Mengenai firman Allah hashura, diriwayatkan dari Ibnu Mas‘ud, Ibnu
Abbas, dan Mujahid, mereka mengatakan, maksudnya orang yang tidak dapat menggauli
wanita. Sedangkan riwayat dari Abu Al-‘Aliyah dan Ar-Rabi‘ bin Anas menyebutkan
bahwa yang dimaksud adalah tidak dapat memiliki anak.
Tetapi Al-Qadhi Iyadh mengatakan dalam tafsirnya Asy-Syifa’: Yang
dimaksud dengan kata hashura pada ayat itu adalah tidak seperti yang
dikatakan oleh sebagian mereka (para mufassir) bahwa ia (Nabi Yahya) adalah
seorang yang tidak berani atau tidak mampu menggauli wanita. Pendapat seperti
itu ditolak oleh para mufassir yang cerdas dan para ulama yang kritis yang
mengatakan bahwa penafsiran demikian merupakan suatu kekurangan dan aib serta tidak
layak bagi para nabi. Jadi, yang dimaksud hashura ialah terpelihara
dari dosa, yakni ia tidak melakukan dosa, seolah-olah terpagari darinya.
Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa maksudnya adalah mencegah dirinya
dari nafsu. Pendapat lain mengatakan bahwa maksudnya adalah tidak memiliki
nafsu terhadap wanita, meskipun memiliki kemampuan untuk itu. Telah jelas
bahwa ketidakmampuan untuk menggauli wanita merupakan kekurangan. Sedangkan
yang merupakan kelebihan adalah memiliki kemampuan tersebut namun
mencegahnya, baik dengan kesungguhan menahan diri seperti yang dilakukan Nabi
Isa AS maupun karena penjagaan dari Allah seperti pada diri Nabi Yahya AS.
Jika kemampuan itu berada pada orang yang sanggup untuk melakukannya dan
dapat melaksanakan kewajiban terhadap istrinya namun tidak melalaikannya dari
Tuhannya, itu derajat yang tertinggi. Itulah derajat Nabi kita, Muhammad SAW.
Banyaknya istri tidak membuat beliau lalai untuk melakukan ibadah kepada
Tuhannya, bahkan semakin meningkatkan ibadah beliau, sebab beliau dapat
menjaga mereka, memenuhi kewajiban terhadap mereka, memberi nafkah mereka,
serta memberikan petunjuk kepada mereka. Bahkan beliau menegaskan bahwa
istri-istri beliau itu bukan perolehan dunianya, meskipun wanita merupakan
perolehan dunia bagi orang lain. Beliau bersabda, “Allah membuat aku mencintai
sebagian dunia kalian.”
Nabi Yahya dikatakan hashur bukan karena ia tidak dapat menggauli
wanita, namun maksudnya adalah ia ma‘shum (dipelihara oleh Allah) dari
melakukan perbuatan maksiat dan hal-hal kotor. Kema‘shuman itu tidak menolak
kemungkinan ia menikah dengan wanita secara halal dan memberikan keturunan
kepada mereka. Bahkan hal ini dapat dipahami dari doa Nabi Zakaria yang
terdahulu, “Berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik.” Seolah-olah
Zakaria berkata: seorang anak yang memiliki keturunan dan penerus.
Firman Allah Ta‘ala, yang artinya, “Seorang nabi dari keturunan orang-orang
yang shalih”, merupakan berita gembira kedua, yakni ia akan menjadi seorang nabi,
setelah berita gembira pertama mengenai kelahirannya. Berita gembira yang kedua
ini lebih tinggi daripada yang pertama, sebagaimana firman Allah kepada ibunda
Musa, yang artinya, “Karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu
dan menjadikannya sebagai salah seorang rasul.” (Al-Qashash: 7).
Setelah Nabi Zakaria meyakini kebenaran berita gembira ini, ia merasa
takjub akan adanya anak padahal ia sudah tua. “Ya Tuhanku, bagaimana aku bisa
mendapat anak sedang aku telah sangat tua dan istriku pun seorang yang mandul?”
Lalu dikatakan, yang artinya, ”Berfirman Allah, ‘Demikianlah, Allah berbuat apa
yang dikehendaki-Nya’.” Maksudnya, urusan Allah itu mahabesar sehingga
tidak ada satu perkara pun yang melemahkannya. Setelah itu dikatakan, ”Berkata
Zakaria, ‘Berilah aku suatu tanda (bahwa istriku telah mengandung).’ Allah
berfirman, ‘Tandanya bagimu, kamu tidak dapat berkata-kata dengan manusia
selama tiga hari, kecuali dengan isyarat’.” Yakni, kamu tidak dapat berbicara
padahal sehat walafiat.
Kemudian Allah menyuruhnya supaya banyak berdzikir, bertakbir, dan bertasbih
berkaitan dengan berita gembira ini. Maka Allah berfirman, yang artinya, ”Dan
sebutlah (nama) Tuhanmu sebanyak-banyaknya serta bertasbihlah di waktu petang
dan pagi hari.”
Tafsir Ibnu Katsir
Posting Komentar