Islam memfasilitasi umat manusia
agar dapat menikmati hidup ini dengan tenang, damai dan tanpa beban. Menikmati
hidup dengan selalu tersenyum, ringan dalam melangkah, serta memandang dunia
dengan berseri-seri. Inilah implementasi
dari ajaran Islam yang memang dirancang untuk selalu memudahkan dan menjadi
rahmat bagi sekalian alam.
Untuk mewujudkan hidup yang sealu tersenyum,
ringan dan tanpa beban tersebut;
Islam memberikan beberapa tuntunan. Yaitu di antaranya: menjaga keseimbangan, selalu berbaik sangka (Khusnudzdzan),
juga dengan berpikir positif. Namun karena
keterbatasan ruang dan waktu, saya
akan membatasi pembahasan kali ini hanya tentang khusnudzdzan dan berpikir positif.
Pertanyaan yang sangat mendasar
adalah: mengapa Islam sampai menekankan
pentingnya khusnudzdzan dan berpikir positif? Paling tidak, ada empat alasan yang bisa dikemukakan di sini.
Pertama, kita harus khusnudzdzan dan berpikir positif karena ternyata orang lain seringkali tidak seburuk yang kita kira. Contoh terbaik mengenai hal ini ialah kisah Nabi Khidhir dan Nabi Musa Alaihima As-Salam.
Pertama, kita harus khusnudzdzan dan berpikir positif karena ternyata orang lain seringkali tidak seburuk yang kita kira. Contoh terbaik mengenai hal ini ialah kisah Nabi Khidhir dan Nabi Musa Alaihima As-Salam.
Suatu kali, Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan Nabi Musa untuk menambah
ilmu dari seseorang yang sedang
berdiri di tepi pantai yang mempertemukan dua arus laut. Setelah mencari tempat yang dimaksud,
di situ beliau menemukan Nabi Khidhir,
dan kemudian mengutarakan maksudnya. Nabi Khidhir mau menerima dengan satu syarat; Nabi Musa tidak boleh
grasa-grusu bertanya sampai Nabi Khidhir
menjelaskan.
"Tapi aku yakin, kamu tidak
akan bisa bersabar", tambah Nabi Khidhir lagi. Namun karena Nabi Musa bersikeras, akhirnya dimulailah perjalanan beliau berdua berdasarkan
syarat tadi. Ternyata benar!!
Ketika dalam perjalanan itu Nabi
Khidhir melakonkan hikmah demi hikmah
yang telah diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, tak sekalipun Nabi Musa mampu bersabar
untuk tidak grasa-grusu menafsirkan
yang bukan-bukan. (Qs. Al-Kahfi: 60-82).
Dalam kisah Qur'ani ini, poin
penting yang dapat dipetik: kita harus selalu
berbaik sangka dan berpikir positif terhadap orang lain. Karena, bisa jadi, orang lain
tidaklah seburuk yang kita kira. Sebab kita
hanya bisa melihat apa yang tampak, namun tidak tahu niat baik apa yang ada di hatinya dan seterusnya.
Kedua, berbaik sangka dan berpikir
positif dapat mengubah suatu keburukan
menjadi kebaikan. Kita dapat menemukan pembuktiannya dalam teladan Rasulullah Shallallahu `Alaihi
wa Sallam, ketika seluruh kafilah-kafilah
Arab berkumpul di Makkah pada tahun-tahun pertama turunnya wahyu. Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan
Rasulullah untuk menyampaikan risalah Islam
kepada semua kafilah itu. Namun yang
terjadi, mereka justru mencaci dan menyakiti Rasulullah, serta melumuri wajah beliau dengan pasir.
Saat itu, datanglah malaikat ke
hadapan Rasulullah, "Wahai Muhammad, (dengan perlakuan mereka ini) sudah sepantasnya jika kamu
berdoa kepada Allah agar membinasakan
mereka seperti doa Nuh –`Alaihi As- Salam—atas
kaumnya." Rasulullah segera mengangkat tangan beliau. Tetapi yang terucap dalam doa beliau
bukanlah doa kutukan, melainkan untaian
maaf dan harapan bagi orang-orang yang telah menyakitinya, "Ya Allah, berilah petunjuk kepada
kaumku.
Sesungguhnya (mereka melakukan semua
ini terhadapku) hanya karena mereka
tidak tahu. Ya Allah, tolonglah aku agar mereka bisa menyambut ajakan untuk taat kepada-Mu."
("Al-Ahadits Al-Mukhtarah, karya
Abu `Abdillah Al-Maqdasi, 10/14).
Pilihan beliau ternyata tidak salah.
Tak lama setelah peristiwa tersebut,
mereka yang pernah menyakiti beliau berangsur-angsur memeluk Islam dan menjadi Sahabat yang paling setia. Ini
sesuai dengan ajaran Al-Qur'an,
"Tanggapilah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dengan
dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi
teman yang sangat akrab." (Qs. Al-Fushilat: 34).
Ust. Abdullah Hakam Syah
Posting Komentar