Sudah menjadi tradisi
di Tanah Air kita, umumnya masjid-masjid dan mushala menyediakan kotak infak.
Sebuah kotak infak berukuran besar di letakkan secara permanen di bagian yang
dianggap strategis, bisa di teras sebelum pintu masuk, atau di bagian dalam
langsung setelah pintu masuk.
Jika ada pengajian,
kotak infak diedarkan keliling. Begitu juga waktu penyelenggaraan shalat Jumat,
tidak lupa beberapa kotak infak diedarkan dari shaf depan hingga paling
belakang. Biasanya jumlah infak pada hari Jumat lebih banyak dibanding dengan
infak waktu pengajian.
Begitu jugalah yang
terjadi pada sebuah masjid di salah satu kota/kabupaten di Jawa Tengah. Setiap
selesai rangkaian ibadah Jumat, beberapa orang takmir, kadang-kadang dibantu
oleh jamaah mulai membuka kotak infak dan menghitungnya. Isi kotak infak
didominasi uang recehan Rp 500, Rp 1.000, dan Rp 2.000. Sesekali terdapat uang
Rp 50 ribu, Rp 20 ribu, dan Rp 10 ribu.
Tetapi yang menarik
perhatian, pada setiap Jumat selalu ada satu lembar uang Rp 50 ribu. Lembaran
uang tersebut selalu tampil sendirian, kesepian, tidak ada temannya.
Berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun selalu ada uang lembaran Rp 50 ribu
sendirian. Siapa dermawan itu, tak seorang pun tahu.
Sang dermawan tidak
pernah sekalipun memperlihatkan uang Rp 50 ribuan tersebut, baik sengaja
ataupun tidak kepada jamaah di sampingnya. Barangkali uang itu memang sudah
disiapkannya sedemikian rupa dari rumah, dilipat kecil-kecil, di letakkan di
kantong baju, sehingga tidak terlihat orang lain. Begitu kotak infak lewat di
depannya, maka tangan kanannya langsung memasukkan uang tersebut ke dalam kotak
sambil ditutup dengan tangan kirinya.
Bukan berarti menutupi
tangan itu karena yang disumbangkan lebih kecil, lebih besar atau malu karena
terlihat orang di sampingnya. Ia berinfak ikhlas karena Allah. Orang yang
berinfak dan tidak diketahui oleh yang lain, maka dia akan mendapatkan
perlindungan Allah di hari kiamat nanti. (Shahih Muslim No 1712).
Alhasil, selama
bertahun-tahun tidak ada seorang pun yang tahu siapa dermawan itu. Pada suatu
Jumat, tiba-tiba petugas infak tak menemukan lagi uang Rp 50 ribu itu. Para
penghitung saling berpandangan dan bertanya-tanya. Pada Jumat berikutnya mereka
tak menemukan uang serupa. Begitu seterusnya. Para penghitung, termasuk takmir
masjid jadi penasaran. Mulailah pengurus serius menyelidikinya. Akhirnya
pertanyaan itu terjawab.
Pada suatu hari
sehabis mengisi pengajian di masjid tersebut, saya diajak oleh pengurus masjid
makan di sebuah rumah makan tidak jauh dari masjid. Sewaktu makan-makan itulah
seorang pengurus menceritakan kisah uang tersebut. “Ustaz tahu, siapa dermawan
itu?” tanya seorang pengurus dengan serius. Dengan antusias saya menunggu
jawabannya. Pengurus itu meneruskan ucapannya: “Dermawan itu adalah Pak Haji
pemilik rumah makan ini.” Saya menyelidik, “Dari mana Anda tahu?”
“Sebab, uang Rp 50
ribu itu menghilang persis dua hari setelah Pak Haji pemilik rumah makan ini
meninggal dunia. Sejak itulah, uang tersebut tak pernah lagi ditemukan.” Semoga
Allah SWT memberi ganjaran berlipat ganda akan kedermawanan dan keikhlasan Pak
Haji tersebut.
Prof Dr Yunahar
Ilyas
Posting Komentar