Ketika hari raya, kita lihat umat Islam di nusantara saling anjang sana sesama tetangga dan dengan sanak keluarga yang dekat dan yang jauh. Hal ini selain sebagai ekspresi shilaturrahmi yang memang dianjurkan dalam agama, seperti dalam hadits:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ عَلَيْهِ فِي رِزْقِهِ,
وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ, فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ – أَخْرَجَهُ
اَلْبُخَارِيُّ.
Dari Abu Hurairah berkata: “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“”Barangsiapa ingin dilapangkan rizqinya dan dipanjangkan umurnya, hendaknya ia
menghubungkan tali kekerabatan.” (HR. al-Bukhari).
Dalam rangka menghubungkan tali kekerabatan, pada hari raya umat Islam
melakukan anjang sana, saling mengunjungi antar sesama saudara dan kerabat.
Anjang sana ketika hari raya ternyata juga telah berlangsung sejak masa
Rasulullah SAW. Al-Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam shahihnya:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ تُغَنِّيَانِ بِغِنَاءِ بُعَاثَ فَاضْطَجَعَ
عَلَى الْفِرَاشِ وَحَوَّلَ وَجْهَهُ وَدَخَلَ أَبُو بَكْرٍ فَانْتَهَرَنِي
وَقَالَ مِزْمَارَةُ الشَّيْطَانِ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَأَقْبَلَ عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ عَلَيْهِ السَّلَام فَقَالَ
دَعْهُمَا فَلَمَّا غَفَلَ غَمَزْتُهُمَا فَخَرَجَتَا
Aisyah berkata, “Rasulullah SAW masuk padaku, dan di sisiku ada dua anak wanita
yang menyanyi dengan nyanyian Perang Bu’ats. Beliau berbaring di atas hamparan
dan memalingkan wajah beliau. Abu Bakar masuk, sedang Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam menutup wajah dengan pakaian beliau, lalu Abu Bakar menghardik saya
dan mengatakan, “Seruling setan di rumah Rasulullah?” Lalu Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam menghadap Abu Bakar lantas bersabda, “Biarkanlah mereka wahai
Abu Bakar”. Maka, ketika beliau lupa, saya mengisyaratkan kepada kedua anak
wanita itu, lalu keduanya keluar.”
Dalam hadits di atas, dijelaskan bahwa pada waktu hari raya, Sayyidina Abu
Bakar mengunjungi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan putrinya,
Sayyidah Aisyah. Hal ini menunjukkan bahwa anjang sana pada waktu hari raya
telah berlangsung sejak masa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Aneka Kue dan Suguhan Pada Waktu Hari Raya
Umat Islam di Nusantara memeriahkan hari raya juga dengan aneka kue dan makanan yang disuguhkan kepada tamu. Hal ini sebagai pengejawantahan dari ajaran Islam yang menganjurkan memberi makanan kepada orang lain. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ عَمْرِو بْنِ عَبَسَةَ قَالَ: أَتَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ مَا اْلإِسْلاَمُ، قَالَ: طِيبُ الْكَلاَمِ وَإِطْعَامُ الطَّعَامِ. (رواه أحمد).
Amr bin Abasah berkata: “Aku mendatangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
dan bertanya: “Wahai Rasulullah, Apakah Islam itu?” Beliau menjawab: “Islam
adalah perkataan yang indah dan menyuguhkan makanan kepada orang lain.” (HR.
Ahmad).
Pada dasarnya memberi makanan tidak hanya dianjurkan pada waktu hari raya
saja. sebagai ekspresi ajaran Islam yang indah dan damai, memberi makanan
kepada orang lain dianjurkan kapan dan di mana pun kita berada. Akan tetapi,
dalam masa-masa hari raya, suguhan kue dan makanan lebih semarak dari pada di
luar hari raya. Hal ini sesuai dengan hadits riwayat al-Bukhari dari Aisyah di
atas, yang dikomentari oleh para ulama sebagai berikut ini:
فِيْهِ مَشْرُوْعِيَّةُ التَّوْسِعَةِ عَلَى الْعِيَالِ فِيْ أَيَّامِ
اْلأَعْيَادِ بِأَنْوَاعِ مَا يَحْصُلُ لَهُمْ بِهِ بَسْطُ النَّفْسِ وَتَرْوِيْحُ
الْبَدَنِ مِنْ كُلَفِ الْعِبَادَةِ، فِيْهِ أَنَّ إِظْهَارَ السُّرُوْرِ فِيْ
الأَعْيَادِ مِنْ شَعَائِرِ الدِّيْنِ. (فتح الباري 2/514، عمدة القاري 6/393).
“Hadits di atas menganjung hukum disyariatkannya memberikan keluasan kepada keluarga pada waktu hari raya dengan aneka ragam hal yang mendatangkan kesenangan jiwa dan penyegaran badan dari beratnya ibadah. Hadits tersebut juga mengandung kesimpulan bahwa mengekspresikan kesenangan dalam hari raya termasuk bagian dari syiar agama.”
Berdasarkan pernyataan al-Hafizh Ibnu Hajar dan al-‘Aini di atas, hadits
al-Bukhari dari Aisyah di atas, mengantarkan kita pada kesimpulan tentang
disyariatkannya menyemarakkan hari raya dengan aneka ragam hiburan, kue,
makanan, baju baru, menyalakan petasan (mercon) dan lain-lain untuk menyegarkan
kembali tubuh kita yang telah menjalankan ibadah puasa selama satu bulan penuh.
Dari semua paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa aneka ragam tradisi di Nusantara pada saat-saat hari raya, bukanlah amaliah bid’ah yang dilarang dalam agama. Tradisi-tradisi tersebut pada dasarnya pengejawantahan dari ajaran Islam yang mensyariatkan umatnya untuk menyemarakkan hari raya dengan aneka ragam acara yang dapat mengekspresikan syiar-syiar Islam dan suka cita.
Ust. Idrus Ramli
Posting Komentar