Alkisah, seorang saleh mengunjungi rumah
saudaranya yang juga terkenal saleh. Sebut saja Dullah dan Darsun. Setidaknya
tiap tahun Dullah pergi menjumpai saudaranya itu. Kali ini hampir saja Dullah tak bertemu
Darsun. Begitu mengetuk pintu, yang terdengar adalah suara istri Darsun,
"Siapa?"
"Saya saudara suamimu, datang untuk
mengunjunginya"
"Suamiku sedang mencari kayu. Semoga
ia tidak dikembalikan Allah ke rumah ini lagi."
Dari balik pintu itu, istri
Darsun kemudian terus mencaci-maki suaminya habis - habisan. Dullah hanya bisa menelan ludah, hingga
akhirnya ia melihat Darsun pulang membawa kayu bersama seekor singa. Ya, Darsun
meletakkan kayu itu di atas punggung binatang yang terkenal buas itu.
Sembari menurunkan kayu dari punggung
singa, Darsun berujar kepada istrinya, "Kembalilah ke dalam. Semoga Allah
memberkatimu," katanya yang lantas mempersilakan Dullah masuk ke dalam
rumah.
Sambil mengucapkan salam, Darsun
menampakkan air muka gembira menyambut kunjungan saudaranya itu. Tak lupa ia
sajikan makanan untuk Dullah. Pertemuan pun terasa cair dan hangat.
Dullah lalu berpamitan. Tapi satu hal yang
tetap menancap di pikiran Dullah: kekagumannya terhadap kesabaran Darsun
menghadapi istrinya yang super cerewet, gemar mengolok suami sendiri, bahkan
seperti melaknatnya. Darsun tak membalas lemparan kotoran dengan lemparan
serupa.
Tahun berikutnya, Dullah berkunjung lagi.
Sesaat selepas mengetuk pintu, sambutan ramah datang dari istri Darsun. Ucapan
"Selamat datang" meluncur, disusul dengan pujian terhadap tamu.
Perempuan itu juga memuji Darsun sembari menunggunya pulang.
Seperti biasa, Darsun pulang dengan membawa
kayu bakar. Hanya saja, hari itu ia tak lagi bersama singa. Beban kayu bakar ia
pikul sendiri di atas pundak. Darsun terlihat kian payah. Tapi sambutan yang
menyenangkan terhadap saudaranya itu tidak berubah.
Tentang dua suasana berbeda yang ia alami,
sebelum pamit Dullah memberanikan diri bertanya kepada Darsun. Mengapa
perempuan yang menyambutnya berbeda dari perempuan tahun sebelumnya? Kemana
pula singa perkasa yang dulu menggotong kayu itu?
Darsun memberi tahu, "Saudaraku,
istriku yang berperilaku tercela itu telah meninggal dunia. Aku berusaha sabar
atas perangai buruknya, sehingga Allah memberi kemudahanku untuk menaklukkan
singa. Karena kesabaranku itu. Lalu aku menikah lagi dengan perempuan salehah.
Aku sangat berbahagia dengannya. Hingga singa itu dijauhkan dariku, dan memaksaku
memikul sendiri kayu bakarku."
Apa yang diceritakan Syekh Nawawi ini tentu
bukan ingin melegitimasi perangai buruk seorang istri. Karena dalam kitab yang
sama, beliau berulang kali mengharuskan perempuan bersikap patuh dan menjaga tata
krama terhadap suami.
Pesan moral dititikberatkan kepada cara
suami menyikapi perilaku istri. Ketika situasi mendesak suami menghadapi
kemungkinan terburuk, maka bersabar adalah langkah paling bijak. Sabar berarti
kuat, bukan lemah, apalagi kalah. Sabar juga bisa menjadi modal dasar bagi
usaha untuk memperbaiki. Kemenangan dan kemuliaan Darsun dalam kisah tersebut
tercermin dari keistimewaan yang ia peroleh, sebagai imbalan dari kesabarannya
yang luar biasa itu.
Hal sama juga bisa terjadi sebaliknya,
yakni ketika istri terpaksa menghadapi perilaku suami yang jauh dari dambaan.
Kesabaran adalah pilihan utama. Karena, sebagaimana dikutip Syekh Nawawi,
Rasulullah bersabda:
ﻣَﻦْ ﺻَﺒَﺮَ ﻋَﻠﻰَ ﺳُﻮْﺀِ ﺧُﻠُﻖِ ﺯَﻭْﺟَﺘِﻪِ ﺃَﻋْﻄَﺎﻩُ
ﺍﻟﻠﻪُ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﻣِﺜْﻞَ ﻣَﺎ ﺃَﻋْﻄَﻰ ﺃَﻳُّﻮْﺏَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍﻟﺴَّﻼَﻡُ ﻣِﻦَ ﺍﻷَﺟْﺮِ ﻭَﺍﻟﺜَﻮَﺍﺏِ
"Siapa yang bersabar atas perangai
buruk suaminya maka Allah memberinya ganjaran yang setimpal dengan anugerah
yang diberikan kepada Nabi Ayub 'alaihis salam..."
Kitab Uqûdul Lujjain
karya Syekh Nawawi al-Bantani
Posting Komentar