Sufyan Ats-Tsauri (161 H) telah menulis surat kepada Abbad
bin Abbad, di antara isinya adalah: “Hati-hatilah anda dari penguasa, janganlah
dekat dengan mereka atau berhubungan dalam urusan apapun, janganlah anda
tertipu dengan tipuan Iblis yang membisikkanmu bahwa engkau menemui mereka
dalam rangka membela orang-orang yang tertindas dan mengembalikan hak-hak
mereka. Hanya ulama su’ (buruk) yang menjadikan dekat dengan penguasa sebagai
tangga untuk mencapai ambisi dunianya. Adapaun fatwa yang sudah ada maka
pergunakanlah, janganlah menjadi orang yang senang jika ucapanya didengar dan
diikuti, serta diekspose secara meluas. Apabila ia meninggalkan itu semua, maka
diketahuilah keikhlasannya."
Hati-hatilah anda dari cinta kepemimpinan, karena orang
yang berambisi terhadap kepemimpinan ia lebih mencintai kepemimpinan daripada
cintanya terhadap emas dan perak. Celah ini sangat tersamar, tidak ada yang
mengetahuinya kecuali ulama yang berpengalaman.
Waspadalah dalam urusan hati, dan beramalah dengan niat
yang ikhlash, dan ketahuilah sudah dekat waktunya bahwa perkara yang diinginkan
oleh seseorang adalah apabila meninggal dunia, "wassalam”.
Dikarenakan bahaya ambisi terhadap kemuliaan dunia, maka
para Salafush shalih tidak menyukai mempertontonkan keunggulan dirinya kepada
manusia, baik dalam hal ilmu, zuhud, dan ibadah. Mereka tidak suka menampakkan
amal shalih, ucapan, atau menyebutkan karamah yang Allah berikan kepadanya agar
ia dikunjungi, diharapkan berkahnya, dimintai do’anya, dan supaya dicium
tanganya, lalu senang serta bergembira terhadap hal demikian, bahkan berusaha
untuk mendapatkan penghormatan dari manusia dengan apa yang telah disebutkan
tadi.
Dari sinilah para Salafush Shalih sangat tidak menyukai
ketenaran, di antara mereka: Ayyub As-Sikhtiani, An-Nakha’i, Sufyan Ats-Tsauri,
Ahmad bin Hambal, dan ulama Rabbani lainnya. Mereka merendahkan amalan mereka,
dan sangat menyembunyikan amal shalih mereka.
Ibrahim An-Nakha’i apabila sedang membaca Al-Qur’an,
kemudian datang seseorang maka ia segera menutupi wajahnya dengan mushaf.
Banyak di antara ulama’ Salaf yang tidak suka apabila ia
dimintai do’a, sambil berkata kepada yang minta do’a: “Siapakah saya ini ?”
(dia merasa tidak pantas untuk dimintai do’a). Seseorang mengirim surat kepada
Imam Ahmad meminta agar beliau berdo’a untuknya, maka Imam Ahmad menyatakan:
“Jika kami berdo’a untuknya, maka siapakah yang berdo’a untuk kami?”
Salah seorang shalih menceritakan kepada raja tentang
seseorang yang gemar beribadah, maka raja ingin berkunjung kepadanya,
diberitahukanlah jadwal kunjungan sang raja kepada ahli ibadah terebut. Pada
saat kedatangan raja, ahli ibadah tersebut duduk di pinggir jalan sambil makan,
sang raja datang menemui ahli ibadah yang sedang duduk di pinggir jalan sambil
makan, raja mengucap salam dan dijawab oleh ahli ibadah dengan singkat sambil
menyantap makanan dengan lahap tanpa menghiraukan kedatangan sang raja. Raja
menjadi kecewa dan berkata: “Orang ini tidak mempunyai kebaikan sama sekali !”
lalu pulanglah sang raja. Setelah sang raja pergi, si ahli ibadah berkata:
“Alhamdulillah (segala puji bagi Allah) yang telah menjauhkan saya dari orang
itu dan dia pulang dalam keadaan mencelaku”.
