Kembali kepada sorotan Islam, klasifikasi mengenai jumlah saksi minimal
berbeda antara satu masalah dengan masalah lain,
[a] Rukyah Hilal yaitu untuk
mengetahui awal Ramadhan yang berhubungan dengan puasa wajib. Yang dibutuhkan
adalah satu orang laki-laki, tidak boleh perempuan atau khuntsa.
[b] Zina dan
anal sex, yaitu empat saksi laki-laki yang semuanya benar-benar melihat
masuknya khasyafah ke dalam farji.
[c] Masalah mal (harta), seperti jual beli,
sewa, hutang, pembebasan hutang, wakaf, gadai, hiwalah, khiyar, dll. yaitu
butuh dua laki-laki atau satu laki-laki ditambah dua perempuan atau satu
laki-laki dan sumpah.
[d] Tidak berhubungan dengan harta, seperti had orang
yang minum khamr, mencuri, dakwa zina. Juga semua perihal yang jelas bagi
laki-laki seperti nikah, rujuk, mati, talak, baligh, wakalah, syirkah, dll.
yaitu dua orang laki-laki, tidak boleh perempuan.
[e] Semua yang jelas bagi
wanita, seperti kelahiran, haidl, radla’, keperawanan, kejandaan, yaitu empat orang
wanita atau satu orang laki-laki ditambah dua wanita atau dua laki-laki.
(Fathul Mu’in, IV, 313-317).
Lalu bagaimana dengan masalah kebohongan saksi?
Berbohong adalah penyakit kronis yang sedikit demi sedikit akan menggerogoti nilai-nilai Islam. Banyak alasan yang melandasi seseorang melakukan kebohongan. Salah satu motif penyebab melakukan kebohongan adalah kapitalisme, seperti terekam dalam sabda Nabi saw:
مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِينٍ يَقْتَطِعُ بِهَا مَالَ امْرِئٍ مُسْلِمٍ هُوَ
عَلَيْهَا فَاجِرٌ لَقِيَ اللَّهَ وَهُوَ عَلَيْهِ غَضْبَانُ
Barang siapa yang bersumpah yang dengannya dia mengambil harta seorang
muslim, sedangkan sumpahnya adalah palsu maka ia akan menghadap Allah dalam
keadaan Dia murka kepadanya. (Shahih Bukhari, VIII, 172)
Berbohong juga termasuk dosa yang sampai-sampai ia adalah merupakan salah
satu dari tanda-tanda orang munafik. Nabi pernah berkata:
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ
وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga, apabila berkata dia dusta, apabila
berjanji dia mengingkari, dan apabila diberi amanat dia khianat. (Shahih
bukhari, I, 58).
Dalam al-Qur’an menyebutkan:
وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ
Dan jauhilah perkataan bohong. (al-Hajj, 30)
Kita harus benar-benar menjauhi dosa yang satu ini. Terpeleset sedikit saja
bisa memasukkan kita ke dalam neraka. Karena lisan juga bisa memprovokasi
dosa-dosa yang lain seperti pertengkaran, permusuhan, dan sebagainya yang bisa
menuntun ke neraka. Karena itu, hendaklah kita jauhi. Semua perkataan yang
keluar dari lisan kita pasti tak luput dari pena yang dipegang Malaikat Roqib
dan ‘Atid. Dalam al-Qur’an disebutkan :
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya Malaikat
Pengawas yang selalu hadir. (Q.S. Qof, 18)
Adapun hukuman yang berhak diterima oleh orang yang bersaksi palsu adalah
dita’zir. Ta’zir bisa berupa ditahan, dipukul, pencemaran nama baik, atau
sesuatu yang bisa membuatnya jera. (al-Majmu’ Syarhul Muhadzab, XX, 232)
Namun, saksi palsu dapat dinyatakan sebagai saksi palsu apabila dia sendiri
mengaku (iqrar) bahwa dirinya berbohong, atau adanya bukti bahwa ia bohong,
atau jelas sekali kebohongannya, seperti bersaksi kepada seseorang yang
melakukan zina, padahal orang yang didakwa itu pada waktu yang dituturkannya
sedang berada di tempat lain. (al-Majmu’, XX, 232).
Selain itu, bila sebelum bersaksi, orang tersebut disumpah dengan nama
Allah, dan kemudian memberikan keterangan yang tidak benar, maka saksi tersebut
melanggar sumpah dan dikenakan kafarat (tebusan). Yaitu memilih antara
memerdekakan budak, memberi makan sepuluh orang miskin tiap satu orang satu
mud, atau memberi pakaian kepada orang miskin. Jika tidak sanggup memenuhi
kaffarat yang tertera tadi, maka diwajibkan berpuasa selama tiga hari.
(I’anatut Thalibin, IV, 41).
Sementara dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Bab IX tentang
sumpah palsu dan keterangan palsu pasal 242 ayat (1) disebutkan, Barang siapa
dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di
atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian,
dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan atau
tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu,
diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Sedang ayat (2)
menyatakan, jika keterangan palsu di atas sumpah diberikan dalam perkara pidana
dan merugikan terdakwa atau tersangka, yang bersalah diancam dengan pidana
penjara paling lama sembilan tahun.
Bagi kita, janganlah sesekali berteman dengan kebohongan, sekecil apapun.
Karena mulai dari kebohongan kecil itulah, sedikit demi sedikit lama-lama
menjadi gunung yang memberatkan kita.
Buletin El-Fajr Edisi 22 (Madrasah Qudsiyyah Kudus)
Posting Komentar