Allah SWT berfirman dalam surah Al Hujuraat ayat 11:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang
ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan
merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Serta
janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang
mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk
sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka Itulah
orang-orang yang zalim.”
Untuk diketahui, ayat ini turun karena ada segelintir orang
menghina sahabat Nabi semisal Bilal, `Ammar bin Yasir, Salman Al Farisi, Mus`ab
bin `Umair, Shuhaib Al Rumi, sebagai golongan orang-orang yang melarat. Mereka
menganggap golongan Abu Lahab, Abu Jahal adalah lebih mulia. Mereka lupa
kemuliaan itu adalah dengan iman. Berkata seorang penyair :
لَقَدْ رَفَعَ الإِسْلاَمُ سَلْمَانَ فَارِسٍ *وَقَدْ وَضَعَ الشِّرْكُ النَّسِيْبَ أبَاَ لَهَبٍ
Sungguh Islam telah mengangkat derajat
kemulian Salman Al Farisi
Sedang kemusyrikkan telah meluluhlantakan
kemulian nasab si Abu Lahab
Sudah saatnya kita tanggalkan sikap menghina seseorang
tersebab kesukuan, kebangsaan, warna kulit, dan tampilan luarnya. Toh, yang wajahnya tampan dan
cantik, paling tidak untuk sekarang ini, belum tentu berlanjut di kemudian
hari. Begitu pula yang kini merasa sehat belum tentu besok juga demikian.
Di lain kesempatan, Rasul SAW bersabda, “Cukup sebagai perbuatan jelek bagi seseorang itu dengan
menghina saudaranya yang muslim”.
Di antara sahabat-sahabat Nabi ada yang disebut Ashhabus Suffah, mereka tidak punya
rumah, pekerjaan tidak ada, tidurnya di pelataran masjid –meminjam istilah
orang sekarang- “kaum gelandangan”. Tapi bagaimana Allah berpesan kepada Nabi
tentang mereka:
“Dan Bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang
menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya.(QS.[18]:
28)
Alih-alih Rasul menghina orang, sekelas makanan pun tak
pernah menjadi sasaran hinaan beliau. Semua yang keluar dari mulut Rasul adalah
bersih, penuh dengan samudera hikmah, tidak ada cacian sama sekali.
Diriwayatkan:
مَا عَابَ النَّبِيُّ طَعَامًا قَطُّ إِنِ اشْتَهَاهُ أَكَلَهُ وَإِنْ كَرِهَهُ تَرَكَهُ
“Nabi sama sekali tidak pernah menghina satu makanan. Bila
beliau suka beliau makan, bila tidak beliau tinggalkan (tidak memakannya).”
Ketika Rasul masuk ke salah satu rumah istrinya, beliau
bertanya : “Apakah ada makanan?”
“Oh, ada ya Rasulullah, roti gandum
”Apa ada kuanya?”.
“Tidak ada.”
“Apa yang ada?”
“Hanya cukak.”
Rasul berkata, “Kua yang paling nikmat adalah cukak.”
Memang Islam tidak merestui penghinaan kepada siapa saja.
Islam mengajarkan untuk menghargai orang lain. Islam juga memerintahkan untuk
melihat kebaikan bukan pada siapa dirinya di masa lalu.
مَنْ عَيَّرَ أَخَاهُ بِذَنْبٍ قَدْ تَابَ مِنْهُ لَمْ يَمُتْ حَتىَّ يَعْمَلَهُ (حديث)
“Barangsiapa menjelek-jelekkan saudaranya
perbuatan dosa yang ia sudah taubat darinya, tidaklah ia mati sampai ia
melakukan dosa tersebut.”
Seperti terlampir dalam altar sejarah manusia agung yaitu
Sayyidina Hasan ra. di mana ia pernah berjalan melewati sekelompok kaum dhu`afa yang sedang makan. Orang
miskin tersebut sembari berbasa-basi mewarkan makan kepada Hasan. Hasan turun
dari kendaraannya, makan bersama mereka. Kaum dhu`afa
kaget tidak kepalang. Pikir mereka, “Orang yang
sangat mulia sudi benar duduk bersama kita.”
Akhirnya, Hasan mengundang mereka untuk datang ke rumahnya
keesokan harinya. Esok harinya sudah dipersiapkan makanan yang lezat sebagai
bentuk penghargaan Hasan kepada kaum dhu`afa
yang telah menghargai Hasan. Beliau ingin membalas
kebaikan mereka atas dirinya.
Pernah Siti Aisyah duduk bersama Nabi kemudian lewat
seorang wanita yang postur tubuhnya pendek. Begitu datang, Siti Aisyah mencibir
postur tubuh si wanita tadi, “Perempuan ini pendeknya segini, wahai Rasul.” Nabi tidak
suka pernyataan Aisyah dan memberi tanggapan serius, “Bekas omonganmu jika
ditunjukkan hakikatnya dengan kamu ludahkan ke lautan, maka lautan tersebut
akan mengeluarkan bau anyir.”
Perhatikan tanggapan serius Nabi tersebut. Celakanya,
cacian sekarang dijadikan “madzhab”. Namanya “madzhab” mencaci. Yang dicaci
adalah para sahabat seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali; yang dicaci
adalah kaum shalihin, Imam Ghazali, Syekh Abdulkadir Al Jailani. Makanan saja
tidak boleh dicaci apalagi Sayidina abu Bakar dan sahabat lainnya.
Habib Ali Akbar bin Agil
Posting Komentar