Akhlak adalah perangai seseorang baik menyangkut perbuatannya,
maupun ucapannya. Islam mengajarkan dan menganjurkan agar semua manusia berakhlak
baik. Bahkan demi tercapainya kebaikan dan kesempurnaan akhlak itu Allah SWT
mengutus Nabi dengan tujuan utama untuk menyempurnakan akhlak.
Sebagaimana hadist Nabi:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَرِمَ الْأَخْلَاقِ
Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.
Hanya Nabilah yang mempunyai akhlak yang paling agung diantara semua
manusia yang pernah hidup di dunia ini. Al-Quran sendiri telah menjulukinya
sebagai pemilik perangai yang agung.
وَاِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيْمٍ
Dan sesungguhnya kamu Muhammad
benar-benar terdapat akhlak yang mulia.
Dalam beberapa hadist Nabi sering diutarakan bahwa akhlak
merupakan ukuran keimananan seseorang. Tetapi dalam setiap sesi majlis
taklim-majlis taklim yang sementara penulis temui sering disampaikan bahwa
seakan yang berkaitan dengan iman hanyalah masalah keyakinan (theologi), tanpa
pembahasan lebih lanjut tentang masalah konsekwensi orang yang beriman, atau
aspek perilaku seorang mukmin (jawarih). Kalau pembahasan iman ditinjau dari konsekwensi perilaku, maka
ukuran keimanan seorang terletak pada tingkat kehadirannya: apakah membawa
keamanan bagi tetangganya, atau malah kehadirannya meresahkan bagi tetangganya.
Itulah ukuran keimanan seseorang.
Nabi sering bersabda bahwa seseorang tidak beriman seandainya dia
masih menyakiti tetangganya. Bahkan sampai beliau bersumpah atas nama Allah
sampai tiga kali.
وَاللهِ لَايُؤْمِنُ, وَاللهِ لَايُؤْمِنُ, وَاللهِ لَايُؤْمِنُ . قِيْلَ: مَنْ يَا رَسُوْ لَ اللهِ؟ قَالَ أَلَّذِيْ لَايَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
“Demi Allah, demi Allah, demi Allah tidak beriman,” kemudian sahabat
bertanya, “Siapa wahai Rasulullah?” beliau menjawab: “Yaitu orang yang
menjadikan tetangganya merasa tidak aman karena perbuatan buruknya.”
Melihat hadis di atas sangat jelas bahwa kualitas iman seseorang
sangat ditentukan oleh akhlaknya kepada manusia, dan makhluk lainnya, terutama
akhlak kepada tetangganya. Dalam keterangan hadis disebutkan bahwa sifat iman
itu bisa tambah dan bisa berkurang.
أَلْإِيْمَانُ يَزِيْدُ وَيَنْقُصُ
Iman itu bisa bertambah dan bisa berkurang
Adapun bertambahnya iman itu ketika seseorang beribadah dengan
ikhlas kepada Allah dan berakhlak baik kepada semua makhluk Allah tanpa
kecuali. Alasan hadis di atas juga yang dijadikan sandaran beberapa orang untuk
menafsirkan bahwa hadis-hadis yang matannya menerangkan tidak beriman seseorang (laa yu’minu ahadukum) itu sama
artinya dengan tidak sempurna iman seseorang.
Konsekwensi dari penafsiran tidak sempurna iman seseorang
tersebut membentuk wilayah toleransi juga wilayah abu-abu yang
seringkali tidak tegas bagi diri seorang mukmin. Kalau seandainya hadis itu
cukup diartikan berdasarkan bunyi lafadznya, maka akan timbul ketegasan dan
semoga kehati-hatian bagi seorang hamba bahwa kalau dirinya dalam keadaan
kenyang sedangkan tetangganya lapar, maka: TIDAK BERIMAN.
Juga bisa menuduh dirinya sendiri tidak beriman, seandainya dia tidak mencintai
saudara, tetangganya, laksana mencintai dirinya sendiri.
Dalam hadis dikatakan bahwa takaran kesempurnaan iman seseorang itu
ditentukan oleh kualitas akhlaknya
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُوْقًا
Sempurna-sempurnanya iman orang-orang mukmin adalah mereka yang
paling baik akhlaknya.
Maka menurut tauhid orang yang dianggap telah keluar imannya adalah
orang yang ragu terhadap salah satu ajaran Islam (mamang
atine ing salah sawijine agamane Nabi Muhammad), atau juga benci
terhadap segala sesuatu yang telah dibawa oleh Rasulullah (sengit atine ing salah sawijine kang
didatengaken dene Rasulullah). Adapun secara perilaku (jawarih) atau secara akhlak,
seseorang telah lepas dan tidak beriman, atau berkurang imannya apabila ia
berbuat jahat terhadap tetangganya.
Hadis yang serupa memerintahkan untuk berbuat baik kepada
tentangganya dan harus menghindari untuk berbuat buruk dan menyakiti
tetangganya sangat banyak, dan dalam setiap hadist pasti dikaitkan dengan
keimanan seseorang. Diantara hadis tersebut adalah:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِااللهِ وَالْيَوْمِ الْأَخِرِ فَلَا يُؤْذِ جَارَهُ, مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِا اللهِ وَالْيَوْمِ الْأَخِرِفَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ , وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِااللهِ وَالْيَوْمِ الْأَخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أَوْ لِيَسْكُتْ
Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan
menyakiti tetangganya, dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka
muliakan tamunya, dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka
berkatalah yang baik, atau diam.
Hadis lain yang serupa kandungannya dengan hadist di atas adalah:
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِااللهِ وَالْيَوْمِ الْأَخِرِفَلْيُحْسِنْ إِلَى جَارِهِ
Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan
hari akhir, maka berbuat baiklah kepada tetangganya.
Ust. Ahmad Saifullah
Posting Komentar