Bahwa rukun khutbah itu ada lima, pertama memuji Allah dengan lafazh al-hamd, kedua membaca shalawat kepada Rasulullah saw dengan lafazh ash-shalat,
ketiga, wasiat untuk bertakwa kepada Allah swt, keempat, mendoakan
orang-orang mukmin, dan kelima, membaca ayat al-Qur`an minimal satu
ayat. Namun jika salah satu rukun tersebut tidak terpenuhi maka
khutbahnya tidak sah, dan konsekwensinya adalah tidak sahnya shalat
jumat. Dalam kondisi seperti maka yang dilakukan adalah melakukan i’adah shalat dhuhur.
Sedang yang jadi persoalan di atas adalah menyangkut isi khutbah itu
sendiri. Apakah diperbolehkan menginterupsi khatib yang isi khutbahnya
adalah menjelek-jelekkan orang lain?
Pada prinsipnya, menurut para fuqaha` berbicara pada saat khutbah itu tidak diperbolehkan. Namun ada yang menarik dari pandangan madzhab Maliki.
Namun sebelum kami mengemukakan pandangan madzhab Maliki terlebih
dahulu kami kemukakan bahwa menurut mereka, khotib dan imam shalat jumat
itu harus satu orang kecuali ketika ada udzur. Artinya, yang menjadi
khatib juga sekaligus menjadi imam.
Dalam pandangan madzhab Maliki diharamkan berbicara ketika imam
sedang berkhutbah atau ketika ia duduk di antara dua khutbah. Larangan
berbicara ini ditujukan untuk semua jamaah baik yang mendengarkan
khutbah atau tidak, baik yang di serambi masjid atau jalan yang
terhubung dengan masjid.
Lebih lanjut menurut mereka jika isi khutbah imam ternyata tidak
tidak jelas atau ngawur, seperti memuji orang yang tak layak untuk
dipuji atau mencaci orang yang sebenarnya tidak layak dicaci, maka
larang berbicara tersebut menjadi gugur. Demikian sebagaimana dikemukan
Abdurrahman al-Juzairi dalam kitab al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba`ah:
اَلْمَالِكِيَّةُ
قَالُوا يَحْرُمُ الْكَلَامُ حَالَ الْخُطْبَةِ وَحَالَ جُلُوسِ
الْإِمَامِ عَلَى الْمِنْبَرِ بَيْنَ الْخُطْبَتَيْنِ وَلَا فَرْقَ فِي
ذَلِكَ بَيْنَ مَنْ يَسْمَعُ الْخُطْبَةَ وَغَيْرِهِ فَالْكُلُّ يَحْرُمُ
عَلَيْهِ الْكَلَامُ وَلَوْ كَانَ بِرَحْبَةِ الْمَسْجِدِ أَوِ الطُّرُقِ
الْمُتَّصِلَةِ بِهِ وَإِنَّمَا يَحْرُمُ الْكَلَامُ الْمَذْكُورُ مَا لَمْ
يَحْصُلْ مِنَ الْإِمَامِ لَغْوٌ فِي الْخُطْبَةِ كَأَنْ يَمْدُحُ مَنْ
لَا يَجُوزُ مَدْحُهُ أَوْ يَذُمُّ مَنْ لَا يَجُوزُ ذَمُّهُ فَإِنْ فَعَلَ
ذَلِكَ سَقَطَتْ حُرْمَتُهُ (عبد الرحمن الجزيري، الفقه على مذاهب
الأربعة، بيروت-دار الكتب العلمية، الطبعة الثانية، 1424هـ/2003م، ج، 1،
ص. 361)
“Menurut madzhab Maliki haram berbicara ketika khutbah dan ketika
imam duduk di atas mimbar di antara dua khutbah. Dan dalam hal ini tidak
ada perbedaan di antara orang yang mendengarkan khutbah atau tidak.
Semua haram berbicara meskipun berada di teras masjid atau jalan yang
terhubung dengan masjid. Hanya saja keharaman berbicara tersebut
sepanjang tidak terdapat dalam khutbahnya imam kesia-siaan atau ngawur (laghw),
seperti memuji orang yang tak boleh dipuji, atau menghina orang yang
tidak boleh dihina. Jika imam melakukan itu maka gugurlah keharamannya
(berbicara ketika khutbah berlangsung atau ketika ia duduk di atas
mimbar di antara dua khutbah)” (Abdurrahman al-Juzairi, al-Fiqh ‘ala Madzhabib al-Arba’ah, Bairut-Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet ke-2, 1424 H/2003 M, juz, 1, h. 361).
Jika pandangan madzhab maliki ini ditarik ke dalam konteks pertanyaan
di atas, maka menginterupsi khatib yang dalam khutbahnya
menjelek-jelekkan kelompok lain bisa saja diperbolehkan, sepanjang hal
itu adalah masuk dalam kategori laghw. Dan tentunya harus didukung dengan pengetahuan yang benar.
Meskipun mengiterupsi khatib itu boleh menurut madzhab Maliki, namun
jangan sekali-kali dilakukan tanpa dasar pengetahun yang kuat. Dan jika
khatib tidak menanggapi interupsi atau peringatan kita maka jangan
mendesak khatib untuk membenarkan khutbahnya. Kendatipun demikian,
sebaiknya jika khatib dalam khutbahnya ada hal-hal yang “ngawur” maka
diingatkan setelah selesai shalat jumat dengan ungkapan yang santun,
tetap menghormati khatib dan menjaga kemuliaan masjid.
Ust. Mahbub Ma’afi Ramdlan
Posting Komentar