Pencurian kerap terjadi di masyarakat kita, tak terkecuali di zaman Rasulullah SAW. Suatu saat, seorang laki-laki dihadapkan kepada Rasulullah SAW karena telah mencuri. Setelah bukti dan saksi dihadirkan, maka tidak ada keputusan lain kecuali Nabi pun memerintahkan agar dia dipotong tangannya.
Namun apa yang disaksikan para sahabat?, setelah Nabi memerintahkan agar si pelaku dipotong tangannya justru beliau SAW memalingkan wajah sambil menangis. Kontan saja sikap ini menjadi tanda tanya para sahabat. "Engkau menagis wahai Rasulullah ?", tanya seorang sahabat.
Rasulullah SAW menjawab, "Bagaiamana aku tidak akan menangis, seorang umatku akan dipotong tangannya di hadapan kalian?". Sahabat bertanya kembali, "Lalu tidakkah anda memaafkannya (melepaskannya) dari hukuman ini?". Beliau menjawab, "Sungguh merupakan keburukan seseorang yang berusaha melepaskannya dari had (hukuman yang berlaku)" (HR. Abu Ya'la dari sahabat Ali bin Abi Thalib)
Hukuman tetap hukuman, harus ditegakkan dan dilaksanakan. Demikianlah kedisiplinan yang selalu dijaga oleh Nabi Muhammad SAW. Terbukti dalam riwayat diatas, walapun dengan kasih sayang yang begitu besar kepada umatnya, beliau tetap menjalankan hukum Allah sebagaimana mestinya.
Tidakkah anda melihat dengan seksama sabda beliau, ", seorang umatku akan dipotong tangannya di hadapan kalian?". Lihatlah bagaimana beliau tetap menyebut pelaku kriminal itu sebagai 'umatku'. Ya, bagaimanapun kemaksiatan dan perbuatan dosa yang dilakukan, dia tetap umat Rasulullah SAW. Apalagi dosa itu akan digugurkan karena sudah dijalankan had padanya.
Lemah lembutlah pada
Gelas-gelas Kaca Itu…!
|
Dalam sebuah
perjalanan. Ketika itu Rasulullah Saw bersama seorang budak yang biasa
dipanggil dengan nama Anjasah. Suara Anjasah yang demikian besar membuat unta
yang sedang dituntunnya menjingkrak-jingkrak. Setiap kali Anjasah berkata
dengan suara tinggi, maka unta itu bergerak tanpa kontrol karena terkejut. Hal
itu membuat para wanita yang sedang berada diatas punggung unta hampir-hampir
saja terjatuh.
Melihat yang demikian itu, saking perhatiannya kepada para wanita, Rasulullah Saw segera menegur Anjasah, kemudian memintanya untuk melirihkan suaranya. "Perlakukanlah gelas-gelas kaca itu dengan lemah lembut, hai Anjasah!!" kata beliau mengingatkan. Dan maksud dari gelas-gelas kaca itu adalah para wanita.
Ungkapan yang begitu indah. Mengagumkan. Sungguh bahasa yang beliau pilih untuk mengilustrasikan karakteristik kaum wanita adalah sangat tepat. Mereka memiliki kelembutan rasa. Selembut belaian angin sepoi-sepoi, bahkan lebih lembut lagi. Mereka mempunyai kehalusan jiwa, sehalus sutera China, bahkan lebih. Hal inilah yang mendorong Rasulullah Saw begitu nyaman menyebut kaum wanita dengan istilah ‘gelas-gelas kaca’.
Gelas-gelas kaca itu bening. Sebening embun, bahkan lebih bening. Gelas-gelas kaca itu bersih. Sebersih semburat surya di waktu dhuha, bahkan lebih bersih lagi. Selalu menyenangkan hati orang yang menatapnya. Karena memang naluriah manusia cenderung mencintai keindahan. Dan gelas-gelas kaca itu punya tabiat dasar bersih serta indah. Berarti ini sangat tepat.
Wanita memiliki kelembutan jiwa, kepekaan hati serta sensitivitas rasa. Namun tabiatnya yang indah suatu saat bisa saja ternoda manakala ia keluar ataupun 'dipaksa' keluar dari rel fitrahnya. Demikian halnya dengan gelas-gelas kaca itu, ia bisa saja pecah ketika terjatuh atau dijatuhkan. Ia juga bisa kotor karena debu-debu nakal yang menempel padanya. Oleh karena itulah Rasulullah Saw begitu hati-hati dalam menyebutnya, apalagi bermuamalah dengannya.
Melihat yang demikian itu, saking perhatiannya kepada para wanita, Rasulullah Saw segera menegur Anjasah, kemudian memintanya untuk melirihkan suaranya. "Perlakukanlah gelas-gelas kaca itu dengan lemah lembut, hai Anjasah!!" kata beliau mengingatkan. Dan maksud dari gelas-gelas kaca itu adalah para wanita.
Ungkapan yang begitu indah. Mengagumkan. Sungguh bahasa yang beliau pilih untuk mengilustrasikan karakteristik kaum wanita adalah sangat tepat. Mereka memiliki kelembutan rasa. Selembut belaian angin sepoi-sepoi, bahkan lebih lembut lagi. Mereka mempunyai kehalusan jiwa, sehalus sutera China, bahkan lebih. Hal inilah yang mendorong Rasulullah Saw begitu nyaman menyebut kaum wanita dengan istilah ‘gelas-gelas kaca’.
Gelas-gelas kaca itu bening. Sebening embun, bahkan lebih bening. Gelas-gelas kaca itu bersih. Sebersih semburat surya di waktu dhuha, bahkan lebih bersih lagi. Selalu menyenangkan hati orang yang menatapnya. Karena memang naluriah manusia cenderung mencintai keindahan. Dan gelas-gelas kaca itu punya tabiat dasar bersih serta indah. Berarti ini sangat tepat.
Wanita memiliki kelembutan jiwa, kepekaan hati serta sensitivitas rasa. Namun tabiatnya yang indah suatu saat bisa saja ternoda manakala ia keluar ataupun 'dipaksa' keluar dari rel fitrahnya. Demikian halnya dengan gelas-gelas kaca itu, ia bisa saja pecah ketika terjatuh atau dijatuhkan. Ia juga bisa kotor karena debu-debu nakal yang menempel padanya. Oleh karena itulah Rasulullah Saw begitu hati-hati dalam menyebutnya, apalagi bermuamalah dengannya.
Al Habib Sholeh bin
Ahmad bin Salim Al Aydrus
+ comments + 1 comments
Ini sangat bagus utk diteladani.
Posting Komentar