Khalifah
Utsman memerintahkan Marwan bin Al Hakam membawa Abu Dzar berangkat dan
mengantarnya sampai ditengah perjalanan. Tak ada seorang pun dari penduduk yang
berani mendekati Abu Dzar, kecuali Imam Ali, Aqil bin Abi Thalib dan dua orang
putera Imam Ali, yaitu Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husein. Beserta mereka
ikut pula Ammar bin Yasir.
Menjelang
saat keberangkatannya, Sayyidina Hasan mengajak Abu Dzar bercakap-cakap.
Mendengar itu Marwan bin Al-Hakam dengan bengis menegor: "Hai Hasan,
apakah engkau tidak mengerti bahwa Amirul Mukminin melarang bercakap-cakap
dengan orang ini? Kalau belum mengerti, ketahuilah sekarang!"
Melihat
sikap Marwan yang kasar itu, Imam Ali tak dapat menahan letupan
emosinya. Sambil membentak ia mencambuk kepala unta yang dikendarai oleh
Marwan: "Pergilah engkau dari sini! Allah akan menggiringmu ke
neraka."
Sudah
tentu unta yang dicambuk kepalanya itu meronta-ronta kesakitan. Marwan sangat
marah, tetapi ia tidak punya keberanian melawan Imam Ali. Cepat-cepat Marwan
kembali menghadap Khalifah untuk mengadukan perbuatan Imam Ali. Khalifah Utsman
meluap karena merasa perintahnya tidak dihiraukan oleh Imam Ali dan
anggota-anggota keluarganya.
Tindakan
Imam Ali terhadap Marwan itu ternyata mendorong orang lain berani mendekati Abu
Dzar guna mengucapkan selamat jalan. Diantara mereka itu terdapat seorang
bernama Dzakwan maula Ummi Hani binti Abu Thalib. Dzakwan dikemudian hari
Menceritakan pengalamannya sebagai berikut:
Aku
ingat benar apa yang dikatakan oleh mereka. Kepada Abu Dzar, Ali bin Abi Thalib
mengatakan: "Hai Abu Dzar engkau marah demi karena Allah! Orang-orang itu,
yakni para penguasa Bani Umayyah, takut kepadamu, sebab mereka takut kehilangan
dunianya. Oleh karena itu mereka mengusir dan membuangmu. Demi Allah,
seandainya langit dan bumi tertutup rapat bagi hamba Allah, tetapi hamba itu
kemudian penuh takwa kepada Allah, pasti ia akan dibukakan jalan keluar. Hai
Abu Dzar, tidak ada yang menggembirakan hatimu selain kebenaran, dan tidak ada
yang menjengkelkan hatimu selain kebatilan!"
Atas
dorongan Imam Ali, Aqil berkata kepada Abu Dzar: "Hai Abu Dzar, apa lagi
yang hendak kukatakan kepadamu! Engkau tahu bahwa kami ini semua
mencintaimu, dan kami pun tahu bahwa engkau sangat mencintai kami juga.
Bertakwa sajalah sepenuhnya kepada Allah, sebab takwa berarti selamat. Dan
bersabarlah, karena sabar sama dengan berbesar hati. Ketahuilah, tidak sabar
sama artinya dengan takut, dan mengharapkan maaf dari orang lain sama artinya
dengan putus asa. Oleh karena itu buanglah rasa takut dan putus asa."
Kemudian
Sayyidina Hasan berkata kepada Abu Dzar: "Jika seorang yang hendak
mengucapkan selamat jalan diharuskan diam, dan orang yang mengantarkan saudara
yang berpergian harus segera pulang, tentu percakapan akan menjadi sangat
sedikit, sedangkan sesal dan iba akan terus berkepanjangan. Engkau menyaksikan
sendiri, banyak orang sudah datang menjumpaimu. Buang sajalah ingatan tentang
kepahitan dunia, dan ingat saja kenangan manisnya. Buanglah perasaan sedih
mengingat kesukaran dimasa silam, dan gantikan saja dengan harapan masa
mendatang. Sabarkan hati sampai kelak berjumpa dengan Nabi-mu, dan beliau itu
benar-benar ridha kepadamu."
