Perlu diketahui, istihadhahnya wanita mustahadhah (wanita yang dari kemaluannya terus menerus keluar darah) tidak mencegah kewajiban
menunaikan shalat, karena istihadhah itu tidak sama dengan haidh atau nifas.
Akan tetapi istihadhah itu hukumnya sama dengan orang yang selalu menetes air
kencingnya (beser) atau selalu mengeluarkan air madzi, jadi hal ini
tidak mencegah kewajiban shalatnya.
Adapun cara menunaikan shalat bagi wanita mustahadhah adalah dengan melakukan
empat perkara di bawah ini:
1. Mencuci kemaluannya (vagina) hingga bersih dari darah
2. Menyumbatnya dengan pembalut atau sesuatu yang lain.
Jika
tidak merasa sakit, menyumbatnya dengan kapas terlebih dahulu sebelum
menggunakan pembalut, jika tidak sedang puasa. Tetapi jika sedang puasa, cukup
dengan pembalut.
3. Berwudhu dengan niat istibahah (menjadi bolehnya shalat),
yaitu: Nawaitul wudhu’a listibahatish shalah. Atau dengan bahasa Indonesia, “Saya niat berwudhu agar diperbolehkan bagi
saya melaksanakan shalat.”
Tidak sah wudhunya jika ia beniat untuk mengangkat hadats. Perlu diingat,
bagi mustahadlah, tidak boleh berwudhu (untuk keperluan shalat) kecuali setelah
masuknya waktu shalat tersebut, karena thaharah (bersucinya) wanita mustahadhah
adalah thaharah yang sifatnya darurat. Maka tidak boleh melakukannya sebelum
masuk waktu darurat itu sendiri.
4. Cepat-cepat melaksanakan shalat fardhu.
Setelah mengerjakan
pekerjaan di atas, wajib baginya melaksanakan shalat fardhu dan tidak boleh
mengakhirkannya, kecuali jika menundanya untuk kemaslahatan shalat, seperti
untuk menutup aurat, menunggu shalat berjama’ah, atau untuk pergi ke masjid.
Jika mengakhirkannya bukan karena kemaslahatan shalat, batallah wudhu’nya
dan wajib baginya untuk mengulangi semua pekerjaan di atas.
Jika setelah disumbat ternyata darah masih merembes keluar, hukumnya
diperinci sebagai berikut:
1. Apabila keluarnya karena banyaknya darah,
hukumnya dimaafkan atau diampuni dan sah shalatnya dengan wudhu’ tersebut.
2. Apabila keluarnya darah karena kurang kuat pembalutnya,
tidak dimaafkan dan batal wudhu’nya serta wajib baginya mengulang semua
pekerjaan di atas.
Jika darah berhenti ketika berwudhu’ atau setelahnya, baik itu sebelum
shalat atau setelah shalat, batallah wudhu’nya dan ia wajib mencuci kemaluannya
dari darah untuk melakukan shalat dengan sempurna.
Jika sebelum melakukan hal itu (mencuci kemaluan), dan wudhu dengan
sempurna, kemudian darah keluar lagi, boleh baginya shalat dengan wudhu’nya
yang pertama, dan sah shalatnya.
Dan, jika ada kebiasaan darah itu berhenti
sesaat (dan sesaat itu cukup untuk melakukan thaharah dan shalat), wajib baginya
melaksanakan shalat dengan sempurna.
Begitu pula jika ia yakin di akhir waktu
shalat nanti darahnya akan berhenti, wajib baginya untuk mengakhirkan
shalatnya ke waktu tersebut agar melakukan shalat dengan tanpa adanya hadats
atau dengan sempurna.
Habib Segaf bin Hasan Baharun, M.H.I, Pengasuh Pondok Puteri Pesantren Darul Lughah wad Da’wah, Bangil, Jawa Timur
Posting Komentar