Dikenal dengan istilah haqq al ijbaar
atau hak paksa seorang wali (Ayah atau Kakek) untuk menikahkan anak gadisnya
tanpa perlu izin dari pihak anak.
Memang ada Hadits yang memberikan
legitimasi kepada orang tua (wali) untuk menjodohkan putri gadisnya tanpa harus
melalui kesepakatannya terlebih dahulu, dalam sebuah Riwayat Rasulullah SAW
bersabda :
“Janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya sedangkan anak
gadis yang menikahkan adalah bapaknya"(HR. Ad-Daruquthny)
Redaksi hadits ini menegaskan bahwa hak
nikah seorang anak gadis berada di tangan ayahnya (wali mujbir). Namun bisa
terealisasinya hadits ini dengan ketentuan syarat yang amat memberatkan pada
pihak ayah, diantaranya sebagai berikut :
1.
Tidak ada kebencian nyata antara ayah dan anak gadisnya
2.
Tidak ada kebencian nyata antara calon suami dan anak gadis
3.
Menjodohkan dengan laki-laki yang selevel (kufu') dengan anak gadis
4.
Memilih calon suami yang sanggup memenuhi kewajiban membayar mahar (mas kawin)
5.
Menikahkan dengan mahar standar (mitsli)
6.
Mahar harus dibayar kontan
Dari ketentuan-ketentuan syarat diatas
untuk empat syarat yang pertama apabila tidak dapat terpenuhi salah satunya
maka prosesi akad pernikahannya dianggap tidak sah kecuali sebelumnya ada
kerelaan dan perizinan oleh pihak gadis sedangkan dua syarat terakhir apabila
tidak terpenuhi tidak sampai mempengaruhi keabsahan pernikahan.
Imam al-Bukhari berkata: Mu’adz bin
Fadhalah memberitahu kami, ia berkata: Hisyam memberitahu kepada kami, dari
Yahya dari Abu Salamah bahwa Abu Hurairah ra pernah menyampaikan hadits kepada
mereka bahwa Nabi saw. pernah bersabda, “Tidaklah seorang janda dinikahkan
sehingga diminta pertimbangannya dan tidak pula seorang gadis dinikahkan
sehingga diminta izinnya.” Para Sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, lalu bagaimana pengizinan seorang gadis itu?” Beliau
menjawab, “Yaitu, dia diam.”
Dari ‘Aisyah ra, dia berkata, “Aku pernah
bertanya kepada Rasulullah saw mengenai seorang gadis yang akan dinikahkan oleh
keluarganya, apakah perlu dimintai pertimbangannya?” Maka Rasulullah saw bersabda
kepadanya, “Ya, dimintai pertimbangannya.” Lalu ‘Aisyah berkata, maka aku katakan
kepada beliau, “Dia malu.” Rasulullah saw pun berkata, “Demikianlah pengizinannya, jika ia
diam.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dari Ibnu ‘Abbas bahwa Nabi saw bersabda: “Seorang janda
lebih berhak atas dirinya sendiri daripada walinya. Sedangkan seorang gadis
dimintai izin dan pengizinannya adalah sikap diamnya.” (HR. Muslim)
Dari ‘Aisyah raa dari Nabi Saw, beliau
bersabda: “Mintalah izin kepada wanita dalam pernikahannya.” Dikatakan
kepada beliau, “Sesungguhnya seorang gadis akan merasa malu dan diam.” Beliau
bersabda, “Itulah izinnya.” (HR. An-Nasa-i dengan sanad yang shahih)
Imam al-Bukhari rahimahullah telah membuat
bab tersendiri: “Bab Idzaa Zawwaja Ibnatahu wahiya Kaarihah fanikaahuhaa Marduudun
(Bab Jika Seorang Bapak Menikahkan Anaknya, Lalu Menolak, Maka Nikahnya Batal).”
Imam al-Bukhari berkata, Isma’il
memberitahu kami, dia berkata, Malik memberitahuku, dari ‘Abdurrahman
bin al-Qasim dari ayahnya dari ‘Abdurrahman dan Mujammi’, dua putera Yazid bin Jariyah, dari Khansa’ bin Khidam al-Anshariyah bahwa
ayahnya pernah menikahkannya sementara dia adalah seorang janda, lalu dia tidak
menyukai hal itu, kemudian dia mendatangi Rasulullah saw, maka beliau pun
mmbatalkan nikahnya.
Dari Ibnu Buraidah dari ayahnya, dia
berkata, “Pernah datang seorang remaja puteri kepada Nabi saw seraya berucap, “Sesungguhnya
ayahku telah menikahkanku dengan keponakannya untuk meninggikan derajatnya.” Lebih
lanjut, dia berkata, “Maka Nabi saw menyerahkan masalah tersebut kepada wanita itu, maka
wanita itu pun berkata, ‘Aku tidak keberatan atas tindakan ayahku, tetapi aku ingin agar kaum
wanita mengetahui bahwa para orang tua tidak memiliki hak apa-apa dalam masalah
ini.’”(HR Ibnu Majah dengan sanad yang shahih)
Sesungguhnya pengertian wali mujbir dari
Hadits diatas bukan berarti dia berhak memaksa anak gadisnya untuk menikah
sesuai keinginan walinya, Musyawarah antara keduanya akan sangat dibutuhkan
ketimbang semuanya berlangsung dengan penyesalan, bagaimanapun pernikahan dalam
seumur hanya diinginkan sekali dan diharapkan semuanya menuju kearah rumah
tangga sakinah mawaddah wa rahmah. Wallaahu A'lam bi Asshowaab...
Referensi: Syarh Shohih Bukhori Vol 7 Hal 257, Fath
al-Bari Vol 1 Hal 230, Mughni al-Muhtaj Vol 4 hal 248, al-Madzaahib al-Arba'ah
Vol 4 Hal 35.
Posting Komentar