Menghayati inti ajaran yang dibawa oleh
Nabi Muhammad SAW dan menyadari persoalan bangsa yang pada saat ini serta
memperhatikan bagaimana perjuangan Rasulullah dalam membangun masyarakat yang
damai dan sejahtera melalui ajaran Islam (Islam tamaddun),
maka dalam suasana Idul Fitri ini akan tepat kiranya jika kita gunakan sebagai
momentum untuk membangun Indonesia ke depan yang lebih cerah. Puasa dan Idul
Fitri sudah seharusnya dijadikan sebagai momentum untuk membangun gerakan
kebangkitan bangsa ke depan, bukan sekedar ritual atau banalitas tahunan bagi umat Islam.
Puasa dan Idul Fitri seyogyanya mampu melahirkan persepsi dan kesadaran yang benar terhadap persoalan bangsa yang sesungguhnya. Persoalan bangsa Indonesia yang kita hadapi sekarang ini sesungguhnya, bukanlah sebatas menyangkut satu bidang misalnya masalah ekonomi atau seperti yang dilontarkan banyak pengamat, kita tengah mengalami krisis enerji dan pangan, melainkan lebih mendasar dan luas dari sebatas itu. “Laisa minna ma lam yahtamma bi amril muslimin”, bahwa tidak termasuk umatku mereka yang tidak peduli terhadap urusan umat Islam.
Memang membangun ekonomi adalah penting, akan tetapi bukanlah segala-galanya. Bangsa yang berperadaban tinggi selalu dibangun di atas dasar keyakinan, jiwa atau spritualitas yang dalam serta akhlak yang luhur. Keadaan ekonomi yang kurang baik, di tengah-tengah negeri yang subur seperti Indonesia, sesungguhnya merupakan akibat dari lemahnya iman, spritualitas, keterbatasan ilmu dan akhlak yang disandangnya. Betapa pentingnya aspek-aspek ini untuk membangun peradaban, maka ayat-ayat Al-Quran pada fase awal yang diterimakan kepada Rasulullah adalah menyangkut ilmu pengetahuan (yakni dalam bentuk perintah membaca, Iqra’), larangan berbuat angkara murka dan sebaliknya, beliau diperintah untuk membangun akhlaq yang mulia (bu’itstu li utammima makarimal akhlaq). Dikatakan bahwa “al-dinu husnul khulq” bahwa agama identik dengan kebaikan budi pekerti.
Puasa dan Idul Fitri harus mampu membangkitkan jiwa optimisme yang kuat terhadap kehidupan hari esok yang lebih baik. Akhir-akhir, muncul dari kalangan luas rasa pesimisme yang berkelebihan terhadap keadaan negeri ini. Barangkat dari suasana pesimisme itu, bangsa ini dilabeli dengan identitas yang sedemikian rendah, seperti disebutnya sebagai bangsa yang terpuruk, bangsa korup, bangsa yang carut marut, bangsa yang berada pada titik nadir dan istilah-istilah lain yang kurang sedap. Istilah-istilah seperti itu bisa jadi akan melahirkan mental bangsa yang inferior, (‘adamul tsiqoh) tidak percaya diri dan selalu berharap pada uluran pertolongan bangsa lain. Bangsa Indonesia sesungguhnya tidak semalang itu.
Sebaliknya, bangsa Indonesia ini adalah bangsa yang beruntung, memiliki tanah kepulauan yang luas lagi subur, samudera dan lautan yang luas, aneka tambang, serta penduduk berjumlah besar. Semua itu adalah karunia Allah, yang seharusnya selalu disyukuri dan dijadikan modal untuk membangun kemakmuran bersama.
Puasa dan Idul Fitri seyogyanya mampu melahirkan persepsi dan kesadaran yang benar terhadap persoalan bangsa yang sesungguhnya. Persoalan bangsa Indonesia yang kita hadapi sekarang ini sesungguhnya, bukanlah sebatas menyangkut satu bidang misalnya masalah ekonomi atau seperti yang dilontarkan banyak pengamat, kita tengah mengalami krisis enerji dan pangan, melainkan lebih mendasar dan luas dari sebatas itu. “Laisa minna ma lam yahtamma bi amril muslimin”, bahwa tidak termasuk umatku mereka yang tidak peduli terhadap urusan umat Islam.
Memang membangun ekonomi adalah penting, akan tetapi bukanlah segala-galanya. Bangsa yang berperadaban tinggi selalu dibangun di atas dasar keyakinan, jiwa atau spritualitas yang dalam serta akhlak yang luhur. Keadaan ekonomi yang kurang baik, di tengah-tengah negeri yang subur seperti Indonesia, sesungguhnya merupakan akibat dari lemahnya iman, spritualitas, keterbatasan ilmu dan akhlak yang disandangnya. Betapa pentingnya aspek-aspek ini untuk membangun peradaban, maka ayat-ayat Al-Quran pada fase awal yang diterimakan kepada Rasulullah adalah menyangkut ilmu pengetahuan (yakni dalam bentuk perintah membaca, Iqra’), larangan berbuat angkara murka dan sebaliknya, beliau diperintah untuk membangun akhlaq yang mulia (bu’itstu li utammima makarimal akhlaq). Dikatakan bahwa “al-dinu husnul khulq” bahwa agama identik dengan kebaikan budi pekerti.
Puasa dan Idul Fitri harus mampu membangkitkan jiwa optimisme yang kuat terhadap kehidupan hari esok yang lebih baik. Akhir-akhir, muncul dari kalangan luas rasa pesimisme yang berkelebihan terhadap keadaan negeri ini. Barangkat dari suasana pesimisme itu, bangsa ini dilabeli dengan identitas yang sedemikian rendah, seperti disebutnya sebagai bangsa yang terpuruk, bangsa korup, bangsa yang carut marut, bangsa yang berada pada titik nadir dan istilah-istilah lain yang kurang sedap. Istilah-istilah seperti itu bisa jadi akan melahirkan mental bangsa yang inferior, (‘adamul tsiqoh) tidak percaya diri dan selalu berharap pada uluran pertolongan bangsa lain. Bangsa Indonesia sesungguhnya tidak semalang itu.
Sebaliknya, bangsa Indonesia ini adalah bangsa yang beruntung, memiliki tanah kepulauan yang luas lagi subur, samudera dan lautan yang luas, aneka tambang, serta penduduk berjumlah besar. Semua itu adalah karunia Allah, yang seharusnya selalu disyukuri dan dijadikan modal untuk membangun kemakmuran bersama.
Prof. DR. KH. Said Aqil Siradj
Posting Komentar