Kemudian
kini berkatalah Sayyidina Husein: "Hai paman, sesungguhnya Allah Swt
berkuasa mengubah semua yang paman alami. Tidak ada sesuatu yang lepas dari
pengawasan dan kekuasaan-Nya. Mereka berusaha agar paman tidak mengganggu dunia
mereka. Betapa butuhnya mereka itu kepada sesuatu yang hendak paman cegah!
Berlindunglah kepada Allah Swt dari keserakahan dan kecemasan. Sabar merupakan bagian
dari ajaran agama dan sama artinya dengan sifat pemurah. Keserakahan tidak akan
mempercepat datangnya rizki dan kebatilan tidak akan menunda datangnya
ajal!"
Dengan
nada marah Ammar bin Yasir menyambung: "Allah tidak akan membuat senang
orang yang telah membuatmu sedih, dan tidak akan menyelamatkan orang yang
menakut-nakutimu. Seandainya engkau puas melihat perbuatan mereka, tentu mereka
akan menyukaimu. Yang mencegah orang supaya tidak mengatakan seperti yang kau
katakan, hanyalah orang-orang yang merasa puas dengan dunia. Orang-orang
seperti itu takut menghadapi maut dan condong kepada kelompok yang berkuasa.
Kekuasaan hanyalah ada pada orang-orang yang menang. Oleh karena itu banyak
orang "menghadiahkan" agamanya masing-masing kepada mereka, dan sebagai
imbalan, mereka memberi kesenangan duniawi kepada orang-orang itu. Dengan
berbuat seperti itu, sebenarnya mereka menderita kerugian dunia dan akhirat.
Bukankah itu suatu kerugian yang senyata-nyatanya?!"
Sambil
berlinangan air mata Abu Dzar berkata: "Semoga Allah merahmati kalian,
wahai Ahlu Baitur Rahman! Bila melihat kalian aku teringat kepada Rasulullah
Saw. Suka-dukaku di Madinah selalu bersama kalian. Di Hijaz aku merasa berat
karena Utsman, dan di Syam aku merasa berat karena Muawiyah. Mereka tidak suka
melihatku berada di tengah-tengah saudara-saudaraku di kedua tempat itu. Mereka
memburuk-burukkan diriku, lalu aku diusir dan dibuang ke satu daerah, di mana
aku tidak akan mempunyai penolong dan pelindung selain Allah Swt Demi Allah,
aku tidak menginginkan teman selain Allah Swt dan bersama-Nya aku tidak takut
menghadapi kesulitan."
Tutur
Dzakwan lebih lanjut. Setelah semua orang yang mengantarkan pulang, Imam
Ali segera datang menghadap Khalifah Utsman bin Affan. Kepada Imam Ali,
Khalifah bertanya dengan hati gusar: "Mengapa engkau berani mengusir
pulang petugasku --yakni Marwan-- dan meremehkan perintahku?"
"Tentang
petugasmu," jawab Imam Ali dengan tenang "ia mencoba
menghalang-halangi niatku. Oleh karena itu ia kubalas. Adapun tentang
perintahmu, aku tidak meremehhannya."
"Apakah
engkau tidak mendengar perintahku yang melarang orang bercakap-cakap dengan Abu
Dzar?" ujar Khalifah dengan marah.
"Apakah
setiap engkau mengeluarkan larangan yang bersifat kedurhakaan harus
kuturut?" tanggap Imam Ali terhadap kata-kata Khalifah tadi dalam bentuk
pertanyaan.
"Kendalikan
dirimu terhadap Marwan!" ujar Khalifah memperingatkan Imam Ali.
"Mengapa?"
tanya Imam Ali.
"Engkau
telah memaki dia dan mencambuk unta yang dikendarainya" jawab
Khalifah.
