Nah, Yang
terpuji itu tangisan keakhiratan dan air mata menggapai ridla Allah. Apa
saja, tuh? Air mata meleleh karena menyesali dosa, rasa takut terhadap
siksaan akhirat, khawatir nasib nanti di akhirat, kerinduan ke Kanjeng
Nabi saw, kebahagiaan atas penemuan dan kehampiran pada Allah, dan
lain-lain. Di pondok pada gelaran Majelis Shalawat Simtuth Duror banyak dari
kami yang matanya sembab oleh air mata kerinduan ke Kanjeng Nabi saw. Kenapa,
sih, mabuk rindu ke Kanjeng Nabi saw?
Santri ngaji ‘ilmu setiap hari dan semakin
mengerti bahwa risalah risalah agama sungguh berjalin-jalin, simpulnya pada
figur agung Kanjeng Nabi saw. Beliau insan bukan Tuhan, padanya Allah
meletakkan hikmah sekaligus rahmat bagi manusia semesta alam. Tanpa menautkan
diri pada Kanjeng Nabi saw mustahillah manusia bisa menghampiri
risalah yang Allah sendiri Maksudkan.
Tanpa pertautan kepada Nabi saw, peluang manusia masuk surga –seperti pernah disabdakan Nabi ‘Isa as- laksana seekor sapi hendak masuk lubang jarum, Tanpa Belas Kasih Allah yang Dia limpahkan kepada Kanjeng Nabi saw niscaya tak ada dari kita yang berpeluang masuk surga.
Kanjeng Nabi saw insan paling mulia, puncak suri-teladan yang menggetarkan hingga tak habis-habis diungkap pesonanya –wajar saja ada seorang waliyullaah yang menumpahkan mabuk rindu ke Kanjeng Nabi saw sampai pelupuk mata melelehkan darah bukan lagi air mata. Banyak penjelajahan ruhani bisa tertempuh saat mengikuti Majelis Shalawat Simtuth Duror. Kerinduan pada Kanjeng Nabi saw, khauf (gentar-takut) atas huru hara Hari Kiyamat dan siksa di akhirat maupun raja’ (optimis berharap) atas Belas Kasih Allah tanpa terasa akan lelehkan air mata dari pelupuknya dan tangis yang tertahankan.
Tanpa pertautan kepada Nabi saw, peluang manusia masuk surga –seperti pernah disabdakan Nabi ‘Isa as- laksana seekor sapi hendak masuk lubang jarum, Tanpa Belas Kasih Allah yang Dia limpahkan kepada Kanjeng Nabi saw niscaya tak ada dari kita yang berpeluang masuk surga.
Kanjeng Nabi saw insan paling mulia, puncak suri-teladan yang menggetarkan hingga tak habis-habis diungkap pesonanya –wajar saja ada seorang waliyullaah yang menumpahkan mabuk rindu ke Kanjeng Nabi saw sampai pelupuk mata melelehkan darah bukan lagi air mata. Banyak penjelajahan ruhani bisa tertempuh saat mengikuti Majelis Shalawat Simtuth Duror. Kerinduan pada Kanjeng Nabi saw, khauf (gentar-takut) atas huru hara Hari Kiyamat dan siksa di akhirat maupun raja’ (optimis berharap) atas Belas Kasih Allah tanpa terasa akan lelehkan air mata dari pelupuknya dan tangis yang tertahankan.
Memang, berada di dalam suatu majelis hendaknya
tangis keakhiratan ditahankan dan tidak berderai (sendirian misalnya
malam-malam habis shalat tahajud ya bolah-boleh saja sampeyan lakukan
sampai sesenggukan asal tidak berlebihan dan menimbulkan gangguan bagi
sekeliling). Jadi, menangis ada ilmunya juga.
Shahibut Taj KH Fuad menganjuri para santri agar menyelami
kandungan ayat-ayat suci al Qur’an dan merenungi dan menjiwai kehidupan
akhirat, berharap Allah meridlai masuk surga, bercemas dari siksa neraka dan
tak terjerumus ke dalamnya. Beliau menyentil kami, “Belum bisa menangis
keakhiratan itu layak ditangisi.” Memperhatikan cetusan Guruku tadi, berarti,
menangis keakhiratan itu penting sekali.
Tahun 1492 Granada runtuh, Muslimin dikalahkan
Kastilia-Aragon pada Perang Reconquista terakhir. Hari itu kaum Muslim
menjemput sendiri takdirnya dikalahkan kaum kafir Kristen lantaran ketungkul
(terbuai) kehidupan duniawi. Delapan abad sebelumnya pasukan Muslim jaya
menaklukkan Spanyol seraya bercucur air mata keakhiratan (memporoskan ingatan
hidup akhirat pada kehidupan dunia) lalu generasi ke generasi
sesudahnya kaum Muslim malah lalaikan akhirat hingga akhirnya ternistakan dan
terkalahkan. Apa ini belum cukup jadi pelajaran buat kita?
Laxsmana Hsin Bao (Pondok Pesantren Roudlotul Fatihah, Kampung Santri, Kulon Gunung Sentono, Pleret, Bantul, Yogyakarta)
Posting Komentar