Syaikh Albani dalam kitabnya, Silsilat al-Ahadits
as-Shahihah, hal. 6/77 menuliskan :
وقد أنكر بعض الكاتبين في العصر الحاضر هذا الإلزاق, وزعم أنه هيئة زائدة
على الوارد, فيها إيغال في تطبيق السنة! وزعم أن المراد بالإلزاق الحث على سد
الخلل لا حقيقة الإلزاق, وهذا تعطيل للأحكام العملية, يشبه تماما تعطيل الصفات
الإلهية, بل هذا أسوأ منه
Sebagian penulis zaman ini telah
mengingkari adanya ilzaq (menempelkan mata kaki, dengkul, bahu) ini, hal ini
bisa dikatakan menjauhkan dari menerapkan sunnah. Dia menyangka bahwa yang
dimaksud dengan “ilzaq” adalah anjuran untuk merapatkan barisan saja, bukan benar-benar
menempel. Hal tersebut merupakan ta’thil (pengingkaran) terhadap hukum-hukum yang bersifat alamiyyah, persis
sebagaimana ta’thil (pengingkaran) dalam sifat Ilahiyyah. Bahkan lebih jelek dari
itu.
Al-Albani secara tegas memandang bahwa yang
dimaksud ilzaq dalam hadits adalah benar-benar menempel. Artinya, sesama mata
kaki, sesama dengkul dan sesama bahu harus benar nempel dengan orang di
sampingnya. Dan itulah yang dia katakan sebagai sunnah Nabi.
Tak hanya berhenti sampai disitu, Al-Albani
dalam bukunya juga mengancam mereka yang tidak sependapat dengan pendapatnya,
sebagai orang yang ingkar kepada sifat Allah.
Maksudnya kalau orang berpendapat bahwa
ilzaq itu hanya sekedar anjuran untuk merapatkan barisan, dan bukan benar-benar
saling menempelkan bahu dengan bahu, dengkul dengan dengkul , dan mata kaki
dengan mata kaki, sebagai orang yang muatthil. Maksudnya orang itu dianggap
telah ingkar terhadap sifat Allah, bahkan keadaanya lebih jelek dari itu.
Untuk itu pendapat Al-Albani ini didukung
oleh murid-murid setianya. Dimana-mana mereka menegaskan bahwa ilzaq ini
disebut sebagai sunnah mahjurah, yaitu sunnah yang telah banyak ditinggalkan
oleh orang-orang. Oleh karena itu perlu untuk dihidup-hidupkan lagi di masa sekarang.
Berbeda dengan pendapat Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin dalam Fatawa Arkan Al Iman 1/ 311 mengatakan:
أن كل واحد منهم يلصق كعبه بكعب جاره لتحقق المحاذاة وتسوية الصف, فهو ليس
مقصوداً لذاته لكنه مقصود لغيره كما ذكر بعض أهل العلم, ولهذا إذا تمت الصفوف وقام
الناس ينبغي لكل واحد أن يلصق كعبه بكعب صاحبه لتحقق المساواة, وليس معنى ذلك أن
يلازم هذا الإلصاق ويبقى ملازماً له في جميع الصلاة.
Setiap masing-masing jamaah hendaknya menempelkan
mata kaki dengan jamaah sampingnya, agar shaf benar-benar lurus. Tapi
menempelkan mata kaki itu bukan tujuan intinya, tapi ada tujuan lain. Maka dari
itu, jika telah sempurna shaf dan para jamaah telah berdiri, hendaklah jamaah
itu menempelkan mata kaki dengan jamaah lain agar shafnya lurus. Maksudnya
bukan terus menerus menempel sampai selesai shalat.
Ternyata Syiekh Utsaimin sendiri memandang
bahwa menempelkan mata kaki itu bukan tujuan inti. Menempelkan kaki itu
hanyalah suatu sarana bagaimana agar shaf shalat bisa benar-benar lurus.
Jadi menempelkan mata kaki dilakukan hanya
di awal sebelum shalat saja. Dan begitu shalat sudah mulai berjalan, sudah
tidak perlu lagi. Maka tidak perlu sepanjang shalat seseorang terus berupaya
menempel-nempelkna kakinya ke kaki orang lain, yang membuat jadi tidak khusyu’ shalatnya.
Ust. Yulizon Bachtiar (Ust. Zon Jonggol)
Posting Komentar