Orang tua, siapa pun dan di mana
pun pasti mendambakan seorang anak yang berbakti, taat dan berperilaku yang
sesuai norma agama, apalagi bekal yang bisa diandalkan orang tua ketika
meninggal salah satunya adalah anak sholeh yang senantiasa mendo’akannya. Namun
tidak sedikit perkembangan si anak selanjutnya justru dipicu dan diwarnai oleh
tindakan dan prilaku orang tua itu sendiri sebagaimana disinyalir hadits Nabi
SAW : Diriwayatkan dari Abi Hurairoh RA., Rosululloh SAW berabda: Setiap anak
terlahir dalam keadaan fithroh (menetapi agama yang suci) kemudian kedua orang
tuanya yang menyebabkannya menjadi Yahudi, Nashroni dan Majusi ( HR.Bukhori )
Pada dasarnya, keinginan
mempunyai anak dan berusaha untuk mendapatkannya adalah sunnat, firman Alloh
SWT dalam Surah Al Baqarah, “Sekarang campurilah mereka (para istri) dan
carilah apa yang telah ditetapkan oleh Alloh SWT. (QS.Al-Baqoroh 187)
Imam Mujahid dan Ibnu Abbas
menginterpretasikan ayat tersebut, bahwa yang dimaksud adalah seorang anak.
Bahkan Rasulullah sangat menganjurkan umatnya untuk mempunyai banyak anak
karena hal itu merupakan kebanggaan tersendiri bagi beliau sebagai pemimpin
mereka di HariKiamat. Diriwayatkan dari Anas RA. berkata: Rosululloh
memerintahkan menikah dan sangat melarang untuk membujang dan beliau bersabda:
Menikahlah kalian dengan perempuan yang penuh kasih sayang dan yang bisa
memberi banyak anak, karena aku memperbanyak dengan kalian atas para Nabi di
Hari Kiamat (HR. Imam Ahmad dam Abu Hatim dalam kitab shohihnya)
Ketika seorang bayi lahir ke
dunia, orang yang paling bahagia adalah orang tua namun jangan sampai
kebahagiaan itu melupakan kegiatan ritual yang seyogyanya dilakukan, salah
satunya adalah Aqiqoh.
Aqiqoh secara etimologi (lughot)
adalah sebuah nama dari rambut yang terdapat pada kepala bayi ketika
dilahirkan. Sedangkan secara terminologi (Syara’) adalah hewan yang disembelih
(sebagai ganti) dari anak yang dilahirkan.
Hukum Aqiqoh sendiri adalah
sunat muakkad berdasarkan Hadits Nabi SAW.Seorang anak itu tergadaikan
(ditebus) dengan Aqiqoh yang disembelih pada hari ketujuh, dicukur rambutnya
dan diberi nama ( HR.At Turmudzi ) .
Kata ”tergadaikan” menurut versi Imam Ahmad
bin Hambal, “Bahwa seorang kalau tidak diaqiqohi, maka tidak bisa memberi
syafa’at kepada orang tuanya di Hari Kiamat. Hukum sunnat melaksanakan aqiqoh
itu dinisbatkan kepada orang yang berkewajiban memberi nafkah terhadap si anak,
termasuk bagi seorang ibu yang melahirkan seorang anak dari hasil zina.
Dalam melaksanakan aqiqoh
terdapat kesunatan-kesunatan di antaranya,
1. Menyembelih dua ekor kambing
untuk anak laki-laki dan satu ekor untuk perempuan dan banci.
2. Membagikannya dalam keadaan
matang kecuali kakinya karena optimisme (tafa’ulan) bahwa anak itu akan hidup
dan berjalan.
3. Memasaknya dengan sesuatu
yang manis karena ada unsur tafa’ulan terhadap manisnya akhlaq si anak dan
karena Rosululloh SAW suka dengan rasa yang manis.
4. Tidak memecah
tulang-tulangnya karena ada unsur tafa’ulan agar anggota tubuh si anak selamat.
5. Menyembelihnya pada hari
ketujuh dari kelahiran si anak, kemudian hari keempat belas dan hari kedua
puluh satu
6. Memberi nama pada hari
ketujuh.
7. Mencukur rambut si anak.
8. Bershodaqoh dengan emas atau
perak sesuai dengan berat timbangan rambut si anak yang dicukur.
Ketika menyembelih, membaca
do’a, :“Ya Alloh (ini adalah nikmat) darimu (dan aku mendekatkan diri dengannya)
kepadamu, ini adalah Aqiqohnya si Fulan.” Dan bagi anak yang belum diAqiqohi
setelah besar masih disunatkan untuk melaksanakannya untuk dirinya sendiri.
Dibalik ritual Aqiqoh ada
beberapa faedah yang bisa dipetik, di antaranya :
1. Sebagai sarana pendekatan
diri dari seorang anak yang dilahirkan karena dengan ini si bayi dapat
mengambil manfa’at sebagaimana dia bisa mengambil manfa’at dari sebuah do’a.
2. Bisa melepaskan
tergadaikannya seorang anak.
3. Sebagai tebusan untuk menebus
si anak seperti Alloh SWT menebus Nabi Isma’il AS dengan domba (gibas).
Sumber: Bujairomi ‘Alal
Khotib-Sulaiman Al Bujairomi, Bujairomi ‘Ala Al Manhaj At Thullab-Sulaiman Al
Bujairomi, Tuhfatul Maudud Fi Ahkamil
Maulud-Syamsuddin Muhammad, dan Syarhul Kabir-Syamsuddin Bin
Abil Faroj
Posting Komentar