelak di hari qiamat. Jadi, ketika berdo'a beliau berkata "Ya
Alloh saya meminum air zam-zam agar engkau menjagaku dari dahaga di hari
qiamat.
Ibnu 'Atho'illah menceritakan bahwa
suatu ketika ada seorang pejabattinggi dating kepada ayahnya. Setelah
dipersilahkan duduk, pejabat tersebut berkata pada ayahnya "wahai Syekh,
doakanlah aku, karena aku ini orang durhaka", kemudian dijawab oleh ayah
beliau "Apakah kamu menjadi orang baik dengan berkata seperti itu ? Apakah
benar kamu itu orang jelek ? jika memang demikian maka mintalah rahmat dan
ampunan kepada Alloh SWT. Kemudian ayah beliau berbicara tentang hak-hak Alloh
yang wajib dilaksanakan seorang hamba dan tentang lemahnya hamba tadi dalam
menjalankannya. Ayah beliau juga menyuruhnya agar selalu rendah diri ketika
beribadah dan melaksanaknnya dengan sungguh-sungguh.
Memang kesempurnaan itu tidak ada
batasnya, dan hak-hak Alloh akan selalu dipuncak Salik. Oleh karena itu, Salik
tidak boleh terbujuk oleh syaitan dan selalu ingat apa yang telah dijabarkan
oleh Ibnu 'Atho'illah. Salik harus meyakini bahwa semakin dia bertambah taqwa
maka Alloh akan semakin menambah anugrahnya dan Salik juga harus yakin bahwa
dia membutuhkan rahmat dan ampunan Alloh SWT.
Sumber: Hikam
Al-'Atho'iyyah dan Tafsir
Ash-Showy (Al-Hidayah) oleh KH
Muhammad Wafi Maimoen, Lc
Posting Komentar