Jl. Kudus Colo Km. 5, Belakang Taman Budaya Bae Krajan, Kudus
Home » » Rakus Beramal (2)

Rakus Beramal (2)


Salah satu contoh etika yang kelima dalam makam tajrid ini adalah seorang hamba yang dalam masa lalunya tersesat dari jalan Alloh. Hamba itu selalu menuruti hawa nafsunya dan maksiat kepada Alloh. Lalu dia mendapatkan hidayah oleh Alloh SWT dan kembali pada jalur Islam. Dia mulai melaksanakan perintah Alloh dan menjauhi larangannya. Sholat, puasa dan beribadah pun mulai dia kerjakan.

Jika sebelumnya syaitan mampu membujuk-bujuk, menipunya dengaan melakukan dosa dan menerjang larangan-larangan Alloh, maka sekarang setelah dia mendapat hidayah dan kembali kejalan yang lurus. Syaitan tidak akan menggodanya dengan cara yang sama. Namun dengn segala kepintaranya syaitan akkan melakukan cara-cara lain untuk kembali menyesatkan hamba Alloh tadi.

Syaitan membujuknya dengan berkata "Sekarang kamu telah menjadi hamba Alloh yang sholeh, sholat fardlu dengan sempurna dan puasa ramadlan dengan sabar. Lihatlah orang-orang sekitarmu yang masih terjerumus dalam kemaksiatan sedangkan kamu telah menjauhinya. Apakah kamu tidak merasa bahwa sekarang telah menjadi waliyulloh yang dengan dekat dengan-Nya?

Apakah hamba Allioh tadi terlena dengan tipu daya syaitan ini dan menyerap seperti tadi sehingga menjadi keyakinan dirinya, maka dia akan kembali pada jalur kesesatan sebagaimana sebelum mendapat hidayah. Bahkan kesesatan kali ini sangat besar bahayanya karena ujub (Kesombongan) yang timbul pada dirinya merupakan ancaman bagi kerusakan dirinya. Hal ini tak lain adalah penyakit yang paling parah dalam hatinya dan inilah yang disebut Alloh sebagai dosa bathin (tak terlihat).

Syaitan memang memasang perangkap yang berbeda pada tiap individu. Perangkap ini disesuaikan dengan tingkat dan posisi individu tadi. Orang yang telah beribadah dibujuk dengan penyakit ujub dan sugesti bahwa dia telah menjadi makhluk Alloh yang mulia, sholeh dan telah menjadi wali-Nya, dan jika menjadi orang yang rugi dan tekah merusak semua amal ibadahnya.

Kebodohan Salik 

Perasaan salik bahwa dirinya sudah mulia dan mendapat apa yang telah dicita-citakan adalah suatu kebodohan. Kenaoa dia berpikir bahwa untuk melaksanakan hak-hak Alloh itu ada batasnya. Kenapa dia tidak berkkaca pada Rosululloh yang telah mendapat derajat 'ulya, dihadapan Alloh saja masih meras kurang dakam memenuhi hak-hak-Nya.

Jika memang dalam beramal itu ada batasnya, apakah mungkin bagi Nabi atau wali untuk bebas dari nikmat-nilmat yang telah diberikan Alloh kepadanya?

Jalan lurus yang telah ditempuh Salik merupakan anugrah dan pertolongan alloh swt. Mulut yang dia gerakkan untuk bersyukur, mata yang dia gunakan untuk melihat, telinga yang digunakan untuk mendengar dan kaki yang dia gunakan untuk berjalan, kesemuanya merupakan augrah dan pemberian Allh swt. Begitu juga kekuatan untuk dapat sholat dengan sempurna, harta yang dia shodaqohkan dan akal yang dia gunakan utuk berfikir adalah juga pemberian dan pertolongan Alloh swt.

Dan ketika seorang hamba semakin dekat dengan Alloh, maka Alloh akan menambah nikmat dan anugrah kepadanya. Lalu bagaimana mungkin dia dimudahkan untuk melaksanakantugas-tugas Alloh dengan sempurna, sementara dia sangat ceroboh dengan merasa telah menjadi orang yang mulia.

Seorang Salik yang baru mendapat hidayah dan baru mengenal Allioh memang tidak bisa memikir lebih jauh hal tersebut. Ironinya dia hanya berasumsi bahwa dirinya telah menjalankan kewajiban kkepada Alloh dan telah sholat fardlu pada waktunya. Dari sinilah syaitan dengan mudah menyesatkannya dengan bisikan-bisikan dan tipu daya.

Ilaj (Penyembuhan Salik) 

Jalan yang lurus harus ditempuh oleh Salik agar terhindar dari penyakit diatas tiada lain adalah dengan perpegang teguh dengan ucapan Ibnu 'Atho'illah "Salik harus menjawab bisikan syaitan dengan mengatakan 'Bagaimana munkin aku bisa wushul (sampai) ke derajat yang dekat dengan Alloh ? dimasa dulu aku selalu melakukan kesalahan-kesalahan dan sekarang aku juga masih tenggelam dalam kecerobohan. Aku hanya sholat fardlu dan puasa romadlon, sementara kesunnatan-kesunnatan tidak aku lajujan. Apakah saya sudah khusyu' dan melupakan dunia ketika aku sholat ? apakah aku telah menjauhi hal-hal yang diharamkan Alloh ? lalu seberapa besar taatku kepadaAlloh jika dibandingkan dengan nikmat dan anugrahnya. Saya selalu tenggelam dalam perjalanan awal, sementara hasratku untuk mencari ridlo Alloh selalu jauh dan menjauh didepanku.

