Artinya, setelah memprioritaskaan urusan ketuhanan yang mencakup akidah dan
ibadah, bangsa Indonesia menaruh perhatiannya pada urusan mu’amalah sosial
(interaksi horizontal; antar manusia) dengan memperlakukan sesama manusia
secara adil dan beradab, tanpa ada penindasan atau ringan sebelah dalam
menetapkan suatu keputusan, baik yang bersifat kelompok, golongan maupun umum.
Ini berarti urusan sosial tidak kalah pentingnya dengan urusan ketuhanan tadi.
Demikian sangat relevan sekali dengan Islam yang di sana terdapat istilah
‘ibadah mahdhoh (ibadah murni, yakni ibadah hamba secara langsung kepada
Tuhannya; interaksi vertikal) dan ibadah ghoiru mahdhoh (ibadah yang tidak
secara langsung, atau dengan istilah lain ibadah sosial). Pun juga sejalan
dengan rukun Islam yang kedua, yakni shalat dan yang ketiga zakat.
Di dalam shalat, terdapat nilai sosial yang lumayan tinggi jika dikerjakan
berjamaah, baik di rumah maupun di surau dan masjid. Namun, dikerjakan di surau
dan masjid nilai sosialnya jauh lebih besar dibanding jika dikerjakan di rumah.
Oleh karenanya, Islam sangat menganjurkan umatnya untuk senantiasa mengerjakan
shalat dengan berjamaah, sebagaimana dikatakan, ”Sholatul jama’ah afdhalu min
sholatil fadzdzi bisab’in wa ‘isyrina darajat, shalat berjamaah lebih utama 27
derajat dari pada shalat sendiri.”
Sedangkan zakat, sudah tampak jelas nilai sosialnya, bahkan bisa dikatakan
bahwa zakat rukun Islam yang paling tinggi nilai sosialnya jika dibanding
dengan rukun-rukun lainnya. Jadi, sila kedua dari Pancasila tersebut sangatlah
sejalan dengan kedua rukun Islam tadi, tapi yang lebih sejajar adalah nilai
sosial dalam perintah zakat.
Sila Ketiga, The Unity of Indonesia (Persatuan Indonesia).
Artinya, setelah bangsa Indonesia terbangun dan akidahnya kokoh, juga membangun
jiwa sosial, ia menginginkan agar bangsa dengan berbagai suku, bahasa, etnis,
ras, agama, dan sektenya ini tetap bersatu padu dalam membangun Indonesia dan
menjaga serta melestarikan keamanan dan kemaslahatan warga, dengan tetap terus
saling gotong royong dalam hidup bersosial.
Sila ini, sangat sejalan dengan apa yang dikatakan Alquran Surat Al Baqarah Ayat 143 bahwa Manusia
itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus
para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka
Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara
yang mereka perselisihkan.
Dengan sila ketiga ini, diharapkan bangsa senantiasa menjaga kesatuan dan
persatuan dengan mengedepankan asas perdamaian dalam menyelesaikan segala
masalah, perselisihan ataupun konflik, baik yang skala mikro maupun makro.
Demikian, agar tidak terjadi sengketa dan perpecahan dalam negeri sebagaimana
yang digambarkan ayat tersebut.
Sila Keempat, Democracy Guided by the Inner Wisdom in Unanimity Arising Out of
Deliberations Amongst Representatives (Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan).
Artinya, dalam mengambil sikap dan keputusan, negara mengedepankan asas
musyawarah untuk mufakat, dengan menyingkirkan a priori, egois, otoriter, dsb.
Posisi sila ini, sangat tepat. Setelah masing-masing warga punya keyakinan yang
kuat dalam hal ketuhanan, yang kemudian diaplikasikan keyakinan itu dalam hidup
bersosial, dilanjutkan dengan menjaga persatuan dan kesatuan dalam
keberlangsungan hidup, demi menjaga itu semua, negara membuat aturan yang
sesuai dengan job discribtion masing-masing dengan penuh kearifan dan kebijakan
di bawah asas musyawarah untuk mufakat.
Sila keempat ini, sejalan dengan perintah Islam dalam Alquran yakni Maka disebabkan
rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu
bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu. Karena itu, ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka,
dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu (yakni urusan peperangan
dan hal-hal duniawi lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan
dan lain-lain). Q.S. Ali Imran: 159.
Jika dicermati dengan seksama, akan kita temui titik persamaan antara sila keempat dengan rukun Islam keempat, yakni puasa. Dalam
mencapai musyawarah untuk mufakat, masing-masing anggota perlu melatih diri
dengan membiasakan bersikap adil, jujur, bijak, dan tidak mudah emosi. Beberapa
faktor untuk mencapai musyawarah untuk mufakat tersebut, terkandung dalam
fungsi dan faidah puasa. Dalam puasa tidak ada yang tahu apakah kita berpuasa
atau tidak, kecuali Allah. Nah, di sana akan tertanam benih-benih kejujuran
yang timbul dari kebiasaan berpuasa tadi. Di sisi lain, dalam menunggu tibanya
waktu maghrib untuk bisa berbuka melepas lapar dan dahaga, terdapat pendidikan
kesabaran, tenggang rasa, sosial, keadilan, manejemen waktu, konsisten dan
komitmen. Di mana kesemua sifat-sifat tersebut sangatlah diperlukan oleh
masing-masing anggota musyawarah untuk bisa mencapai mufakat.
Ust. Anas Masudi Lc.
Posting Komentar