Bulan Ramadhan bukan semata sebagai rahmat
dan terbukanya pintu ampunan. Bulan suci ini juga menjadi saksi sejarah tentang
duka mendalam keluarga besar Pesantren Tebuireng, warga Nahdliyyin, serta bangsa
Indonesia secara umum.
Tidak banyak yang mengetahui bahwa Hadratussyaikh
KH M Hasyim Asy’ari yang kemudian disebut Mbah Hasyim wafat pada hari ketujuh di
bulan Ramadhan. Tepatnya tahun 1366 H. Ya, tidak terasa 70 tahun sudah
peristiwa kewafatan sang kiai yang demikian dihormati ini.
Berbeda dengan meninggalnya sang cucu,
yakni KH Abdurrahman Wahid yang demikian meriah diperingati, suasana Ramadhan
membuat haul Mbah Hasyim serasa sepi tanpa acara yang spesial. Hal ini mungkin
juga buah dari pandangan beliau yang menolak hari wafatnya diperingati secara
khusus agar tidak ada kultus individu.
Seperti diketahui, Mbah Hasyim terlahir
pada Selasa Kliwon 24 Dzul Qa’dah 1287 H yang juga bertepatan dengan 14 Februari 1871 M di
Pesantren Gedang, Tambakrejo Jombang, Jawa Timur. Beliau merupakan putra ketiga
dari 11 bersaudara dari pasangan Kiai Asy’ari dan Nyai Halimah.
Dari jalur ayah, nasabnya bersambung kepada
Maulana Ishak hingga Imam Ja’far Shadiq bin Muhammad al-Baqir. Sedangkan dari jalur ibu, nasabnya
bersambung kepada Raja Brawijaya VI (Lembu Peteng) yang berputera Karebet atau
Jaka Tingkir, raja Pajang pertama (1568) dengan gelar Sultan Pajang atau
pangeran Adiwijaya.
Dalam buku Profil Pesantren Tebuireng
disampaikan bahwa pada 3 Ramadhan 1366 H yang bertepatan dengan tanggal 21 Juli
1947 M, jam menunjukkan pukul 21.00 WIB. Seperti biasa Hadratussyaikh baru saja
selesai mengimami shalat tarawih. Beliau duduk di kursi untuk memberikan
pengajian kepada ibu-ibu muslimat. Tidak lama kemudian, datang seorang tamu
utusan Jendral Sudirman dan Bung Tomo. Kiai Hasyim menemui utusan tersebut
didampingi Kiai Ghufron yang juga pimpinan Laskar Sabilillah Surabaya.
Sang utusan menyampaikan surat dari Jendral
Sudirman yang berisi tiga pesan pokok. Kepada utusan kepercayaan dua tokoh
penting tersebut Kiai Hasyim meminta waktu semalam untuk berpikir dan
selanjutnya memberikan jawaban. Isi pesan tersebut adalah:
Pertama, bahwa di wilayah
Jawa Timur, Belanda melakukan serangan militer besar-besaran untuk merebut
kota-kota di wilayah Karesidenan Malang, Besuki, Surabaya, Madura, Bojonegoro,
dan Madiun.
Kedua, Hadratussyaikh dimohon berkenan
untuk mengungsi ke Sarangan, Magetan, agar tidak tertangkap oleh Belanda.
Sebab, jika tertangkap, beliau akan dipaksa membuat statemen mendukung Belanda.
Jika hal itu terjadi, maka moral para pejuang akan runtuh. Pesan ketiga adalah
jajaran TNI di sekitar Jombang diperintahkan untuk membantu pengungsian Kiai
Hasyim.
Keesokan harinya, Kiai Hasyim memberikan
jawaban bahwa beliau tidak berkenan menerima tawaran yang disampaikan.
Empat hari kemudian, tepatnya pada tanggal
7 Ramadhan 1366 M, sekitar pukul 21.00 WIB datang lagi utusan Jendral Sudirman dan
Bung Tomo. Kedatangan utusan tersebut dengan membawa surat untuk disampaikan
kepada hadratus syaikh. Secara khusus Bung Tomo memohon kepada Kiai Hasyim
mengeluarkan komando jihad fi sabilillah bagi umat Islam Indonesia, karena saat
itu Belanda telah menguasai wilayah Karesidenan Malang dan banyak anggota
Laskar Hizbullah dan Sabilillah yang menjadi korban. Hadratus Syaikh kembali
meminta waktu semalam untuk memberi jawaban.
Tidak lama berselang, hadratus syaikh
mendapat laporan dari Kiai Ghufron selaku pimpinan Sabilillah Surabaya bersama
dua orang utusan Bung Tomo, bahwa kota Singosari Malang yang juga merupakan
basis pertahanan Hizbullah dan Sabilillah telah jatuh ke tangan Belanda.
Kondisi para pejuang semakin tersudut, dan korban rakyat sipil kian meningkat.
Mendengar laporan itu, Kiai Hasyim berujar: “Masya Allah, masya Allah…..” sambil
memegang kepalanya. Lalu Kiai Hasyim tidak sadarkan diri.
Kala itu putra-putri beliau sedang tidak
berada di Tebuireng. Tapi tidak lama kemudian mereka mulai berdatangan setelah
mendengar sang ayahanda tidak sadarkan diri. Menurut hasil pemeriksaan dokter,
Kiai Hasyim mengalami pendarahan otak (asemblonding) yang sangat serius.
Pada pukul 03.00, bertepatan dengan tanggal
25 Juli 1947 atau 7 Ramadhan 1366, hadratus syaikh KH M Hasyim Asy’ari dipanggil
Sang Maha Kuasa. Inna lillahi wa inna ilahi raji’un.
Atas jasa-jasa beliau selama perang
kemerdekaan melawan Belanda (1945-1947), terutama yang berkaitan dengan tiga
fatwanya yang sangat penting: Pertama, perang melawan Belanda adalah jihad yang
wajib dilaksanakan oleh semua umat Islam Indonesia. Kedua, kaum muslimin
diharamkan melakukan perjalanan haji dengan kapal Belanda. Ketiga, kaum
muslimin diharamkan memakai dasi dan atribut-atribut lain yang menjadi ciri khas
penjajah, maka Presiden Soekarno lewat Keputusan Presiden (Kepres) No. 249/1964
menetapkan bahwa KH Muhammad Hasyim Asy’ari sebagai pahlawan nasional.
Kepergian Kiai Hasyim menjadi duka mendalam
di awal bulan Ramadhan. Tidak hanya bagi keluarga besar Pesantren Tebuireng,
tapi juga warga Nahdlatul Ulama (NU), masyarakat sekitar bahkan bangsa
Indonesia.
Karena itu, sudah pada tempatnya bila malam
ini kita menghadiahkan tahlil dan kalimat thayyibah kepada hadratus syaikh.
Semoga amal baiknya diterima oleh-Nya dan besar harapan agar kita diberikan
kekuatan meneruskan jariyah yakni eksistensi pesantren dan khidmat NU agar
sesuai dengan cita awal pendirian.
Hiruk pikuk tahapan Pemilu, termasuk
Pilpres semoga tidak melunturkan komitmen nahdliyin dalam mengabdi dan
menyelamatkan khittah sesuai itikad awal pendirian jam’iyah diniyah ijtima’iyah ini.
Bukan malah bisa diombang-ambing sejumlah kalangan atau orang perorang demi
kepentingan pribadi maupun kelompok. Mampukah? Kita lihat saja kondisinya saat
ini dan nanti.
Sumber: http://www.nu.or.id/
Posting Komentar