Mengamati rujukan semua tulisan di
atas (pada bagian 1), tampak bahwa isu legalisasi penggantian shalat tahiyyatul masjid dengan
zikir dimaksud merujuk kepada sosok tokoh Imam Al Ghazaliy (450 – 505 H). Untuk itu
mari kita lihat keterangan beliau mengenai hal ini dalam Al Ihyaa`, al imam
menulis,
ولهذا يكره أن يدخل المسجد على غير
وضوء فإن دخل لعبور أو جلوس فليقل سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله
أكبر يقولها أربع مرات يقال إنها عدل ركعتين في الفضل (إحياء علوم الدين , ج 1 , ص
205, دار االمعرفة , بيروت)
“(Karena
shalat tahiyyatul masjid adalah sunnah mua`akkadah) maka adalah makruh bagi
seseorang memasuki masjid dalam kondisi tidak suci (berwudhu). Jika ia (yang
tidak berwudhu masuk juga ke masjid) untuk (sekedar) lewat atau (sekedar) duduk
maka ia sebaiknya membaca : “subhanallah walhamdulillah wa laa ilaaha
illallahu wallaahu akbar” sebanyak empat kali karena katanya (yuqaal)
zikir ini sebanyak empat kali setara dengan (keistimewaan) shalat dua rakaat
(sunnah).”
Perhatikan kalimat “yuqaalu”
dan seterusnya dalam pernyataan al imam Al Ghazaliy di atas. Kalimat ini
menjadi penting dalam argumentasi dan menjadi lebih penting ketika –dengan
metode qiyas- hukum lain dibangun di atas argumen tersebut .
Masih terkait dengan alternatif
pengganti shalat tahiyyah dengan zikir tertentu, Ash Shaawi –seorang ulama dari
kalangan Malikiyyah juga menghubungkannya dengan Al Ghazaliy. Beliau menulis,
ذَكَرَ سَيِّدِي أَحْمَدُ زَرُّوقٌ
عَنْ الْغَزَالِيِّ وَغَيْرِهِ أَنَّ مَنْ قَالَ : " سُبْحَانَ اللَّهِ
وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ " أَرْبَعَ
مَرَّاتٍ قَامَتْ مَقَامَ التَّحِيَّةِ ، فَيَنْبَغِي اسْتِعْمَالُهَا فِي وَقْتِ
النَّهْيِ أَوْ فِي أَوْقَاتِ الْجَوَازِ إذَا كَانَ غَيْرَ مُتَوَضِّئٍ .وَأَمَّا
إذَا كَانَ فِي أَوْقَاتِ الْجَوَازِ وَهُوَ مُتَوَضِّئٌ فَلَا بُدَّ مِنْ
الرَّكْعَتَيْنِ . إنْ قُلْت فِعْلُ التَّحِيَّةِ وَقْتَ النَّهْيِ عَنْ النَّفْلِ
مَنْهِيٌّ عَنْهُ فَكَيْفَ يُطْلَبُ بِبَدَلِهَا وَيُثَابُ عَلَيْهَا ؟ قُلْت :
لَا نُسَلِّمُ أَنَّ التَّحِيَّةَ وَقْتَ النَّهْيِ عَنْ التَّنَفُّلِ مَنْهِيٌّ
عَنْهَا ، بَلْ هِيَ مَطْلُوبَةٌ فِي وَقْتِ النَّهْيِ وَفِي وَقْتِ الْجَوَازِ ،
غَيْرَ أَنَّهَا فِي وَقْتِ الْجَوَازِ يُطْلَبُ فِعْلُهَا صَلَاةً وَفِي وَقْتِ
النَّهْيِ يُطْلَبُ فِعْلُهَا ذِكْرًا(حاشية الصاوي على الشرح الصغير , ج 2 ص 180,
المكتبة الشاملة)
“Guru
kami, Ahmad Zarruq menceritakan dari al imam Al Ghazali dan lainnya bahwa orang
yang membaca “subhanallah walhamdulillah wa laa ilaaha illallahu
wallaahu akbar” sebanyak empat kali maka bacaan tersebut dapat menempati posisi
shalat tahiyyatul masjid.
Seyogyanya alternatif
zikir ini digunakan pada waktu larangan shalat sunnah (mutlak –dalam mazhab
Syafi’I dikenal dengan istilah waktu makruh shalat. Penj) atau dalam
waktu jawaaz ketika tidak dalam kondisi suci. Sementara jika (orang
itu memasuki masjid) di waktu jawaaz dan dalam kondisi berwudhu maka seharusnya
melakukan shalat tahiyyatul masjid (bukan menggantinya dengan berzikir)." (terjemah seterusnya
diabaikan ………)
Sekali lagi, terlihat semakin jelas
bahwa ide alternatif zikir sebagai pengganti shalat tahiyyatul masjid merujuk
kepada pernyataan al imam Al Ghazaliy. Juga secara tersurat dijelaskan –oleh al
imam Al Ghazaliy sendiri- bahwa memunculkan alternatif ini dibangun
berdasarkan,
يقال إنها عدل ركعتين في الفضل
“Katanya
zikir tersebut sebanyak empat kali setara (dari segi keistimewaan) dengan
shalat (sunnah) dua rakaat.”
Kata yuqaal mengisyaratkan dua hal:
1. Ada riwayat dari Rasulullah SAW yang
menjelaskan bahwa zikir subhanallah ... setara dengan shalat dua rakaat dari
sisi keistimewaaan atau fadhilah.
2. Riwayat tersebut tidak valid. Ini
dapat dilihat dari redaksinya yang menggunakan bentuk kalimat pasif (mudhaari'
binaa` majhuul).
Yang menarik di sini adalah jawaban
yang dikemukakan oleh seorang ulama kalangan Syafi’iyyah sendiri terkait
masalah alternatif zikir pengganti shalat sunnah tahiyyatul masjid dan sujud
tilawah. Ulama yang dimaksud adalah Ibnu Hajar Al Haytamiy (atau Al Haytsamiy).
Ust. Faishol Ponpes Al Muta'allimin Jakarta
Posting Komentar