Umar, seorang anak kecil berlari-lari
menghampiri mobil yang berhenti di lampu merah, dia membiarkan tubuhnya
terguyur air hujan, hanya saja dia begitu erat melindungi koran dagangannya dengan
lembaran plastik.
“Korannya
bu !”seru Umar berusaha mengalahkan suara air hujan. Dari balik
kaca mobil si ibu menatap dengan kasihan, dalam hatinya dia merenung anak sekecil ini harus
berhujan-hujan untuk menjual koran. Dikeluarkannya satu lembar dua puluh ribuan
dari lipatan dompet dan membuka sedikit kaca mobil untuk mengulurkan
lembaran uang.
“Mau koran yang mana bu?", tanya Umar dengan riang. ”Nggak usah, ini buat kamu makan, kalau koran tadi pagi aku juga sudah
baca”, jawab si ibu.
Si Umar kecil itu tampak terpaku, lalu diulurkan
kembali uang dua puluh ribu yang dia terima, ”Terima kasih bu, saya menjual
koran, kalau ibu mau beli koran silakan, tetapi kalau ibu
memberikan secara cuma-cuma, mohon maaf saya tidak bisa menerimanya”, Umar
berkata dengan muka penuh ketulusan.
Dengan geram si ibu menerima kembali pemberiannya, raut mukanya tampak kesal, dengan cepat inaikkannya
kaca mobil. Dari dalam mobil dia menggerutu ”udah miskin sombong!”.
Kakinya menginjak pedal gas karena lampu menunjukkan
warna hijau. Meninggalkan Umar yang termenung penuh tanda tanya. Umar berlari
lagi ke pinggir, dia mencoba merapatkan tubuhnya dengan dinding ruko
tempatnya berteduh.
Tangan kecilnya sesekali mengusap muka untuk
menghilangkan butir-butir air yang masih menempel. Sambil termenung dia
menatap nanar rintik- rintik hujan di depannya,”Ya Tuhan, hari ini belum satupun koranku yang laku”, gumamnya
lemah.
Hari beranjak sore namun hujan belum juga reda, Umar masih
saja duduk berteduh di emperan ruko, sesekali tampak tangannya memegangi perut yang sudah
mulai lapar. Tiba-tiba didepannya sebuah mobil berhenti, seorang bapak
dengan bersungut-sungut turun dari mobil menuju tempat sampah, ”Tukang gorengan sialan, minyak kaya
gini bisa bikin batuk”, dengan penuh kebencian dicampakkannya satu plastik gorengan ke dalam
tong sampah, dan beranjak kembali masuk ke mobil.
Umar dengan langkah cepat menghampiri laki- laki yang ada
di mobil. ”Mohon maaf pak, bolehkah saya mengambil makanan yang baru saja
bapak buang untuk saya makan”, pinta Umar dengan penuh harap.
Pria itu tertegun, luar biasa anak kecil di depannya. Harusnya dia
bisa saja mengambilnya dari tong sampah tanpa harus meminta ijin. Muncul perasaan belas kasihan dari
dalam hatinya.
“Nak, bapak bisa membelikan kamu makanan yang baru, kalau kamu mau”
”Terima kasih pak, satu kantong gorengan itu rasanya sudah cukup
bagi saya, boleh khan pak?", tanya Umar sekali lagi.”Bbbbbooolehh”, jawab pria tersebut
dengan tertegun.
Umar berlari riang menuju tong sampah, dengan wajah
sangat bahagia dia mulai makan gorengan, sesekali dia tersenyum melihat laki-laki yang dari tadi
masih memandanginya. Dari dalam mobil sang bapak memandangi terus Umar yang sedang makan.
Dengan perasaan berkecamuk di dekatinya Umar.
”Nak, bolehkah bapak bertanya, kenapa kamu harus meminta ijinku
untuk mengambil makanan yang sudah aku buang?", dengan
lembut pria itu bertanya dan menatap wajah anak kecil di depannya dengan penuh
perasaan kasihan.
”Karena saya melihat bapak yang membuangnya, saya akan merasakan
enaknya makanan halal ini kalau saya bisa meminta ijin kepada pemiliknya,
meskipun buat bapak mungkin sudah tidak berharga, tapi bagi saya makanan ini
sangat berharga, dan saya pantas untuk meminta ijin memakannya ”, jawab si
anak sambil membersihkan bibirnya dari sisa minyak goreng.
Pria itu sejenak terdiam, dalam batinnya berkata, anak ini sangat luar biasa. ”Satu lagi nak, aku kasihan melihatmu, aku lihat kamu basah dan kedinginan, aku ingin membelikanmu makanan lain yang lebih layak, tetapi mengapa kamu menolaknya”.Si anak kecil tersenyum dengan manis,
”Maaf pak, bukan maksud saya menolak rejeki dari Bapak. Buat saya
makan sekantong gorengan hari ini sudah lebih
dari cukup. Kalau saya mencampakkan gorengan
ini dan menerima tawaran makanan yang lain
yang menurut Bapak lebih layak, maka sekantong gorengan itu menjadi mubazir, basah oleh air hujan dan hanya
akan jadi makanan tikus.”
”Tapi bukankah kamu mensia-siakan peluang untuk mendapatkan yang
lebih baik dan lebih nikmat dengan makan di restoran di mana aku yang akan
mentraktirnya”, ujar sang laki-laki dengan nada agak tinggi karena merasa anak di
depannya berfikir keliru.
Umar menatap wajah laki-laki didepannya
dengan tatapan yang sangat teduh, ”Bapak!, saya sudah sangat bersyukur atas berkah sekantong gorengan
hari ini. Saya lapar dan bapak mengijinkan saya memakannya”.
Umar memperbaiki posisi duduknya dan
berkata kembali, ”Dan saya merasa berbahagia, bukankah bahagia adalah bersyukur dan
merasa cukup atas anugerah hari ini, bukan menikmati sesuatu yang nikmat dan
hebat hari ini tetapi menimbulkan keinginan dan kedahagaan untuk mendapatkannya
kembali di kemudian hari.” Umar berhenti berbicara sebentar, lalu diciumnya tangan laki-laki di
depannya untuk berpamitan.
Dengan suara lirih dan tulus Umar
melanjutkan kembali, ”Kalau hari ini saya makan di restoran dan menikmati kelezatannya dan
keesokan harinya saya menginginkannya kembali sementara bapak tidak lagi
mentraktir saya, maka saya sangat khawatir apakah saya masih bisa merasakan
kebahagiaannya”.
Pria tersebut masih saja terpana, dia
mengamati anak kecil di depannya yang sedang sibuk merapikan koran dan kemudian
berpamitan pergi. ”Ternyata bukan dia yang harus dikasihani, Harusnya aku yang layak
dikasihani, karena aku jarang bisa berdamai dengan hari ini”.
Sumber: FP Renungan dan Kisah Inspiratif
Posting Komentar