Ketakutan kepada Allah, justru akan menghantarkan
manusia kepada kebaikkan amal. Al-Fadhil Ibnu ‘Iyadh berkata, “Barang siapa
yang takut kepada Allah, maka ketakutan itu akan menghantarkannya kepada
kebaikkan”.
Contoh kongkrit akan hal tersebut, bahwa takut kepada Allah, mampu menumbuhkan keberanian kepada makhluk, dan mengarahkan kepada kebaikan, bisa kita lihat pada sosok Nabi Yusuf ‘Alaihi wassalam, ketika beliau menolak rayuan Zulaikha untuk berbuat zina. Ketakutan kepada Allah, telah melindunginya dari keburukan.
Begitu pula dengan Rosulullah. Ketakutan seorang hamba kepada Tuhannya yang tertancap begitu dalam, telah menumbuhkan keberanian beliau untuk menantang larangan para pemuka Quraisy untuk menyebarkan agama hanif ini, sekalipun mereka mengancam dengan berbagai ancaman, “Wahai paman, sekalipun mereka mampu meletakkan matahari di tanganku, sekali-kali tidak akan pernah kutinggalkan dakwah ini”, jawab beliau dengan tegas.
Timbulnya rasa takut macam ini, tidak serta merta bisa kita munculkan seketika. Butuh proses menuju kesana. Layaknya seseorang yang takut terhadap sesuatu, tidak lain dikarenakan dia telah mengetahui bahwa sesuatu tersebut memang patut ditakuti, baik itu karena dia memiliki kekuatan, ataupun kekuasaan. Semakin jauh dia mengetahui hal tersebut, dan semakin menyadari kelemahannya, maka semakin menjadi-jadilah rasa takut itu bersemayam dalam dirinya.
Begitu pula prihalnya dalam menumbuhkan rasa takut kepada Allah. Semakin kita mengenal akan kekuasaan dan keperkasaan-Nya, dan mengenal ketidak berdayaan diri tanpa karunia-Nya, maka ketakutan kita akan semakin berlipat ganda.
Sebaliknya, ketidaktahuan kita kepada Allah, akan menjadikan kita ingkar kepada-Nya, yang kemudian akan melahirkan penentangan terhadap-Nya. Allah berfirman, “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama . Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (Faathir: 28).
Sedangkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan Ahmad, Rosulullah bersabda, “Demi Allah sesungguhnya aku adalah orang yang paling mengetahui tentang Allah dan aku juga orang yang paling takut kepada-Nya.”
Sejalan dengan surat dan hadits di atas, ada seseorang yang berkata kepada imam As-Sya’bi, “Wahai alim, sesungguhnya seorang alim itu adalah orang yang takut kepada Allah”. Ada pula pepatah yang mengatakan, “Bukanlah seorang penakut itu adalah orang yang menangis kemudian mengusap kedua matanya. Yang dimaksud dengan penakut adalah orang yang meninggalkan sesuatu yang ia khuatir akan menerima ‘ikob (hukuman) dari Allah lantaran sesuatu tersebut”.
Dari sini, kita bisa mengambil benang merah, bahwa ketakutan kepada Allah akan kita peroleh dengan mengenal-Nya lebih dalam. Dan yang perlu dicamkan, bahwa takut kepada Allah merupakan salah satu bukti keimanan kita kepada-Nya, yang menuntut kita menjalankan semua perintahnya, dan menjauhi larangan-larangan-nya. Dan sungguh termasuk orang yang menentang Allahlah, mereka yang mengaku-ngaku takut kepada Allah, namun, mereka menyoalkan, meragukan keabsahan perintah-perintah ataupun larangan-larangan-Nya yang telah termaktub dalam Al-Quran ataupun As-Sunnah.
Firman Allah, “Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (azab) Tuhan mereka (57) Dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Tuhan mereka (58) Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Tuhan mereka (sesuatu apapun),(59) Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka (60) mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya (61).” (Al-Mukminun: 57-61)
Akhirnya, mari kita berdo’a, semoga Allah menetapkan kita termasuk orang-orang yang hanya memiliki rasa takut terhadap-Nya, sebagaimana rasa takut yang telah dimiliki oleh para nabi dan rosul serta sahabat-sahabat mereka, sehingga kita termasuk dari golongan mereka. Amien, amien yaa rabbal ‘aalamien. Wallahu ‘alam bis-shawab.
