( فَرْعٌ ) يَقُومُ مَقَامَ
السُّجُودِ لِلتِّلاوَةِ أَوْ الشُّكْرِ مَا يَقُومُ مَقَامَ التَّحِيَّةِ لِمَنْ
لَمْ يُرِدْ فِعْلَهَا , وَلَوْ مُتَطَهِّرًا وَهُوَ سُبْحَانَ اللَّهِ ,
وَالْحَمْدُ لِلَّهِ , وَلا إلَهَ إلا اللَّهُ , وَاَللَّهُ أَكْبَرُ (حاشيتا
قليوبي وعميرة , ج 3 , ص 105, المكتبة الشاملة)
"Alternatif pengganti shalat
tahiyyatul masjid –meskipun dalam kondisi tidak hadats- dapat juga dijadikan
sebagai alternatif pengganti sujud tilawah atau sujud syukur. Alternatif
pengganti tersebut adalah membaca zikir: subhanallah walhamdulillah
wa laa ilaaha illallahu wallaahu akbar."
Keterangan di atas menjelaskan bahwa
jika kita tidak ingin melakukan sujud tilawah maka sebagai alternatifnya kita
dapat membaca zikir: subhanallah walhamdulillah wa laa ilaaha illallahu
wallaahu akbar.
Keputusan ini diambil dengan metode
qiyas. Tepatnya meng-qiyas-kan sujud tilawah kepada shalat tahiyyatul masjid.
Orang yang tidak ingin melakukan shalat tahiyyatul masjid saat memasuki masjid
dapat mengganti dengan zikir tersebut. Begitu juga orang yang membaca ayat
sajdah dan tidak ingin sujud atau tidak bisa melakukan sujud karena terhalang
oleh kondisi seperti (sekedar contoh) berada di dalam kendaraan maka ia dapat
menggantinya dengan zikir di atas.
Mengingat keputusan hukum di atas
diambil berdasarkan qiyas terhadap alternatif pengganti shalat tahiyyatul
masjid, maka sebaiknya kita perhatikan keterangan yang diberikan oleh Al
Qalyubiy terkait alternatif pengganti shalat tahiyyatul masjid. Beliau menulis:
قَالَ فِي الْإِحْيَاءِ : يُكْرَهُ
دُخُولُ الْمَسْجِدِ عَلَى غَيْرِ طُهْرٍ ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ مُتَطَهِّرًا ،
أَوْ لَمْ يُرِدْ التَّحِيَّةَ بِالصَّلَاةِ فَلْيَقُلْ : سُبْحَانَ اللَّهِ ،
وَالْحَمْدُ لِلَّهِ ، وَلَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ ، وَاَللَّهُ أَكْبَرُ أَرْبَعَ
مَرَّاتٍ كَمَا فِي الْأَذْكَارِ فَإِنَّهَا تَعْدِلُ رَكْعَتَيْنِ : زَادَ ابْنُ
الرِّفْعَةِ : وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إلَّا بِاَللَّهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيمِ
. (حاشيتا قليوبي وعميرة , ج 3 , ص 154, المكتبة الشاملة)
“Al Imam Al Ghazaliy (450 – 505 H)
–dalam Al Ihyaa`- mengatakan: memasuki masjid dalam kondisi tidak suci adalah
makruh. Jika seseorang tidak dalam kondisi suci atau tidak menginginkan shalat
tahiyyatul masjid maka sebaiknya dia membaca “subhanallah walhamdulillah
wa laa ilaaha illallahu wallaahu akbar” sebanyak empat kali. Hal yang sama juga
dijelaskan dalam Al Adzkaar. Karena zikir ini sebanyak empat kali setara dengan
(keistimewaan) shalat dua rakaat (sunnah).
Ibnu Rif’ah (645 – 710 H) menyarankan penambahan bacaan “walaa hawla wa laa
quwwata illaa billahil ‘aliyyil azhiim.”
Sebagaimana dijelaskan oleh Al Qalyubi,
An Nawawiy (631 – 676 H) juga mengemukakan hal yang sama dalam Al Adzkaar.
Berikut keterangan terkait dalam Al Adzkaar.
قال بعض أصحابنا : من دخل المسجد فلم
يتمكن من صلاة تحية المسجد ، إما لحدث ، أو لشغل أو نحوه ، يستحب أن يقول أربع
مرات : سبحان الله ، والحمد لله ، ولا إله إلا الله ، والله أكبر ، فقد قال به بعض
السلف ، وهذا لا بأس به (الأذكار, ج 1 , ص 32)
"Sebagian teman-teman kami
sesama mazhab (Syafi’i) mengatakan: Siapa yang memasuki masjid dan tidak sempat
melakukan shalat tahiyyatul masjid karena dalam kondisi hadats, sibuk
atau karena alasan sejenisnya maka ia dianjurkan membaca “subhanallah
walhamdulillah wa laa ilaaha illallahu wallaahu akbar”.
Sebagian ulama salaf menilai hal ini (penggantian shalat tahiyyah dengan zikir)
tidak ada masalah (laa ba`s)." Dalam hukum fiqh, pengakuan ulama
Salaf memiliki nilai yang cukup penting dalam membangun hukum. Untuk itu,
keterangan An Nawawiy di atas bahwa terdapat pernyataan laa ba`s dari
kalangan Salaf menjadi bermakna.
Ust. Faishol, Ponpes Muta'allimin Jakarta
Posting Komentar