Kita teramat dimanja oleh Allah SWT. Sadarkah kita? Curahan
kasihnya kepada kita tak tepermanai. Ia menggadang-gadang kehadiran kita di
firdaus-Nya. Ya, ia merindukan kita.
Kala kita melesat jauh dari dekapannya, Ia sigap.
Ayat-ayatnya segera berseru memanggil kita, sabda-sabda RasulNya akan lantang
mengajak kita kembali.
Dan, kala kita terasuki dosa, ia memberikan penawar.
Penawar yang sangat mujarab membersihkan ruhani kita dari gumpalan-gumpalan
dosa. Penawar itu teracik dan terkemas cantik dalam kalimat-kalimat sakti
“istighfar”. “Istighfar adalah instrumen
pemantik rizki”. Sudah barang tentu, kalimat ini multi tafsir. Dalam pandangan
salaf sekaliber Habib Umar, kata “rizki” memuat berjuta makna, ada rizki
ruhani, ada rizki ragawi.
Beliau kemudian melanjutkan kalamnya, “Kitabullah dan
hadis-hadis Rasul SAW menyebutkan fadhilah-fadhilah istighfar berulang kali.
Diantara fadhilahnya adalah melebur dosa-dosa, menetaskan jalan keluar dari
pelbagai persoalan, dan menyingkirkan kegalauan serta kesumpekan dari dalam
hati.”
“Memang, kesumpekan dan deraan persoalan, lazimnya
berpangkal dari perbuatan dosa. Oleh karena itu, seyogianya diobati dengan
istighfar dan taubat yang tulus ikhlas. Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa
melazimi istighfar, maka untuknya, Allah memberikan kebahagiaan dari
kemasyghulan, jalan keluar dari kesulitan-kesulitan, dan Ia akan melimpahkan
rizki kepadanya dengan cara-cara yang tak pernah diperhitungkannya.”
Seolah hendak menegaskan, Habib Umar menyebutkan lagi
fadhilah istighfar, “Khasiat istighfar adalah menghapus dosa-dosa, memendam
aib-aib, memperderas rizki, mengalirkan keselamatan pada diri dan harta,
mempermudah capaian cita-cita, menyuburkan berkah pada harta, dan mendekatkan
diri pada-Nya.”
“Logikanya, untuk menyucikan baju yang terciprat lumpur,
kita bilas dengan sabun, bukan malah didekatkan pada asap-asap tungku. Pun
demikian hati kita. Agar kian bersih dan molek, kita poles dengan istighfar,
serta kita hindarkan dari lumuran-lumuran maksiat.”
“Dulu kala, seseorang mengadu kepada Imam Hasan Bashri
mengenai kekeringan yang melanda negerinya. Sang Imam, dengan kearifannya,
memberikan resep sederhana, “beristighfarlah!”. Lalu datang seorang lainnya.
Kali ini ia mengeluhkan kefakiran yang terus menggelayutinya. Sang imam
memperlakukannya sama dengan yang pertama. Ia memberikan resep istighfar
kepadanya. Lalu datanglah orang ketiga. Yang terakhir ini menyambat nestapa
bahtera rumah tangganya karena tak kunjung dianugerahi buah hati. Sikap sang
imam masih seperti sebelumnya. Ia memberikan resep istighfar. Kepada
ketiga-tiganya, Imam Hasan memberikan obat yang sama, yakni istighfar, untuk
problematika yang beragam. Ia juga menjelaskan dalil-dalil al-qur’an dan
hadisnya kepada mereka.”
“Suatu waktu, kemarau panjang menerpa negeri muslimin.
Amirul mukminin, Umar bin al-Khattab tak mau tinggal diam. Ia segera
berinisiatif memohonkan hujan. Akan tetapi, bukannya salat istisqa’
yang dicanangkan Umar seperti pada galibnya. Kali ini, ia, seorang diri, hanya
melafalkan kalimat-kalimat istighfar.”
“Istighfar Umar bukan sembarang istighfar. Tapi istighfar
yang penuh ijabah. Tak lama kemudian, hujan deras menggerojok tanah
muslimin. Seseorang yang keheranan langsung melempar tanya, “bagaimana bisa
Anda memohon hujan hanya dengan menggumamkan istighfar?”. Dengan enteng, Umar
menukasi, “Aku memohon hujan dengan kunci-kunci langit.”
Kalam-kalam Habib Umar benar adanya. Kita perlu memaknainya
dengan bijak. Barangkali, berondongan musibah yang mendera tanah tumpah darah
kita ini adalah getah dari perbuatan kita sendiri. Tinggal bagaimana kita
menyikapi?
Sejatinya, kita membutuhkan figur Umar bin al-Khattab radhiallahu
‘anhu. Tapi, mengharap sosok Umar, di era seporak-poranda kini, ibarat
kerdil merindukan bulan, Sia-sia saja. Jadi, alangkah layaknya bila kita mulai
membudayakan taubat dan istighfar di tengah-tengah rutinitas kita. Mari kita
basahi bibir-bibir kita dengan istighfar, dengan pengharapan, barangkali Allah
SWT berkenan menyetarakan istighfar kolektif kita ini dengan sebiji istighfar
Umar bin al-khattab. Astaghfirullah rabbal baraya, astaghfirullah minal
khathaya.
Kitab Tafrihul
Qulub wa Tafrijul Kurub Karya Habib Umar bin Segaf as-Segaf as-Shofi
Posting Komentar