Puasa dan Idul Fitri agar bermakna terhadap
upaya menjadikan Indonesia bangkit, harus mampu melahirkan sikap solidaritas
sosial atau kemauan berjuang dan berkorban yang tinggi. Membangun bangsa tidak
akan berhasil jika tidak terdapat orang-orang yang rela berjuang dan berkorban.
Sejarah bangsa ini membuktikan secara jelas tentang hal itu. Indonesia berhasil meraih kemerdekaan dari penjajah, adalah sebagai buah dari adanya kesediaan para pejuang termasuk di garda depan adalah peran para ulama-ulama kita yang ikhlas mengorbankan apa saja yang ada padanya.
Demikian pula, Rasulullah Muhammad SAW tidak akan mampu mengubah masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat madani yang damai dan berperadaban jika tidak ditempuh melalui perjuangan dan pengorbanan yang berat.
Dan selaras dinamika yang ada, pemerintah sudah seharusnya untuk terus menerus memegang teguh pada prinsip memperjuangkan kemakmuran dan kemahslahatan rakyat. Dalam kaidah fikih dikatakan,”tasharruf al-imam ‘ala al-ra’iy manuthun bi al-mashlahah,” bahwa kebijakan pemerintah wajib ditaati selama kebijakan tersebut berpijak pada kebijakan yang memberikan kebaikan bagi banyak rakyat. Imam Syafi’i menggambarkan hubungan rakyat dan penguasa ibarat hubungan wali dengan anak yatim.
Puasa dan hari raya Idul Fitri selayaknya melahirkan sifat-sifat profektif, seperti amanah, adalah, istiqamah dan salam. Sifat-sifat itu sangat diperlukan untuk membangun masyarakat yang lebih adil dan maju. Lebih daripada itu, puasa dan Idul Fitri seharusnya berhasil melahirkan suasana batin yang pandai bersyukur, ikhlas, tawakkal dan istiqamah. Di sinilah, pentingnya memahami dan meresapi kata-kata “al-dinu huwa al-nashihah lillahi wa li rasulihi wa lil mu’minin”, bahwa agama ada nasehat.
Sejarah bangsa ini membuktikan secara jelas tentang hal itu. Indonesia berhasil meraih kemerdekaan dari penjajah, adalah sebagai buah dari adanya kesediaan para pejuang termasuk di garda depan adalah peran para ulama-ulama kita yang ikhlas mengorbankan apa saja yang ada padanya.
Demikian pula, Rasulullah Muhammad SAW tidak akan mampu mengubah masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat madani yang damai dan berperadaban jika tidak ditempuh melalui perjuangan dan pengorbanan yang berat.
Dan selaras dinamika yang ada, pemerintah sudah seharusnya untuk terus menerus memegang teguh pada prinsip memperjuangkan kemakmuran dan kemahslahatan rakyat. Dalam kaidah fikih dikatakan,”tasharruf al-imam ‘ala al-ra’iy manuthun bi al-mashlahah,” bahwa kebijakan pemerintah wajib ditaati selama kebijakan tersebut berpijak pada kebijakan yang memberikan kebaikan bagi banyak rakyat. Imam Syafi’i menggambarkan hubungan rakyat dan penguasa ibarat hubungan wali dengan anak yatim.
Puasa dan hari raya Idul Fitri selayaknya melahirkan sifat-sifat profektif, seperti amanah, adalah, istiqamah dan salam. Sifat-sifat itu sangat diperlukan untuk membangun masyarakat yang lebih adil dan maju. Lebih daripada itu, puasa dan Idul Fitri seharusnya berhasil melahirkan suasana batin yang pandai bersyukur, ikhlas, tawakkal dan istiqamah. Di sinilah, pentingnya memahami dan meresapi kata-kata “al-dinu huwa al-nashihah lillahi wa li rasulihi wa lil mu’minin”, bahwa agama ada nasehat.
Akhirnya, melalui momentum Idul Fitri ini,
marilah kita bersama-sama menyadari betapa pentingnya semua komponen bangsa ini
bersigap dan bertekad untuk ikut berpartisipasi secara aktif dalam membangun
bangsa
demi terwujudnya impian Indonesia menjadi “negeri yang berperadaban adiluhung” (madinah al-fadhilah).
Prof. DR. KH. Said Aqil Siroj,
MA.
Posting Komentar