Contoh kongkrit akan hal tersebut, bahwa takut kepada Allah, mampu menumbuhkan keberanian kepada makhluk, dan mengarahkan kepada kebaikan, bisa kita lihat pada sosok Nabi Yusuf ‘Alaihi wassalam, ketika beliau menolak rayuan Zulaikha untuk berbuat zina. Ketakutan kepada Allah, telah melindunginya dari keburukan.
Begitu pula dengan Rosulullah. Ketakutan seorang hamba kepada Tuhannya yang tertancap begitu dalam, telah menumbuhkan keberanian beliau untuk menantang larangan para pemuka Quraisy untuk menyebarkan agama hanif ini, sekalipun mereka mengancam dengan berbagai ancaman, “Wahai paman, sekalipun mereka mampu meletakkan matahari di tanganku, sekali-kali tidak akan pernah kutinggalkan dakwah ini”, jawab beliau dengan tegas.
Timbulnya rasa takut macam ini, tidak serta merta bisa kita munculkan seketika. Butuh proses menuju kesana. Layaknya seseorang yang takut terhadap sesuatu, tidak lain dikarenakan dia telah mengetahui bahwa sesuatu tersebut memang patut ditakuti, baik itu karena dia memiliki kekuatan, ataupun kekuasaan. Semakin jauh dia mengetahui hal tersebut, dan semakin menyadari kelemahannya, maka semakin menjadi-jadilah rasa takut itu bersemayam dalam dirinya.
Begitu pula prihalnya dalam menumbuhkan rasa takut kepada Allah. Semakin kita mengenal akan kekuasaan dan keperkasaan-Nya, dan mengenal ketidak berdayaan diri tanpa karunia-Nya, maka ketakutan kita akan semakin berlipat ganda.
Sebaliknya, ketidaktahuan kita kepada Allah, akan menjadikan kita ingkar kepada-Nya, yang kemudian akan melahirkan penentangan terhadap-Nya. Allah berfirman, “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama . Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (Faathir: 28).
Sedangkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan Ahmad, Rosulullah bersabda, “Demi Allah sesungguhnya aku adalah orang yang paling mengetahui tentang Allah dan aku juga orang yang paling takut kepada-Nya.”
Sejalan dengan surat dan hadits di atas, ada seseorang yang berkata kepada imam As-Sya’bi, “Wahai alim, sesungguhnya seorang alim itu adalah orang yang takut kepada Allah”. Ada pula pepatah yang mengatakan, “Bukanlah seorang penakut itu adalah orang yang menangis kemudian mengusap kedua matanya. Yang dimaksud dengan penakut adalah orang yang meninggalkan sesuatu yang ia khuatir akan menerima ‘ikob (hukuman) dari Allah lantaran sesuatu tersebut”.
Dari sini, kita bisa mengambil benang merah, bahwa ketakutan kepada Allah akan kita peroleh dengan mengenal-Nya lebih dalam. Dan yang perlu dicamkan, bahwa takut kepada Allah merupakan salah satu bukti keimanan kita kepada-Nya, yang menuntut kita menjalankan semua perintahnya, dan menjauhi larangan-larangan-nya. Dan sungguh termasuk orang yang menentang Allahlah, mereka yang mengaku-ngaku takut kepada Allah, namun, mereka menyoalkan, meragukan keabsahan perintah-perintah ataupun larangan-larangan-Nya yang telah termaktub dalam Al-Quran ataupun As-Sunnah.
Firman Allah, “Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (azab) Tuhan mereka (57) Dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Tuhan mereka (58) Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Tuhan mereka (sesuatu apapun),(59) Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka (60) mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya (61).” (Al-Mukminun: 57-61)
Akhirnya, mari kita berdo’a, semoga Allah menetapkan kita termasuk orang-orang yang hanya memiliki rasa takut terhadap-Nya, sebagaimana rasa takut yang telah dimiliki oleh para nabi dan rosul serta sahabat-sahabat mereka, sehingga kita termasuk dari golongan mereka. Amien, amien yaa rabbal ‘aalamien. Wallahu ‘alam bis-shawab.
Robin S. Hidayatullah
Posting Komentar