Suatu ketika seorang laki-laki
menghadap Nabi Muhammad SAW dan gemetaran –oleh wibawa beliau-- saat berbicara.
Nabi SAW pun berkata menenangkan: “Tenang saja! Aku bukan raja. Aku hanyalah
anaknya perempuan Qureisy yang biasa makan ikan asin.” (Dalam hadisnya,
menggunakan kata qadiid yang maknanya dendeng, makanan sederhana di Arab. Saya
terjemahkan dengan ikan asin yang merupakan makanan sederhana di Indonesia).
Ketika Rasulullah SAW datang di Mekkah, setelah sekian lama
hijrah, sahabat Abu Bakar Siddiq r.a. sowan bersama ayahandanya, Utsman yang
lebih terkenal dengan julukan Abu Quhaafah. Melihat sahabat karib sekaligus
mertuanya bersama ayahandanya itu, Rasulullah SAW pun bersabda “Wahai Abu
Bakar, mengapa Sampeyan merepotkan orang tua? Mengapa tidak menunggu aku yang
sowan beliau di kediamannya?”
Sahabat Abdurrahman Ibn Shakhr
yang lebih dikenal dengan Abu Hurairah r.a. bercerita: “Suatu ketika aku masuk
pasar bersama Rasulullah SAW. Rasulullah berhenti, membeli celana dalam dan
berkata: ‘Pilihkan yang baik lho!’ (Terjemahan dari aslinya: Rasulullah
bersabda kepada si tukang timbang, ‘Timbang dan murahin – bahasa Jawa: sing
anget—‘. Boleh jadi waktu itu, beli celana pun ditimbang). Mendengar suara
Rasulullah SAW, si pedagang celana pun melompat mencium tangan beliau.
Rasulullah menarik tangan beliau sambil bersabda: ‘Itu tindakan orang-orang
asing terhadap raja mereka. Aku bukan raja. Aku hanyalah laki-laki biasa
seperti kamu.’ Kemudian beliau ambil celana yang sudah beliau beli. Aku berniat
akan membawakannya, tapi beliau buru-buru bersabda: ‘Pemilik barang lebih
berhak membawa barangnya.’”
Itu beberapa cuplikan yang saya
terjemahkan secara bebas dari kitab Nihayaayat al-Arab-nya Syeikh Syihabuddin
Ahmad Ibn Abdul Wahhab An-Nuweiry (677-733 H) jilid ke 18 hal 262-263. Saya
nukilkan cuplikan-cuplikan kecil itu untuk berbagi kesan dengan Anda. Soalnya
saya sendiri, saat membacanya, mendapat gambaran betapa biasa dan rendah
hatinya pemimpin agung kita Nabi Muhammad SAW.
Dalam kitab itu juga disebutkan
bahwa Rasulullah SAW sering naik atau membonceng kendaraan paling sederhana
saat itu; yaitu keledai. Rasulullah SAW suka menyambangi dan duduk
bercengkerama dengan orang-orang fakir-miskin. Menurut istri terkasih beliau,
sayyidatina ‘Aisyah r.a dan cucu kesayangan beliau Hasan Ibn Ali r.a,
Rasulullah SAW mengerjakan pekerjaan rumah; membersihkan dan menambal sendiri pakaiannya;
memerah susu kambingnya; menjahit terompahnya yang putus; menyapu dan membuang
sampah; memberi makan ternak; ikut membantu sang istri mengaduk adonan roti;
dan makan bersama-sama pelayan.
Sikap dan gaya hidup sederhana sebagaimana hamba biasa itu agaknya memang merupakan pilihan Rasulullah SAW sejak awal. Karena itu dan tentu saja juga karena kekuatan pribadi beliau, bahkan kebesaran beliau sebagai pemimpin agama maupun pemimpin Negara pun tidak mampu mengubah sikap dan gaya hidup sederhana beliau. Bandingkan misalnya, dengan kawan kita yang baru menjadi kepala desa saja sudah merasa lain; atau ikhwan kita yang baru menjadi pimpinan majlis taklim saja sudah merasa beda dengan orang lain.
Memang tidak mudah untuk
bersikap biasa; terutama bagi mereka yang terlalu ingin menjadi luar biasa atau
mereka yang tidak tahan dengan ‘keluarbiasaan’. Apalagi sering kali masyarakat
juga ikut ‘membantu’ mempersulit orang istimewa untuk bersikap biasa. Orang
yang semula biasa dan sederhana; ketika nasib baik mengistimewakannya menjadi
pemimpin, misalnya, atau tokoh berilmu atau berada atau berpangkat atau
terkenal, biasanya masyarakat di sekelilingnya pun mengelu-elukannya sedemikian
rupa, sehingga yang bersangkutan terlena dan menjadi tidak istimewa. Keistimewaan
orang istimewa terutama terletak pada kekuatannya untuk tidak terlena dan
terpengaruh oleh keistimewaannya itu. Keistimewaan khalifah Allah terutama
terletak pada kekuatannya untuk tidak terlena dan terpengaruh oleh
kekhalifahannya, mampu menjaga tetap menjadi hamba Allah.
Keistimewaan Nabi Muhammad SAW
sebagai pemimpin antara lain karena beliau tidak terlena dan terpengaruh oleh
keistimewaannya sendiri. Kita pun kemudian menyebutnya sebagai pemimpin yang
rendah hati.
Nabi Muhammad SAW adalah contoh
paling baik dari seorang hamba Allah yang menjadi khalifahNya. Beliau sangat
istimewa justru karena sikap kehambaannya sedikit pun tidak menjadi luntur oleh
keistimewaannya sebagai khalifah Allah.
Solawat dan salam bagimu, ya
Rasulallah, kami rindu!
KH. Musthofa Bisri (Gusmus)
Posting Komentar