Beberapa etika yang perlu
diperhatikan dan dijaga berkaitan dengan penggunaan telepon/ handphone ini antara
lain:
Pertama: Menyingkat pembicaraan.
Percakapan
melalui media telepon hendaknya dilakukan sesingkat mungkin untuk menghindari pemborosan
uang/pulsa jika tidak ada keperluan mendesak, dan guna tidak mengganggu lawan
bicara dengan pembicaraan yang panjang. Maka disarankan bagi seseorang yang
menelepon untuk menyingkat pembicaraannya ketika menanyakan suatu hal,
menghindari pembicaraan yang terlalu lama berbasa-basi.
Hendaknya dia menahan diri untuk
tidak terlalu sering menelepon tanpa keperluan yang benar-benar penting. Juga
jangan suka mengumbar kata-kata saat menelepon. Karena ada sebagian orang yang
betah berlama-lama saat menelepon hingga berjam-jam.
Dalam kitabnya Adabul Hatif,
Al-Allamah Syaikh Bakar Abu Zaid berkata, “Hindarilah berlebihan dalam
berbicara melalui telepon, sehingga menjadikanmu kecanduan menelepon. Mengingat
banyak orang yang telah terjangkit penyakit ini. Sejak bangun tidur, ia sudah
menyibukkan diri dengan menelepon dari rumah satu ke rumah yang lain, dan dari
satu kantor ke kantor lainnya, sekedar mencari kepuasan belaka dan mengganggu
orang lain. Terhadap orang seperti mereka ini, kita hanya bisa berdoa dan menasihatkan
agar mereka segera berhenti dari kebiasaan buruknya yang berlebihan (dalam
mengumbar kata) itu”. (Adabul Hatif: 32-33).
Kedua, Tidak menyusahkan penerima telepon.
Misalnya menelepon orang dan mengujinya dengan pertanyaan: “Apakah kamu
mengenalku?” Ketika dijawab “Tidak”, malah mencela dan menyalahkannya karena
sudah tidak mengenalnya lagi atau karena tidak menyimpan nomor ponselnya.
Padahal si penerima kadang lebih tua darinya, lebih alim atau terpandang.
Mungkin dia memang tidak bisa menyimpan nomornya di ponsel atau disebabkan
kapasitas ponsel yang penuh dan tidak mampu menampung nomor lebih banyak.
Maka selayaknya si peneleponlah
yang harus memperkenalkan diri di awal pembicaraan jika memang ingin dikenali.
Hindarilah cara menelepon yang menyusahkan tersebut.
Diriwayatkan dari Jabir bin
Abdullah, berkata:
َأتَيْتُ النَِّبيَّ َفدَعَوْتُ، َفَقا َ ل النَِّبيُّ مَنْ هَ
َ ذا؟ َفُقْلتُ: َأنَا، َفخَرَجَ وَهُوَ يَُقوْ ُ ل َأنَا َأنَا
Aku datang kepada Nabi, lalu aku
memanggil beliau. Beliau bertanya: Siapa?” Maka aku jawab: “Saya”. Beliau
keluar sambil berkata: “Saya… saya…” (menunjukkan beliau tidak suka
dengan jawaban “saya” tersebut). (HR. Bukhari dan Muslim).
Ketiga: Menjaga perasaan penerima telepon dan
tidak membuatnya tersinggung.
Mungkin dia sedang sakit atau sedang di tempat
yang tidak layak untuk ngobrol, misalnya di masjid atau saat pemakaman. Atau
sedang berbicara di forum orang banyak yang dia tidak ingin memotong
pembicaraan mereka, dan sebagainya. Bila ternyata panggilan tidak dijawab, atau
dijawab dengan sangat singkat, maka hendaknya si penelepon memaafkan dan
memaklumi keadaannya. Serta tidak berburuk sangka kepadanya.
Dan bagi si
penerima telepon hendaknya memberi tahu keadaannya, atau menjawab dengan
singkat pada saat ada kesempatan, yang bisa dipahami oleh penelepon bahwa dia
sedang berada di tempat yang belum bisa bicara panjang lebar. Dengan begitu
akan lebih menenangkan hati dan jauh dari prasangka.
Sumber: Al Jawaalul Adaab Wa Tanbihaat atau Adabul Hatif (adab menelepon)
Posting Komentar