Permasalahan ini sangat luas sekali, dan di sini terdapat
point yang sangat halus sekali. Yaitu bahwa seorang manusia kadang mencela diri
sendiri di hadapan orang lain, dengan tujuan agar orang lain menganggap dia
sebagai orang yang tawaddlu’, sehingga ia menjadi mulia dan terpuji di mata
manusia. Ini merupakan bagian dari pintu riya’ yang sangat halus, para ulama’
telah memperingatkan terhadap hal ini.
Jelaslah sudah sebagaimana telah kami sebutkan, bahwa cinta
harta dan kedudukan serta ambisi terhadap keduanya dapat merusak dien seorang
muslim sampai habis tak bersisa, kecuali Allah berkehendak lain. Akar dari
cinta kepada harta dan kemuliaan adalah cinta kepada dunia dan akar cinta
kepada dunia adalah mengikuti hawa nafsu.
Wahab bin Munabbih berkata: “Mengikuti hawa nafsu akan
melahirkan cinta kepada dunia, cinta kepada dunia akan melahirkan cinta kepada
harta dan kemuliaan, dan cinta kepada harta dan kemuliaan melahirkan sikap
menghalalkan apa-apa yang diharamkan oleh Allah”.
Ucapan itu benar, hanya taqwa kepada Allah yang dapat
membentengi seseorang dari mengikuti hawa nafsu dan memalingkan hati kita dari
cinta kepada dunia. Allah berfirman:
فَأَمَّا مَن طَغَى . وَءَاثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا .
فَإِنَّ الْجَحِيمَ هِيَ الْمَأْوَى . وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى
النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى . فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى
"Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih
mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya).
Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari
keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya)".
[an-Nazi’aatL: 37 – 41]
Allah telah mensifatkan penduduk neraka sebagai orang yang
memiliki harta dan kekuasaan di beberapa tempat dalam kitabNya. Dia berfirman:
وَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِشِمَالِهِ فَيَقُولُ
يَالَيْتَنِي لَمْ أُوتَ كِتَابِيَهْ . وَلَمْ أَدْرِ مَاحِسَابِيَهْ .
يَالَيْتَهَا كَانَتِ الْقَاضِيَةَ . مَآأَغْنَى عَنِّي مَالِيَهْ . هَلَكَ عَنِّي
سُلْطَانِيَهْ
"Adapun orang-orang yang diberikan kitabnya kepadanya
dari sebelah kirinya, maka dia berkata:"Wahai alangkah baiknya kiranya
tidak diberikan kepadaku kitabku (ini), dan aku tidak mengetahui apa hisab
terhadap diriku, wahai kiranya kematian itulah yang menyelesaikan segala
sesuatu, hartaku sekali-kali tidak memberi manfaat kepadaku, telah hilang
kekuasaan dariku". [al-Haaqqaah: 25-29]
Ketahuilah bahwa jiwa manusia mencintai kedudukan yang
tinggi melebihi orang lain. Dari sinilah timbul sifat sombong dan hasad, akan
tetapi orang-orang yang berakal akan berlomba untuk mendapatkan kedudukan yang
tinggi yang kekal dan langgeng di sisi Allah, mendapatkan ridlaNya dan membenci
kedudukan tinggi yang fana dan bersifat sementara, tetapi disertai dengan
kemurkaan Allah dan kebencianNya, rendah dan jauh dariNya.
Ambisi untuk mendapatkan kedudukan tinggi di dunia adalah
perbuatan tercela yang mengakibatkan kecongkakan dan kesombongan di muka bumi.
Sedangkan ambisi untuk mendapatkan kedudukan tinggi di sisi Allah adalah hal
yang terpuji. Allah berfirman:
وَفيِ ذَلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَ
"Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang
berlomba-lomba" [al-Muthaffifiin: 26]
Untuk mendapatkan kedudukan yang tinggi di akhirat
diperintahkan untuk berlomba-lomba dan berambisi terhadapnya, dengan jalan
berusaha berjalan di atas rel-relnya, tidak boleh merasa puas dengan rangking
terakhir padahal ia mampu meraih rangking teratas. Adapun kedudukan tinggi di
dunia, maka di akhirat akan berakibat penyesalan dan kerugian serta kehinaan
dan kerendahan yang akan dirasakan oleh orang yang berambisi. Maka yang
disyari’atkan dalam hal ini adalah menghindar dan zuhud terhadapnya.
Fans Page Majelis Kyai dan Ustadz
Posting Komentar