Waktu dan kesempatan untuk melaksanakan qadha’ puasa
Ramadhan sangat panjang yakni sampai bulan Ramadhan berikutnya. Sebaiknya qadla
puasa dilaksanakan dengan segera karena tidak mustahil jika ada orang-orang
–dengan alasan tertentu– belum juga melaksanakan qadha’ puasa Ramadhan, sampai
tiba bulan Ramadhan berikutnya.
Kejadian seperti ini, dapat disebabkan oleh berbagai hal,
baik yang positif maupun negatif seperti; selalu ada halangan, sering sakit
misalnya, bersikap apatis, bersikap gegabah, sengaja mengabaikannya dan lain
sebagainya. Sehingga pelaksanaan qadha’ puasanya ditangguhkan atau tertunda
sampai tiba Ramadhan benkutnya.
Penangguhan atau penundaan pelaksanaan qadha’ puasa Ramadhan
sampai tiba Ramadhan berikutnya –tanpa halangan yang sah–, maka hukumnya haram
dan berdosa. Sedangkan jika penangguhan tersebut diakibatkan lantaran udzur
yang selalu menghalanginya, maka tidaklah berdosa.
Adapun orang yang meninggal dunia sebelum memenuhi
kewajiban qadha’ puasa Ramadhan, sama artinya dengan mempunyai tunggakan hutang
kepada Allah SWT. Oleh sebab itu, pihak keluarga wajib memenuhinya.
Hutang puasa Ramadhan tersebut bagi orang yang
meninggal dapat diganti dengan fidyah, yaitu memberi makan sebesar 0,6 kg bahan
makanan pokok kepada seorang miskin untuk tiap-tiap hari puasa yang telah
ditinggalkannya. Sabda Rasulullah SAW:
مَن مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيُامْ أُطْعِمَ عَنْهُ مَكَانَ
يَوْمٍ مِسْكِيْنٌ
“Siapa saja meninggal dunia dan mempunyai kewajiban
puasa, maka dapat digantikan dengan memberi makan kepada seorang miskin pada
tiap hari yang ditinggalkannya.” (HR Tirmidzi, dari Ibnu ‘Umar)
Ada juga pendapat kedua yang menyatakan bahwa; jika orang
yang memiliki kewajiban qadha’ puasa meninggal dunia, maka pihak keluarganya
wajib melaksanakan qadha’ puasa tersebut, sebagai gantinya. Dan tidak boleh
dengan fidyah. Sedangkan dalam prakteknya, pelaksanaan qadha’ puasa tersebut,
boleh dilakukan oleh orang lain, dengan seizin atau atas perintah keluarganya. Sabda Rasulullah SAW:
مَنْ مَاتَ وَ عَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
“Siapa saja meninggal dunia dan mempunyai kewajiban
qadha puasa, maka walinya (keluarganya) berpuasa menggantikannya.” (HR.
Bukhari dan Muslim, dari Aisyah)
Pendapat kedua ini, kami kira lebih kuat lantaran hadits
yang mendasarinya shahih. Sementara pendapat pertama dinilai lemah karena
hadits yang mendasarinya marfu’, gharib atau mauquf, dan
tidak bisa dijadikan lancasan hukum.
KH. Arwani Faishal
Posting Komentar