Ada suatu kisah menyebutkan. Ada seorang penuntut ilmu
sedang mengalami kebingungan dan keraguan, apakah akan masuk mengikuti majelis
ini atau majelis yang itu. Dia melihat 2 kumpulan majelis pengajian ilmu yang
berbeda. Kedua majelis sama-sama mengajarkan al-Qur’an dan al-Hadits.
Dia
bingung mau memilih dan mengikuti majelis yang mana. Lantas dia pergi kepada
seorang yang sholeh untuk membuat pilihan baginya, lalu orang shaleh itu
berkata, “Aku akan membawa kamu pergi menuju kedua majelis tersebut”.
Mereka kemudian masuk ke kumpulan majelis yang pertama dan
berdiri. Orang shaleh ini sengaja berbuat demikian karena untuk mengetahui
majelis mana yang harus dia ikuti. Mereka berdua berdiri di kumpulan majelis
yang pertama dan ketika itu Sang Syaikh sedang mengajar.
Di saat Syaikh itu melihat mereka berdua sedang berdiri,
Syaikh berkata kepada mereka, “Duduk! Kenapa kamu berdiri?”.
Orang shaleh ini
menjawab, “Aku tidak ingin duduk di majelis kamu ini”.
Syaikh itu bertanya,
“Kenapa kamu tidak ingin duduk?”.
Orang shaleh itu kembali menjawab, “Dalam
hatiku ada rasa tak puas hati dengan kamu”.
Syaikh berkata, “Dan aku juga
sangat-sangat tak puas hati dengan kamu, keluarlah syaitan, dan jangan kamu
merusak majelis ini..!”.
Sang Pemuda berkata, “Ayo kita keluar dari sini
sebelum kena pukul”.
Kemudian mereka berdua pergi ke kumpulan selanjutnya,
majelis yang kedua, juga melakukan hal yang sama dalam keadaan berdiri. Ketika
dalam majelis itu Syaikh melihat mereka yang berdiri dan berkata, “Mengapa kamu
berdua tidak duduk?”.
Nampak perbedaan dengan Syaikh yang tadi yang berkata
“Duduk..!” dengan “Mengapa kamu berdua tidak duduk?”.
Orang shaleh itu menjawab, “Aku tidak ingin duduk dalam majelismu
ini”.
Sang Syaikh kembali berkata, “Kenapa?’.
Orang shaleh itu berkata, “Aku
ada rasa tidak puas hati dengan kamu”.
Lantas Syaikh itu menutup wajahnya lalu
menangis dan berkata, “Innalillah wa inna ilaihi roji’un, astaghfirullohi wa
atubu ilaih, mungkin Allah telah membukan kepada kamu aibku yang telah
disembunyikan”. Dan Syaikh itu terus menangis sambil berkata: “Astaghfirullohi
wa atubu ilaih… Astaghfirullohi wa atubu ilaih… Astaghfirullohi wa atubu ilaih…
”, (memohon ampunan Allah dan bertaubat kepadaNya).
Dan orang shaleh yang berdiri itu menoleh kepada si pemuda
yang bertanya kepadanya tadi, “Hai pemuda, majelis manakah yang akan kamu
pilih? Di sini atau di sana?”.
Kriteria sifat orang yang shaleh itu akan tampak jelas pada
akhlaknya yang shaleh pula. Jika kamu merasa harus membuat suatu pilihan.
Dikatakan orang ini dalam kebenaran dan orang lain pula kata mereka dalam
kebenaran, caranya lihatlah kepada akhlak mereka. Dimana ada tanda akhlak yang
mulia, tandanya di situ ada agama. Dimana ada tanda akhlak yang mulia, tanda
adanya juga di situ ilmu. Sekiranya di situ tidak ada akhlak yang mulia, maka
di situ juga tidak ada agama dan ilmu. Tidak mungkin beragama itu tanpa ada
akhlak yang mulia.
Tidak mungkin ciri sifat kesholehan itu dengan tidak disertai
akhlak yang mulia. Tidak mungkin adanya ilmu itu, dengan tanpa adanya akhlak
yang mulia. Maka setiap yang berilmu dan yang beragama, jika tidak terdzahir
(tampak) padanya akhlak yang mulia, maka di situ ada kecacatan pada orang yang
berilmu dan yang beragama.
Inilah kriterianya, janganlah kita berfikir melihat kepada
orang lain tetapi pandanglah kepada diri kita sendiri, untuk memperbaiki diri
diantara kita dengan Allah Subhanhu wa Ta’ala. Wallahu'alam
Habib Ali Al Jufri
Posting Komentar