1. Menempelkan mata kaki dalam shaf bukan
tindakan atau anjuran Nabi shallallahu alaihi wasallam
Bukankah haditsnya jelas Shahih dalam
Shahih Bukhari dan Abu Daud? sekilas memang terkesan bahwa
menempelkan itu perintah beliau shallallahu alaihi wasallam Tapi keshahihan
hadits saja belum cukup tanpa pemahaman yang benar terhadap hadits shahih.
Jika kita baca seksama teks hadits dua
riwayat diatas, kita dapati bahwa ternyata yang Nabi shallallahu alaihi
wasallam anjurkan adalah menegakkan shaf. Perhatikan redaksinya :
أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ
Tegakkah barisan kalian
Itu yang beliau shallallahu alaihi wasallam
katakan. Sama sekali beliau shallallahu alaihi wasallam tidak berkata, ”Tempelkanlah
mata kaki kalian!”. Dan beliau juga tidak main ancam siapa yang tidak melakukannya
dianggap telah kafir atau ingkar dengan sifat-sifat Allah. Yang bilang seperti
itu hanya Al-Albani seorang. Para ulama sepanjang zaman tidak pernah berkata
seperti itu, kecuali murid-murid pendukungnya saja.
2. Menempelkan mata kaki adalah pemahaman
salah satu dari Sahabat
Coba kita baca lagi haditsnya dengan
seksama. Dalam riwayatnya disebutkan:
[وَكَانَ أَحَدُنَا] dan salah satu dari
kami
[رَأَيْتُ الرَّجُلَ مِنَّا] saya melihat
seorang laki-laki dari kami
[فَرَأَيْتُ الرَّجُلَ] saya melihat seorang
laki-laki
Meskipun dengan redaksi yang berbeda,
tetapi kesemuanya merujuk pada makna bahwa ”salah satu” sahabat Nabi ada yang melakukan
hal itu. Maka hal itu adalah perbuatan dari salah satu sahabat Nabi, hasil dari
pemahamannya setelah mendengar perintah Nabi agar menegakkan shaf.
Terkait ucapan atau perbuatan shahabat,
Al-Amidi (w. 631 H) salah seorang pakar Ushul Fiqih menyebutkan:
ويدل على مذهب الأكثرين أن الظاهر من الصحابي أنه إنما أورد ذلك في معرض
الاحتجاج وإنما يكون ذلك حجة إن لو كان ما نقله مستندا إلى فعل الجميع لأن فعل
البعض لا يكون حجة على البعض الآخر ولا على غيرهم
Menurut madzhab kebanyakan ulama’, perbuatan
shahabi menjadi hujjah jika didasarkan pada perbuatan semua shahabat. Karena
perbuatan sebagian tidak menjadi hujjah bagi sebagian yang lain, ataupun bagi
orang lain. (Al-Amidi; w. 631 H, Al-Ihkam fi
Ushul al-Ahkam, hal. 2/99)
Jadi, menempelkan mata kaki itu bisa
menjadi hujjah jika dilakukan semua shahabat. Dari redaksi hadits, kita dapati
bahwa menempelkan mata kaki dilakukan oleh seorang laki-laki pada zaman Nabi.
Kita tidak tahu siapakah lelaki itu. Lantas bagaimana dengan Anas yang telah
meriwayatkan hadits?
3. Sahabat Anas tidak melakukan hal itu
Jika kita baca teks hadits dari Anas bin
Malik dan An-Nu’man bin Basyir di atas, sebagai dua periwayat hadits, ternyata
mereka berdua hanya melihat saja. Mereka malah tidak melakukan apa yang mereka
lihat.
Kenapa?
Karena yang melakukannya bukan Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam sendiri. Dan para shahabat yang lain juga tidak
melakukannya. Yang melakukannya hanya satu orang saja. Itupun namanya tidak
pernah disebutkan alias anonim.
Hal itu diperkuat dengan keterangan Ibnu
Hajar al-Asqalani (w. 852 H) melanjutkan riwayat Anas bin Malik:
وَزَادَ مَعْمَرٌ فِي رِوَايَتِهِ وَلَوْ فَعَلْتُ ذَلِكَ بِأَحَدِهِمُ
الْيَوْمَ لَنَفَرَ كَأَنَّهُ بغل شموس
Ma’mar menambahkan dalam riwayatnya dari Anas; jika saja hal itu saya
lakukan sekarang dengan salah satu dari mereka saat ini, maka mereka akan lari
sebagaimana keledai yang lepas. (Ibnu Hajar, Fathu al-Bari, hal. 2/211)
Ust. Yulizon Bachtiar (Ust. Zon Jonggol)
Posting Komentar