Tahun 711 pasukan Muslim menaklukkan Semenanjung
Iberia (Spanyol), runtuhlah kerajaan Visigoth. Dengan penaklukan ini wilayah
kekuasaan Muslim terbentang dari perbatasan India sampai pasir putih tepi
pantai Samudera Atlantik. Setiap orang bahkan Carl von Clausewitz (‘bapak’
strategi dan taktik perang modern) dan penganut Sun Tzu (‘bapak’ ilmu perang
klasik) mengimajinasikan ketangguhan pasukan Muslim sedemikian mentereng. Orang
Spanyol pun tersentuh sensasi dan pesona yang sama, membayangkan pasukan Muslim
terdiri prajurit yang gagah-gagah. Gambaran mereka sungguh kecele.
Hari itu Spanyol terkejut menyaksikan pasukan Muslim
ternyata ‘hanya’ terdiri manusia kurus-kurus, mejana (bersahaja),
bukannya pasukan yang mentereng. Mereka tercengang, legiun-legiun kekaisaran
Romawi Timur dan kekaisaran Persia Sassanids yang mewah telah dikalahkan oleh
pasukan yang under estimated ini dengan gilang-gemilang. Kaum Kristen dan pagan
Eropa tambah tercengang lagi –paradoksal bagi mereka- kaum Muslimin yang gagah
berani di medan peperangan itu melewati malam-malamnya dengan cucuran air mata.
Mereka mengintip kaum Muslim lagi menangis sesenggukan ke haribaan Tuhan
mengenangi kehidupan akhirat. Menangis dan bercucuran air mata tak identik
dengan kecengengan. Tangis apa dulu, Bung?!
Insan-insan yang agung juga mencucurkan air mata. Kanjeng
Nabi saw mencium Ibrahim dan bercucur air mata saat puteranya itu
menghembuskan napas terakhir. Abdurrahman bin Auf melihat air mata Nabi
saw bercucuran tak terbendung itu pun terperangah, “Engkau juga menangis,
wahai Rasul?” Kanjeng Nabi saw menjawab, “Ini adalah rahmat
Tuhan.” Beliau saw melanjutkan sabda, “Air mata berlinang hati
terkoyak-koyak kesedihan namun kami tidak akan berkata kecuali yang diridlai
Allah. Wahai anakku Ibrahim, sungguh kami sedih atas perpisahan ini.”
Menangis adalah kenyataan biologis. Fungsi menangis
di antaranya untuk membersihkan kornea mata (bila air mata mengendap di
balik mata maka fungsi penglihatan akan terganggu). Satwa juga menangis tapi
kiranya manusia saja yang mengkaitkan cucuran air mata dengan respon emosional.
Ahli ilmu jiwa mendeteksi mereka yang sering menangis terutama anak-anak akan
lebih sempurna pencapaiannya ketimbang yang jarang menangis.
Ada banyak variasi tangisan. Air mata bisa bercucur
sebab faktor fisiologis seperti klilipan debu, uap bawang atau gas bahan
kimia (pada gas air mata, misalnya), dan lain-lain. Air mata dapat
meleleh sebab tingkat hormon tak seimbang. Air mata meleleh juga sebab dorongan
kenangan yang mengesankan, baik kenangan indah maupun buruk. Kenangan indah
dihidupkan linangan air mata pula. Lainnya lagi, air mata yang memberi kelegaan
dan terapi mengatasi rasa cemas berkepanjangan. Imbas tangis banyak orang bisa
pula ‘menulari’ seseorang turut menangis.
Air mata juga melambangkan ekspresi
perasaan kehilangan. Depresi, frustasi dan putus asa bisa membangkitkan lelehan
derai air mata sebagai ketidak-berdayaan. Meleleh pula air mata oleh perasaan
tiada terbendung dan kata amat terbatas mengungkap atau menampung rasa bahagia
yang begitu besar (misal kelahiran anak pertama). Ada lagi tangisan manipulatif
untuk menarik simpati dan empati orang lain, menunjukkkan penyesalan agar
meringankan vonis-hukuman. Ada ‘air mata buaya,’ juga kan?
Namun,
lelehan air mata dan tangis kita kebanyakan terkait hal-hal yang ranahnya masih
duniawi.
Laxsmana Hsin Bao (Pondok Pesantren Roudlotul Fatihah, Kampung Santri, Kulon Gunung Sentono, Pleret, Bantul, Yogyakarta.)
Posting Komentar