Tidak ada seorangpun yang pernah
melihat Abu Aqil sedemikian resah seperti hari itu. Dia tenggelam dalam
fikirannya tanpa mempedulikan apa yang terjadi di sekitarnya. Dia seolah-olah
tidak mendengar bunyi apapun dan tidak melihat sesuatupun. Dia melangkah ke
arah rumahnya dengan cepat. Matanya memandang tanah dan mulutnya kelihatan
komat-kamit mengatakan sesuatu. Dia melewati lorong sempit sebelum akhirnya
tiba ke rumahnya. Dengan menarik nafas yang dalam, Abu Aqil lalu bersandar di
sebatang pohon tua di tengah halaman rumah.
Isterinya menyadari kekhawatiran
yang melanda suaminya itu dan bertanya, “Suamiku, apa yang terjadi?” Abu Aqil
kemudian berjalan masuk ke rumahnya. Karena kelelahan, dia bersandar ke dinding
rumahnya, lalu berkata, “Musuh Tuhan berniat untuk memerangi kita. Tentara
muslim sudah disiagakan untuk melawan musuh. Tetapi, tentara kita tidak punya
bekal dan makanan. Kami sedang berada di masjid ketika Nabi membacakan sebuah
ayat suci Al-Quran dan meminta kaum muslimin untuk memberikan bantuan sesuai
dengan kemampuan mereka masing-masing kepada tentara Islam.”
Isteri Abu Aqil bertanya,
“Apakah bunyi ayat itu?” Abu Aqil menutup matanya dan setelah berpikir sejenak,
dia membaca ayat ke-11 dari surat Al-Hadiid yang artinya, “Siapa saja yang mau
meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, akan diberi Allah balasan pinjaman
yang berlipatganda dan dia akan memperoleh pahala yang banyak.”
Isterinya dengan pandangan
kecewa menatap lantai ruangan kamar dan berkata, “Engkau adalah pemimpin rumah
ini dan engkau lebih mengetahui bahwa kita tidak punya harta dan simpanan
apapun untuk kita berikan di jalan Tuhan. Abu Aqil menjawab, “Tetapi, kita
harus turut melibatkan diri dalam tugas ini. Tidakkah engkau ketahui bahwa
perbuatan ini disenangi oleh Tuhan dan Rasul-Nya?”
Abu Aqil melanjutkan
perkataannya, “Ayat ini sangat menyentuh perasaanku sehingga aku segera pulang
ke rumah. Hari ini semua orang Islam membawa apa yang mereka miliki kepada Nabi
Muhammad saw agar permintaan Tuhan terpenuhi.” Isterinya tersenyum dan dia
mengambil salah satu bejana dan mengeluarkan segenggam kurma sambil berkata
kepada Abu Aqil, “Kita mempunyai sedikit kurma. Ambillah dan berikan kurma ini
kepada Nabi.”
Abu Aqil tertegun dan mengguman sendirian, “Apa yang bisa diperbuat dengan
kurma ini? Tetapi ini lebih baik daripada tidak memberi sesuatupun.” Isterinya
lantas menaruh kurma itu dalam sebuah kain bersih dan memberikannya kepada Abu
Aqil. Dengan gembira, Abu Aqil berkata, “Meskipun kurma ini tidak tampak berguna
tetapi ia dapat dimanfaatkan di medan perang.”
Halaman kecil masjid ramai
dipenuhi umat Islam. Abu Aqil berada di antara mereka. Dengan langkah yang
lemah, dia memperhatikan bahwa ada beberapa ekor biri-biri, kambing, dan unta
terikat di luar masjid. Abu Aqil menyadari bahwa hewan-hewan itu merupakan
hadiah dari orang ramai. Dia juga melihat orang-orang yang berkumpul di dalam
masjid dengan hadiah besar dan kecil di tangan mereka. Abu Aqil merapatkan
bungkusan yang berisi kurma ke dadanya dan dia berjalan masuk ke dalam masjid.
Melihat banyaknya kaum muslimin
yang berdatangan menyerahkan hadiahnya kepada Nabi saw, kaum munafik merasa
tidak senang, dan muncul kebencian di dalam hati mereka, yang mendorong mereka
untuk mengejek setiap orang yang menyerahkan sedekah dan bantuan kepada Nabi.
Orang yang memberikan bantuan dalam jumlah besar, mereka ejek sebagai pamer,
tidak ikhlas dan mengharap pujian. Sedangkan orang yang memberikan bantuan
dalam jumlah sedikit, mereka ejek dengan mengatakan, “Allah dan Rasul-Nya tidak
memerlukan bantuan kamu.”
Melihat sikap orang-orang
munafik itu, Abu Aqil sempat beberapa kali ingin mengambil keputusan untuk
pulang ke rumahnya dan menjauhkan diri dari pandangan para pengganggu itu.
Tetapi ada kekuatan dalam dirinya yang menghalanginya untuk pulang. Akhirnya
dia duduk diam-diam di sudut masjid. Dilihatnya Nabi Muhammad saw duduk di tepi
mihrab dan menerima hadiah-hadiah dari umatnya. Dia berharap dalam hati,
alangkah baiknya jika dia mempunyai simpanan yang lebih pantas untuk diberikan
kepada Nabi.
Tiba-tiba, masjid yang semula
dipenuhi dengan suara ramai dilanda kesepian dan kesunyian. Abu Aqil memandang
kepada Rasulullah. Rupanya, Rasul sedang menerima wahyu. Rasulullah saw menutup
mata dan wajahnya seolah-olah sedang tenggelam dalam cahaya yang bersinar.
Semua sahabat memahami keadaan Nabi ini dan menanti sampai Rasul selesai
menerima wahyu.
Rasulullah kemudian membuka matanya dan dengan langkah yang perlahan beliau
bergerak ke arah Abu Aqil. Jantung Abu Aqil berdebar-debar dan dia berusaha
untuk menyembunyikan bungkusan kurmanya. Lalu, terdengar suara Rasulullah yang
memecah kesunyian masjid, “Wahai manusia, baru saja Jibril menyampaikan wahyu
dari Allah kepadaku. Ketahuilah bahwa para malaikat yang berada di langit, memandang
bumi untuk menyaksikan pinjaman siapakah yang terbaik di sisi Tuhan.”
Rasulullah kemudian meletakkan
tangannya ke atas pundak Abu Aqil dan berkata, “Ketahuilah, hadiahmu lebih
berharga dari emas di sisi Tuhan. Orang munafik yang mencelamu dan menyebabkan
hatimu sakit, kelak akan diberi adzab oleh Allah. Wahai Abu Aqil, para malaikat
sedang menanti, berikan hadiah itu kepadaku dan ketahuilah bahwa Allah ingin
agar aku menggembirakanmu. Engkau hari ini disayang Allah.”
Abu Aqil masih tidak percaya,
dia merasa seolah-olah sedang bermimpi, sebuah mimpi yang amat manis.
Rasulullah dengan penuh kasih sayang mengambil bungkusan kurma tersebut dari
tangannya dan membelai kepala Abu Aqil. Ketika itu pula Rasul membacakan ayat
ke-79 surah Taubah yang artinya, “Orang-orang munafik yaitu orang-orang yang
mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan mencela
orang-orang yang tidak memiliki apapun untuk disedekahkan selain dari yang
disanggupinya. Allah akan membalas penghinaan mereka itu dan bagi mereka adzab
yang pedih.”
Habib Muhammad Syahab
Posting Komentar