Pada prinsipnya hutang haruslah dibayar. Sekalipun hutang sudah lama,
ia tetap harus dibayar. Sedang jika ada orang yang meninggal dunia dan
tidak memiliki tirkah maka tidak ada kewajiban bagi ahli warisnya untuk
membayar hutang tersebut. Namun jika ahli waris bersedia membayar atau
menanggung hutannya maka itu sangat dianjurkan karena termasuk perbuatan
terpuji.
Dalam soal hutang, jika si penghutang ternyata belum bisa membayar
hutangnya pada waktu yang telah ditentukan maka ia sebaiknya bicara
kepada pihak yang menghutangi. Dan pihak yang menghutangi hendaknya
memberikan tenggang waktu kepada si penghutang.
Namun persoalannya ternyata tidak cukup sampai disini, sebab hutang
yang harus dilunasi ternyata sudah sangat lama. Misalnya, hutang uang
sebesar Rp. 1000, sebagaimana dicontohkan di atas sudah tigapuluh tahun,
sedang nilai Rp. 1000 tigapuluh tahun bisa jadi sama dengan Rp. 100.000
sekarang mengingat adanya fluktuasi dan perubahan nilai. Dalam kasus
ini apakah hutang yang harus dibayar sesuai dengan nominalnya yaitu Rp.
1.000 ataukah mengikuti nilainya pada saat hutang itu dibayar.
Prinsip dasar dalam membayar hutang itu sesuai nominal yang dihutang
bukan dengan nilainya. Ini artinya orang yang berhutang harus membayar
sesuai dengan jumlah hutannya, bukan dengan nilainya. Jadi, jika ia
berhutang Rp. 1000 maka ia harus mengembalikan Rp. 1000 meskipun nilai
Rp. 1000 pada saat berhutang berbeda pada saat membayarnya. Hal ini
didasarkan kepada penjelasan dibawah ini:
وَيَجِبُ عَلَى الْمُسْتَقْرِضِ رَدُّ الْمِثْلِ فِيمَا لَهُ مِثْلٌ لِأَنَّ مُقْتَضَى الْقَرْضِ رَدُّ الْمِثْلِ
“Wajib atas orang yang berhutang untuk mengembalikan hutannya dengan yang sepadan (al-mitsl) karena hutang menuntut pengembalian yang sepadan” (Abu Ishaq asy-Syirazi, al-Muhadzdzab fi Fiqh asy-Syafi’i, Bairut-Dar al-Fikr, juz, 2, h. 304)
Pandangan di atas juga diteguhakan oleh Majma` al-Fiqh al-Islami pada
pertemuan ke-5 di Kuwait bulan Jumada al-Ula 1409 H/Desember 1988 M.
اَلْعِبْرَةُ
فِي وَفَاءِ الدُّيُونِ الثَّابِتَةِ بِعُمْلَةِ مَا هِيَ بِالْمِثْلِ
وَلَيْسَ بِالْقِيمَةِ، لِأَنَّ الدُّيُونَ تُقْضَى بِأَمْثَالِهَا، فَلَا
يَجُوزُ رَبْطُ الدُّيُونِ الثَّابِتَةِ فِي الذِّمَّةِ، أيًّا كَانَ
مَصْدَرُهَا، بِمُسْتَوَى الأَسْعَارِ
“Yang menjadi patokan dalam membayar hutang yang telah ditetapkan
dengan uang apa saja adalah membayar dengan yang sepadan (nominalnya)
bukan dengan nilainya (al-qimah). Karena hutang mengharuskan
dibayar dengan yang sepadannya. Maka tidak boleh mengaitkan hutang yang
ada dalam tanggungan, apapun sumbernya, dengan mengikuti tingkat harga
(nilainya)”. (Lihat Wahbah az-Zuhaili, al-Mu’amalat al-Maliyyah al-Mu’ashirah, Damaskus-Dar al-Fikr, cet ke-6, 1429 H/2008 M, h. 53).
Penjelasan singkat ini jika ditarik ke dalam konteks pertanyaan di
atas maka ahli waris yang menanggung hutang si mayyit hanya membayar
nominal hutangnya saja atau mitsl bukan nilainya atau qimah.
Jadi, jika si mayyit hutangnya Rp. 1000 maka yang harus dibayar oleh
pihak yang menanggung yang dalam hal ini adalah ahli waris, adalah
sesuai nominalnya yaitu Rp. 1000.
Namun masalahnya uang 1.000 saat ini mungkin tidak bernilai, berbeda
dengan tigapuluh tahun yang lalu pada saat transaksi hutang itu terjadi.
Dalam hal ini ada pendapat lain mengatakan:
إذَا غَلَتْ الْفُلُوسُ قَبْلَ الْقَبْضِ أَوْ رَخُصَتْ .قَالَ : أَبُو
يُوسُفَ ، قَوْلِي وَقَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ فِي ذَلِكَ سَوَاءٌ وَلَيْسَ
لَهُ غَيْرُهَا ، ثُمَّ رَجَعَ أَبُو يُوسُفَ وَقَالَ : عَلَيْهِ
قِيمَتُهَا مِنْ الدَّرَاهِمِ ، يَوْمَ وَقَعَ الْبَيْعُ وَيَوْمَ وَقَعَ
الْقَبْضُ
“Ketika nilai uang kertas menguat atau melemah sebelum jatuhnya masa
pembayaran hutang. Dalam hal Abu Yusuf berkata, pendapatku dan dan
pendapat Imam Abu Hanifah adalah sama, ia hanya membayar nominal uang
pada saat pembayarannya. Kemudian Abu Yusuf menarik pendapatnya, dan
mengatakan, ia wajib membayar nilainya uang tersebut senilai dirham pada
hari terjadi transaksi jual-beli dan pada hari pembayaran hutangnya”
(Ibnu Abidin, Radd al-Mukhtar, Bairut-Dar al-Fikr, 1421 H/2000 M, juz, 4, h. 534).
Saran kami, penyelesaian bisa dilakukan dengan prinsip musyawarah atau sulh
atau dalam bahasa ekonominya disebut arbitrase. Besaran hutang yang
harus dibayar bisa disepakati dengan pihak yang menghutangi.
Prinsipnya, para ulama fikih umumnya berpendapat bahwa hutang uang
dibayar sesuai nominal tempo dulu. Namun pihak ahli waris lebih baik
membayarkan hutang itu dengan nominal yang pantas sesuai dengan
perkiraan perubahan nilai uang saat ini.
Sebaliknya, jika hutang itu dalam bentuk barang, bisa dipastikan
membayarnya pun juga dengan barang. Namun terkait perubahan nilai barang
antara dulu dengan sekarang lebih baik dibicarakan antara kedua belah
pihak.
Sekali lagi lebih baik ditempuh dengan jalan musyawarah, dan jangan
lupa minta diikhlaskan kepada pihak yang menghutangi atau keluarganya
agar si mayyit tenang dan bebas tanggungan di akhirat sana.
Tidak lupa kami juga mengingatkan agar kita buru-buru menyelesaikan
akad hutang kita jika sudah mampu untuk membayar agar tidak menjadi
persoalan dan beban ahli waris di masa yang akan datang.
Ust. Mahbub Ma’afi Ramdlan
Posting Komentar