Di pinggir jalan-jalan kota besar seperti Jakarta, Ramadhan adalah pesta
spanduk. Kata “marhaban ya ramadhan” bertebaran. Kalimat “selamat menunaikan
ibadah puasa” berjajar-jajar diungkapkan.
Tentu saja itu spanduk ada pemiliknya. Mereka adalah ormas, organisasi kepemudaan, partai politik, calon anggota legeslatif, lembaga zakat hingga perusahaan-perusahaan. Sebagai tanda pemilik sah, dipasanglah logo organisasi, atau foto-foto si tuan empunya.
Di akhir Ramadhan, spanduk itu didaur ulang dengan ucapan “selamat Hari Raya Idul Fitri” atau “Selamat hari kemenangan”. Ucapan selamat dan mohon maaf lahir batin bertebaran dimana-mana sebagaimana ucapan selamat datang Ramadhan.
Tapi lihatlah orang tak berpuasa ada dimana-mana tanpa malu dan bersalah. Spanduk ya spanduk, tak ada urusannya dengan perilaku orang-orang di kota besar. Spanduk hanya berfungsi bahwa bulan ini benar-benar Ramadhan.
Di kampung saya, tak ada spanduk satu pun sebagai kata sambut Ramadhan. Pertanda satu-satunya adalah bedug dipukul di sembarang jam. Inilah yang disebut ngadulag. Orang-orang kampung sepakat bahwa ngadulag bebas, kecuali mendekati waktu-waktu shalat, waktu buka puasa, saat tarawih, dan malam hari ketika orang bersepakat istirahat.
Ngadulag tidak sembarang memukul bedug, tapi berirama. Kadang-kadang mirip pukulan gendang pencak, irama pengiring seni beladiri silat. Tentu saja tidak sendirian, butuh orang lain yang memukul kentungan yang mengikuti irama bedug. Kadang ditimpali dengan bunyi kaleng bekas.
Orang kampung saya tidak semua berpuasa. Tapi tak seorang pun berani melakukannya di tempat-tempat umum. Jika melakukannya, ia akan ngumpet di tempat-tempat tersembunyi. Singkat kata, meski tak berpuasa, mereka sangat menghormati orang yang berpuasa.
Tindakan masyarakat terhadap orang tak berpuasa tentu saja berbeda antara di kota dan di desa. Di kota besar, muncul ormas yang merasa dirinya berkewajiban untuk turun tangan. “Sweeping” begitu populer dengan kata beraroma kekerasan dan menakutkan.
Menyimak perilaku mereka layak dikutip taushiyah KH A. Mustofa Bisri pada tahlilan seribu hari wafat KH Abdurrahman Wahid. Ia Mengkritik orang-orang berprilaku seperti itu. Jika alasannya untuk menghormati bulan puasa, menurut kiai yang akrab disapa Gus Mus ini, pertanyaannya adalah, sejak kapan Ramadhan ingin dihormati? Bulan Ramdahan sudah terhormat dari dulu.
Bahkan, secara ekstrem, kiai asal Rembang tersebut mengatakan, sebaiknya orang-orang yang menjual makanan itu dibuka dengan bebas. Alasannya, sederhana supaya ketahuan orang-orang yang berpuasa itu kuat menahan godaan lapar atau tidak.
Apa yang dikatakan Gus Mus itu ada hubungannya dengan firman Allah SWT telah berfirman, "Segala amal ibadah anak Adam adalah baginya, kecuali puasa adalah bagiku, dan Aku lah akan membalasnya."
Hadits Qudsi tersebut menjelaskan bahwa, segala amal ibadah manusia dapat dilihat dan dinilai, oleh manusia itu sendiri, kecuali puasa. Ibadah tersebut tidak dapat dilihat, dan tidak dapat diketahui orang lain, kecuali Allah SWT.
Dari hadits Qudsi itu pula bisa dikatakan, orang yang melakukan sweeping, apalagi dengan kekerasana, di bulan puasa, berarti “mencampuri urusan” hak milik Allah. Tetapi dari Hadits Qudsi itu pula, bukan berarti mengajak orang berpuasa itu tidak baik. Tapi dalam hal ini cara yang digunakan harus dengan ma’ruf, penuh dengan kebaikan dan hikma sebagaimana metode dakwah dalam Al-Quran.