"Mengenai
untanya yang kucambuk," Imam Ali menjelaskan sebagai tanggapan atas
keterangan Khalifah Utsman, "bolehlah ia membalas mencambuk untaku. Tetapi
kalau dia sampai memaki diriku, tiap satu kali dia memaki, engkau sendiri akan
kumaki dengan makian yang sama. Sungguh aku tidak berkata bohong
kepadamu!"
"Mengapa
dia tidak boleh memakimu?" tanya Khalifah Utsman dengan mencemooh.
"Apakah engkau lebih baik dari dia?!"
"Demi
Allah, bahkan aku lebih baik daripada engkau!" sahut Imam Ali dengan
tandas. Habis mengucapkan kata-kata itu Imam Ali cepat-cepat keluar
meninggalkan tempat.
Beberapa
waktu setelah terjadi insiden itu, Khalifah Utsman memanggil tokoh-tokoh kaum
Muhajirin dan Anshar termasuk tokoh-tokoh Bani Umayyah. Di hadapan mereka itu
ia menyatakan keluhannya terhadap sikap Imam Ali. Menanggapi keluhan
Khalifah Utsman bin Affan, para pemuka yang beliau ajak berbicara menasehatkan:
"Anda adalah pemimpin dia. Jika anda mengajak berdamai, itu lebih
baik."
"Aku
memang menghendaki itu," jawab Khalifah Utsman. Sesudah ini beberapa orang
dari pemuka muslimin itu mengambil prakarsa untuk menghapuskan ketegangan
antara Imam Ali dan Khalifah Utsman. Mereka menghubungi Imam Ali di rumahnya.
Kepada Imam Ali mereka bertanya: "Bagaimana kalau anda datang kepada
Khalifah dan Marwan untuk meminta maaf?"
"Tidak,"
jawab Imam Ali dengan cepat. "Aku tidak akan datang kepada Marwan dan
tidak akan meminta maaf kepadanya. Aku hanya mau minta maaf kepada Utsman dan
aku mau datang kepadanya."
Tak
lama kemudian datanglah panggilan dari Khalifah Utsman. Imam Ali
datang bersama beberapa orang Bani Hasyim. Sehabis memanjatkan puji syukur
kehadirat Allah Swt, Imam Ali berkata: "Yang kau ketahui tentang
percakapanku dengan Abu Dzar, waktu aku mengantar keberangkatannya, demi Allah,
tidak bermaksud mempersulit atau menentang keputusanmu. Yang kumaksud
semata-mata hanyalah memenuhi hak Abu Dzar. Ketika itu Marwan
menghalang-halangi dan hendak mencegah supaya aku tidak dapat memenuhi hak yang
telah diberikan Allah 'Azza wa Jalla kepada Abu Dzar. Karena itu aku terpaksa
menghalang-halangi Marwan, sama seperti dia menghalang-halangi maksudku. Adapun
tentang ucapanku kepadamu, itu dikarenakan engkau sangat menjengkelkan aku,
sehingga keluarlah marahku, yang sebenarnya aku sendiri tidak menyukainya."
Sebagai
tanggapan atas keterangan Imam Ali tersebut, Khalifah Utsman
berkata dengan nada lemah lembut, "Apa yang telah kau ucapkan
kepadaku, sudah kuikhlaskan. Dan apa yang telah kaulakukan terhadap Marwan,
Allah sudah memaafkan perbuatanmu. Adapun mengenai apa yang tadi engkau sampai
bersumpah, jelas bahwa engkau memang bersungguh-sungguh dan tidak berdusta.
Oleh karena itu ulurkanlah tanganmu!"
Imam Ali segera mengulurkan tangan, kemudian ditarik oleh Khalifah Utsman dan dilekatkan pada dadanya.
Imam Ali segera mengulurkan tangan, kemudian ditarik oleh Khalifah Utsman dan dilekatkan pada dadanya.
Abu
Bakar Ahmad bin Abdul Aziz Al Jauhariy dalam bukunya As Saqifah
Posting Komentar