Inilah makna ucapan Ibnu 'Atho'illah, cita-cita Salik tak ingin berhenti ketikka telah terbuka hatinya kecuali suara kebenaran mengatakan "Apa yang kamu cari masih didepanmu"

Jika salik mampu menghindari bisikan syaitan dan mengambil jalan diatas (Ubudiyyah) hal itu akan menjaganya dari tipu daya syaitan. Bahkan dia akan semakin tambah dalam beribadah dan taat kepada Alloh. Sia tidak akan semakin puas dengan amal-amal fardlu saja, namun akan melakukan amal-amal sunnah, merutinkan dzikir dan membaca Al-Qur'an. Dia juga akan merasa dirinya kurang sehingga dia mulai melakukan Qiyam Al-Lail dan jika sholat seakan-akan dia akan meninggalkan dunia ini.

Dengan cara ini pula ketika Salik semakin dekat dengan Alloh maka dia semakin merasakan keagungan dan besarnya kekuasaan Alloh. Dia juga akan merasa bahwa dirinya adalah hamba yang kurang dan lemah di hadapan Alloh dan perasaan ini akan selalu tertancap di dalam dirinya smapai mati.

Jalan lain yang harus ditempuh salik adalah dengan selalu berdzikir kepada Alloh dengan sungguh-sungguh, mengangan-angan sifat-Nya dan kebaikan yang telah diberikan Alloh terhadapa hambanya. Dengan kata lain dia harus mendalami ma'rifatulloh dengan metode Al-Qur'an sebagaimana yang telah dilakukan para ulama' bukan metode yang di demonstrasikan oleh para orientalis.

Jika kita mau melihat keadaan prang-orang sholeh setelah Nabi Muhammad SAW, yaitu orang-orang yang menempuh dan mengikuti sunnah Nabi maka kita akan menemukan bahwa semakin mereka ma'rifat dan dekat kepada aAlloh maka mereka semakin merasa hina dan bertambah takut kepada Alloh.

Disebutkan di dalam biografi Abdulloh ibn Mubarok bahwa suatu ketika beliau menuju air zam-zam saat beliau haji, lalu beliau berkata "Ya Alloh, Abdulloh bin muammil menceritakan hadist kepadaku dari Ibnu Zubaeir dari shohabat Jabir, dari Rosululloh SAW, beliau bersabda : "Air zam-zam diminum sesuai tujuannya", Ya Alloh , saya meminumya untuk dahagaku dihari kiamat.

Seandainya kita yang meminum air zam-zam dan mengetahui hadist tersebut pasti kita akan meminta keinginan dan kebahagiaan dunia kita. Lalu apa perbedaan antara kita dan Ibnu Mubarok ?.

Perbedaannya adalah kita merasa telah memenuhi hak-hak Alloh, kita telah berdakwah, mengajar dan beribadah. Lalu kenapa kita takut dahaga dihari kiamat ? pasti kita akan mendapat pahala dan dimuliakan oleh Alloh. Oleh karena itu kita meminta kebutuhan duniawi.

Adapun Ibnu Mubarok, semakin dekat dan ma'rifat kepada Alloh, maka beliau semakin merasa kurang dan belum memenuhi hak-hak Alloh. Jadi, ketika beliau berada pada makam yang mustajab (do'a terkabulkan) maka beliau tidak meminta hal-hal duniawi melainkan hanya memikirkan kelak di hari qiamat. Jadi, ketika berdo'a beliau berkata "Ya Alloh saya meminum air zam-zam agar engkau menjagaku dari dahaga di hari qiamat.

Ibnu 'Atho'illah menceritakan bahwa suatu ketika ada seorang pejabattinggi dating kepada ayahnya. Setelah dipersilahkan duduk, pejabat tersebut berkata pada ayahnya "wahai Syekh, doakanlah aku, karena aku ini orang durhaka", kemudian dijawab oleh ayah beliau "Apakah kamu menjadi orang baik dengan berkata seperti itu ? Apakah benar kamu itu orang jelek ? jika memang demikian maka mintalah rahmat dan ampunan kepada Alloh SWT. Kemudian ayah beliau berbicara tentang hak-hak Alloh yang wajib dilaksanakan seorang hamba dan tentang lemahnya hamba tadi dalam menjalankannya. Ayah beliau juga menyuruhnya agar selalu rendah diri ketika beribadah dan melaksanaknnya dengan sungguh-sungguh.

Memang kesempurnaan itu tidak ada batasnya, dan hak-hak Alloh akan selalu dipuncak Salik. Oleh karena itu, Salik tidak boleh terbujuk oleh syaitan dan selalu ingat apa yang telah dijabarkan oleh Ibnu 'Atho'illah. Salik harus meyakini bahwa semakin dia bertambah taqwa maka Alloh akan semakin menambah anugrahnya dan Salik juga harus yakin bahwa dia membutuhkan rahmat dan ampunan Alloh SWT.




Sumber: Hikam Al-'Atho'iyyah dan Tafsir Ash-Showy (Al-Hidayah) oleh KH Muhammad Wafi Maimoen, Lc
Adv 1
Share this article :

Posting Komentar

 
Musholla RAPI, Gg. Merah Putih (Sebelah utara Taman Budaya Kudus eks. Kawedanan Cendono) Jl. Raya Kudus Colo Km. 5 Bae Krajan, Bae, Kudus, Jawa Tengah, Indonesia. Copyright © 2011. Musholla RAPI Online adalah portal dakwah Musholla RAPI yang mengkopi paste ilmu dari para ulama dan sahabat berkompeten
Dikelola oleh Remaja Musholla RAPI | Email mushollarapi@gmail.com | Powered by Blogger