Jihad merupakan sebuah gerakan untuk memenuhi hajat hidup umat manusia.
Dalam Islam, jihad tidak hanya selalu dimaknakan peperangan secara fisik dengan
senjata, melainkan juga bisa dipahami sebagai perjuangan untuk mencapai
berbagai tujuan yang beraneka ragam. Jihad dalam pemahaman yang beneka ragam
itu pula, banyak manusia yang enggan untuk melaksanakannya, padahal mengandung
tujuan yang baik sebagaimana digambarkan oleh Allah dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah
ayat 216.
Di dalam l-Qur’an, Allah menggambarkan
jihad dengan kata al-qital (perang) dan juga dengan kata jihad sebagaimana
tertera dalam Al-Qur’an Surat At-Taubah ayat 20.
“Kedua istilah jihad dan qital sama-sama memberika dorongan kepada
kita semua, betapa pentingnya jihad dilakukan untuk memenuhi kebutuhan tujuan
hidup manusia, baik dalam skala kelompok kecil dalam keluarga maupun dalam
kelompok besar sosial. Jihad ijtima’ie adalah jihad untuk memenuhi kebutuhan
orang banyak dan dilakukan secara berkelompok.
Karena itu, setiap manusia, termasuk kita umat Islam dituntut untuk dengan
senang hati melakukan jihad sesuai dengan kemampuan maksimal dan untuk aneka
tujuan. Jihad tentunya tidak hanya dilakukan dengan cara keluar rumah dan
memanggul senjata, melainkan bisa saja dilakukan di dalam rumah untuk mencapai
tujuan cita-cita erbaikan keluarga. Kaum ibu misalnya, bisa saja berjuang atau
berjihad untuk menjaga kehormatan keluarga dan mendidika anak-anak di dalam
rumah tangga. Begitu juga, kaum lelaki berjihad untuk mencari nafkah di luar
rumah.
“Jadi banyak cara dan model untuk melakukan jihad sebagaimana diperintahkan
Allah SWT dalam membangun kesejahteraan umat manusia di muka bumi ini. Kita
pergi ikut salat tarawih, i’tikaf di masjid dan melakukan berbagai ibadah di
bulan ramadan juga merupakan bagian dari jihad untuk memerangi kemalasan dan
keengganan. Di tengah kemajuan teknologi, kita juga dituntut untuk berjihad
dengan kemampuan menolak hal-hal yang dimunginkan untuk berdampak negatif dalam
kehidupan,”.
Namun begitu, banyak diantara kita yang merasa enggan untuk melakukan
jihad atau perang dalam hal tertentu. Kaum ibu misalnya, enggan untuk
melaksanakan tugas-tugas dalam rumah tangga karena dinilai kurang terhormat di
alam modern. Padahal, banyak hal-hal yang sepintas kita enggan untuk
melakukannya, padahal sesungguhnya tugas itu baik dan mulia di mata Allah SWT.
Dalam alam modern yang serba maju saat ini, kaum perempuan misalnya banyak
yang berbondong-bondong keluar rumah ikut melakukan jihad bersama kaum lelaki,
khususnya dalam bidang politik. Sehingga pagar pertahanan di baris belakang
dalam rumah tangga sering roboh karena ditinggalkan penjaganya. Putera-puteri
kita tumbuh tanpa arah dari sebuah kasih sayang, melainkan hanya dengan
kecukupan materi. “Banyak yang tidak suka untuk berjihat di baris belakang ini.
Padahal, tugas yang tidak disukai itu hakikatnya memberikan manfaat yang sangat
besar bagi tujuan kehidupan yang sejahtera dalam rumah tangga,”.
Lihatlah contoh bagaimana seorang sahabat Rasulullah bernama
Musaibah yang dengan gigih melindungi Rasululloh dari serangan musuh. Sehingga
Musaibah yang seorang perempuan itu terdapat 68 tusukan bekas panah dan senjata
lainnya hanya untuk melindungi Sang Rasul. Rasul mengalami sembilan kali perang
fisik, sementara sahabat Rasululloh lima peperangan. Tetapi banyak pernyataan
Rasululloh bahwa jihad atau perang itu tidak harus dilakukan secara fisik dan
senjata.
Dalama kondisi aman, perang dilakukan untuk mewujudkan cita-cita kebutuhan
hidup. Rasululloh menggambarkan umroh dan haji adalah sebagai bentuk jihad dan
perang. Karena itu, bekerja siang dan malam untuk mencari kebutuhan hidup pun
merupakan bentuk jihad dan perang dalam bentuk lain.
Karena itu, kaum muslimin harus mampu menjadikan nilai
ramadhan sebagai kekuatan yang bisa memengaruhi jiwa dan hati setiap muslim
agar mau melakukan jihad dalam bentuk apapun demi mencapai tujuan kebaikan
kehidupan dunia dan ahirat. “Jihad memang kadang menakutkan sehingga tidak
disuka. Tapi, sesuatu yang tidak disuka, bisa saja akan berakibat baik.
Sebaliknya, sesuatua yang sangat disuka, bisa saja akan berakibat buruk,”.
Kemajuan teknologi berupa televisi
dan handphone, manusia harus mampu memilah agar tidak terjebak pada
kesesatannya. Tidak semua tontonan televisi itu mengandung nilai positif.
Begitu juga handphone sering menyesatkan pemakainya. “Di sinilah arti penting
perjuangan atau jihad itu. Yakni bagaimana kita mampu menolak sesuatu yang
negatif dari hasil kemajuan teknologi itu, walau kadang sepeintas sangat
menyenangkan. Di sini pula pelajaran ramadhan untuk mampu menahan hawa nafsu
demi kebahagiaan dunia akhirat.
Prof. Dr. Hj. Amani Lubis (Wakil Sekjen Pengurus Majelis Ulama
Indonesia (MUI) Pusat) disunting oleh Samsul Arifin
(moesleminfo.com) Sumber: MUI
Posting Komentar