Tentu saja itu spanduk ada pemiliknya. Mereka adalah ormas, organisasi kepemudaan, partai politik, calon anggota legeslatif, lembaga zakat hingga perusahaan-perusahaan. Sebagai tanda pemilik sah, dipasanglah logo organisasi, atau foto-foto si tuan empunya.
Di akhir Ramadhan, spanduk itu didaur ulang dengan ucapan “selamat Hari Raya Idul Fitri” atau “Selamat hari kemenangan”. Ucapan selamat dan mohon maaf lahir batin bertebaran dimana-mana sebagaimana ucapan selamat datang Ramadhan.
Tapi lihatlah orang tak berpuasa ada dimana-mana tanpa malu dan bersalah. Spanduk ya spanduk, tak ada urusannya dengan perilaku orang-orang di kota besar. Spanduk hanya berfungsi bahwa bulan ini benar-benar Ramadhan.
Di kampung saya, tak ada spanduk satu pun sebagai kata sambut Ramadhan. Pertanda satu-satunya adalah bedug dipukul di sembarang jam. Inilah yang disebut ngadulag. Orang-orang kampung sepakat bahwa ngadulag bebas, kecuali mendekati waktu-waktu shalat, waktu buka puasa, saat tarawih, dan malam hari ketika orang bersepakat istirahat.
Ngadulag tidak sembarang memukul bedug, tapi berirama. Kadang-kadang mirip pukulan gendang pencak, irama pengiring seni beladiri silat. Tentu saja tidak sendirian, butuh orang lain yang memukul kentungan yang mengikuti irama bedug. Kadang ditimpali dengan bunyi kaleng bekas.
Orang kampung saya tidak semua berpuasa. Tapi tak seorang pun berani melakukannya di tempat-tempat umum. Jika melakukannya, ia akan ngumpet di tempat-tempat tersembunyi. Singkat kata, meski tak berpuasa, mereka sangat menghormati orang yang berpuasa.
Tindakan masyarakat terhadap orang tak berpuasa tentu saja berbeda antara di kota dan di desa. Di kota besar, muncul ormas yang merasa dirinya berkewajiban untuk turun tangan. “Sweeping” begitu populer dengan kata beraroma kekerasan dan menakutkan.
Menyimak perilaku mereka layak dikutip taushiyah KH A. Mustofa Bisri pada tahlilan seribu hari wafat KH Abdurrahman Wahid. Ia Mengkritik orang-orang berprilaku seperti itu. Jika alasannya untuk menghormati bulan puasa, menurut kiai yang akrab disapa Gus Mus ini, pertanyaannya adalah, sejak kapan Ramadhan ingin dihormati? Bulan Ramdahan sudah terhormat dari dulu.
Bahkan, secara ekstrem, kiai asal Rembang tersebut mengatakan, sebaiknya orang-orang yang menjual makanan itu dibuka dengan bebas. Alasannya, sederhana supaya ketahuan orang-orang yang berpuasa itu kuat menahan godaan lapar atau tidak.
Apa yang dikatakan Gus Mus itu ada hubungannya dengan firman Allah SWT telah berfirman, "Segala amal ibadah anak Adam adalah baginya, kecuali puasa adalah bagiku, dan Aku lah akan membalasnya."
Hadits Qudsi tersebut menjelaskan bahwa, segala amal ibadah manusia dapat dilihat dan dinilai, oleh manusia itu sendiri, kecuali puasa. Ibadah tersebut tidak dapat dilihat, dan tidak dapat diketahui orang lain, kecuali Allah SWT.
Dari hadits Qudsi itu pula bisa dikatakan, orang yang melakukan sweeping, apalagi dengan kekerasana, di bulan puasa, berarti “mencampuri urusan” hak milik Allah. Tetapi dari Hadits Qudsi itu pula, bukan berarti mengajak orang berpuasa itu tidak baik. Tapi dalam hal ini cara yang digunakan harus dengan ma’ruf, penuh dengan kebaikan dan hikma sebagaimana metode dakwah dalam Al-Quran.
Ust. Abdullah Alawi
Posting Komentar