Sila kelima, Social Justice for the Whole of the People of Indonesia
(Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia).
Artinya, setelah negara menanamkan keempat prinsip dasar di atas, dari akidah,
kemanusiaan atau sosial, persatuan dan permusywaratan dalam mengambil
keputusan, ia menutup prinsip-prinsip tersebut dengan menekankan asas keadilan
dalam menetapkan suatu hukum, kususnya pada mereka yang terpidana. Semua,
siapapun orangnya, apapun pangkatnya dan bagaimanapun posisinya, jika melanggar
hukum harus dihukum dengan seadil-adilnya, bukan malah menghukum yang tidak
bersalah dan melindungi yang bersalah.
Sila terahir ini, bisa dikatakan sebagai penguat sila yang kedua. Hanya saja
sila kedua lebih menekankan nilai kemanusiaan secara umum, sedangkan sila
kelima lebih mengedepankan dan menekankan keadilan dalam bertindak dan memberi
hukum.
Jika dikomparasikan dengan rukun Islam, sila kelima ini ada kaitannya dengan
rukun Islam keempat, yakni puasa, sebagaimana tersebut di atas. Pun sekilas
tergambar dalam ritual praktek ibadah haji. Di sana, Islam tidak membedakan
antara yang kaya dan yang miskin, antara yang tampan atau cantik dan yang
jelek, antara yang pintar dan yang tidak pintar, yang rumahnya jauh dari Mekah
dan yang dekat, yang berkulit putih dan yang berkulit hitam, semuanya harus
berpakaian ihram, beribadah dengan cara yang sama dan di tempat-tempat yang
sama pula. Nah, di sanalah tergambar dengan jelas arti suatu keadilan dari satu
sisi. Dari sisi lain, ibadah haji melatih pelaksananya untuk rela berkorban di
jalan kebenaran. Dalam hal ini, bisa mendidik hujaj (jamaah haji) untuk mudah
mengulurkan tangan kepada fuqara’ wa masakin (fakir dan miskin) dan juga kepada
orang-orang yang membutuhkannya,
Di samping itu, sila kelima ini juga sejalan dengan perintah Islam yang
ter-cover dalam Alquran: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil…. (Q.S. Al Nisa’: 58).
Dari sini, tampaklah dengan jelas bahwa pancasila sebagai dasar negara
Indonesia yang notabene bukan Negara Islam (walaupun mayoritas penduduknya
muslim), sangat sejalan dengan ajaran-ajaran Islam, bahkan bisa dikatakan
”mirip” dengan lima pilar dasar dalam Islam itu sendiri.
Menurut hemat penulis, di sana tidak perlu diadakan perubahan atau pergantian
dalam masalah dasar negara dengan menyodorkan Alquran sebagai dasar hukum
negara. Karena itu, akan menimbulkan permasalahan baru yang sangat dimungkinkan
akan menimbulkan banyak korban dan nyawa yang akan melayang, serta akan memakan
waktu yang relatif lama.
Cukuplah Alquran sebagai dasar agama dan benteng keyakinan bagi masing-masing
warga negara yang muslim, kususnya Indonesia. Toh, berangkat dari individu yang
muslim dengan berusaha semaksimal mungkin untuk mengaplikasikannya dalam
kehidupan sehari-hari, dengan sendirinya akan terbentuk ”Negara Islam
kultural,” walaupun bukan ”Negara Islam formal.” Dan itu lebih baik daripada
”Negara Islam Formal” tapi kulturnya tidak Islami, atau bahkan terdapat kultur-kultur
yang menentang ajaran Islam itu sendiri di dalam sistem pemerintahan negara
tadi.
Demikian, sekilas paparan tentang filosofi pancasila yang penulis hasilkan dari
”renungan semalam” dengan hanya memahami teks Pancasia secara langsung, tanpa
ada kontribusi dari pemikiran atua tulisan orang lain di dalamnya, yang
kemudian penulis komparasikan dengan rukun Islam yang lima. Penulis yakin,
sekalipun ada kemungkinan salah atau kurang tepat dalam pemahaman penulis
terhadap teks pancasila tersebut, semua orang, kususnya warga Indonesia sangat
mengharapkan negara dan pemerintahannya bisa menerapkan pancasila sesuai dengan
apa yang dipahami penulis di atas.
Jika ternyata di lapangan ditemukan ketidak cocokan dengan apa yang penulis
sampaikan, itu bisa dikembalikan kepada pelakunya, bukan pada pancasila-nya.
Dengan pancasila, negara aman, tenteram, dan damai. Pun dengan rukun Islam,
agama akan tetap eksis menjaga keamanan dan kemaslahatan umat dalam hidup
beragama, berbangsa dan bernegara, serta dalam berinteraksi dengan sesama
manusia dengan tanpa bertepuk sebelah tangan.
Ust. Anas Masudi Lc.
Posting Komentar