Jl. Kudus Colo Km. 5, Belakang Taman Budaya Bae Krajan, Kudus
Home » » Menangisi Tak Bisa Menangis (1)

Menangisi Tak Bisa Menangis (1)

Tahun 711 pasukan Muslim menaklukkan Semenanjung Iberia (Spanyol), runtuhlah kerajaan Visigoth. Dengan penaklukan ini wilayah kekuasaan Muslim terbentang dari perbatasan India sampai pasir putih tepi pantai Samudera Atlantik. Setiap orang bahkan Carl von Clausewitz (‘bapak’ strategi dan taktik perang modern) dan penganut Sun Tzu (‘bapak’ ilmu perang klasik) mengimajinasikan ketangguhan pasukan Muslim sedemikian mentereng. Orang Spanyol pun tersentuh sensasi dan pesona yang sama, membayangkan pasukan Muslim terdiri prajurit yang gagah-gagah. Gambaran mereka sungguh kecele.

Hari itu Spanyol terkejut menyaksikan pasukan Muslim ternyata ‘hanya’ terdiri manusia kurus-kurus,  mejana (bersahaja), bukannya pasukan yang mentereng. Mereka tercengang, legiun-legiun kekaisaran Romawi Timur dan kekaisaran Persia Sassanids yang mewah telah dikalahkan oleh pasukan yang under estimated ini dengan gilang-gemilang. Kaum Kristen dan pagan Eropa tambah tercengang lagi –paradoksal bagi mereka- kaum Muslimin yang gagah berani di medan peperangan itu melewati malam-malamnya dengan cucuran air mata. Mereka mengintip kaum Muslim lagi menangis sesenggukan ke haribaan Tuhan mengenangi kehidupan akhirat. Menangis dan bercucuran air mata tak identik dengan kecengengan. Tangis apa dulu, Bung?!

Insan-insan yang agung juga mencucurkan air mata. Kanjeng Nabi saw mencium Ibrahim dan bercucur air mata saat puteranya itu menghembuskan napas  terakhir. Abdurrahman bin Auf melihat air mata  Nabi saw bercucuran tak terbendung itu pun terperangah, “Engkau juga menangis, wahai Rasul?  Kanjeng Nabi saw menjawab, “Ini adalah rahmat Tuhan.” Beliau saw melanjutkan sabda, “Air mata berlinang hati terkoyak-koyak kesedihan namun kami tidak akan berkata kecuali yang diridlai Allah. Wahai anakku Ibrahim, sungguh kami sedih atas perpisahan ini.” 

Menangis adalah kenyataan biologis. Fungsi menangis di antaranya untuk membersihkan kornea mata  (bila air mata mengendap di balik mata maka fungsi penglihatan akan terganggu). Satwa juga menangis tapi kiranya manusia saja yang mengkaitkan cucuran air mata dengan respon emosional. Ahli ilmu jiwa mendeteksi mereka yang sering menangis terutama anak-anak akan lebih sempurna pencapaiannya ketimbang yang jarang menangis.

Ada banyak variasi tangisan. Air mata bisa bercucur sebab faktor fisiologis seperti klilipan debu, uap bawang atau gas bahan kimia (pada gas air mata, misalnya), dan lain-lain. Air mata dapat meleleh sebab tingkat hormon tak seimbang. Air mata meleleh juga sebab dorongan kenangan yang mengesankan, baik kenangan indah maupun buruk. Kenangan indah dihidupkan linangan air mata pula. Lainnya lagi, air mata yang memberi kelegaan dan terapi mengatasi rasa cemas berkepanjangan. Imbas tangis banyak orang bisa pula ‘menulari’ seseorang turut menangis. 

Air mata juga melambangkan ekspresi perasaan kehilangan. Depresi, frustasi dan putus asa bisa membangkitkan lelehan derai air mata sebagai ketidak-berdayaan. Meleleh pula air mata oleh perasaan tiada terbendung dan kata amat terbatas mengungkap atau menampung rasa bahagia yang begitu besar (misal kelahiran anak pertama). Ada lagi tangisan manipulatif untuk menarik simpati dan empati orang lain, menunjukkkan penyesalan agar meringankan vonis-hukuman. Ada ‘air mata buaya,’ juga kan? 

Namun, lelehan air mata dan tangis kita kebanyakan terkait hal-hal yang ranahnya masih duniawi. 


Laxsmana Hsin Bao (Pondok Pesantren Roudlotul Fatihah, Kampung Santri, Kulon Gunung Sentono, Pleret, Bantul, Yogyakarta.)
Adv 1
Share this article :

Posting Komentar

 
Musholla RAPI, Gg. Merah Putih (Sebelah utara Taman Budaya Kudus eks. Kawedanan Cendono) Jl. Raya Kudus Colo Km. 5 Bae Krajan, Bae, Kudus, Jawa Tengah, Indonesia. Copyright © 2011. Musholla RAPI Online adalah portal dakwah Musholla RAPI yang mengkopi paste ilmu dari para ulama dan sahabat berkompeten
Dikelola oleh Remaja Musholla RAPI | Email mushollarapi@gmail.com | Powered by Blogger