Dalam konsep kami saat itu, perilaku dan
tatacara beragama mereka itu harus dilawan, dibasmi dan diperangi. Karena
menurut persepsi kami saat itu, semua itu tidak sejalan dengan Al-Quran dan
As-Sunnah, alias bid'ah dan hanya sesuatu yang diada-adakan. Bukan asli dari
Rasulullah SAW.
Maka sudah menjadi tugas kami para da'i
muda saat itu untuk membangun berbagai hujjah dan argumentasi untuk 'menyerang'
apapun yang mereka kerjakan, sambil kita lemparkan tuduhan sebagai biang kerok
mazhab, tukang bid'ah, kelompok yang menyimpang, dan aqidahnya bermasalah.
Salah satunya adalah membenturkan mereka
dengan hadits-hadits shahih. Kalau ada perilaku mereka yang kita anggap
bertentangan dengan selera kita, tinggal kita carikan hadits-hadits yang kita
anggap sebagai 'penangkal'nya. Kita bacakan hadits-hadits itu, biar mereka
terdiam dan tidak bisa berkutik.
Maka kalau sampai kita bisa bikin mereka
terdiam tidak mampu menjawab atas lemparan hadits-hadits kita, maka disitulah
terjadi 'puncak ejakulasi' kemenangan. Rasanya puas sekali, karena sudah
mencapai titik klimaks.
Tentu semua itu adalah masa lalu, masa-masa
ketika saya dan teman-teman sesama ustadz yang lain masih mencari jatidiri.
Belum bisa bahasa Arab, baca Al-Quran pun banyak salahnya, dan tentunya juga
belum pernah belajar ilmu syariah langsung kepada sumbernya. Kami saat itu
adalah tokoh da'i muda yang progeresif, suka berdebat, hobi menyalahkan
pendapat orang dan gemar bikin keributan dimana-mana.
Namanya saja anak mudah, ya begitulah
perilaku dan tindak tanduknya. Walhasil, kalau hari ini saya menemukan perilaku
pada para da'i yang progresif dan semangat memberantas mazhab fiqih, saya
kadang senyum-senyum sendiri. Sebab saya seperti melihat diri saya yang masih
belia di masa lalu.
Dalam hati saya cuma ada doa, semoga Allah
mempercepat kedewasaan mereka, menambahkan ilmunya, memberi mereka jalan akses
yang cepat dan mudah untuk belajar ilmu syariah. Agar mereka segera sadar kalau
mereka masih butuh banyak belajar lagi ke depan.
Masak baru kenal sedikit-sedikit dengan
karya-karya Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim saja, sudah merasa jadi ulama
terbesar yang merasa bisa menyalahkan siapa saja? Itu sih sudah jadi masa lalu.
Kalau sampai hari ini tidak sadar-sadar juga, ah sayang sekali tentu.
Ust. Ahmad Sarwat, Lc.
Posting Komentar