Malam ini KH. Ahmad Musthofa Bisri berkenan memberi
mau’idlah hasanah dalam acara Haul Ny. Hj. Salimah dan KH. Dalhar Munawwir
rahimahumallah di Pondok Pesantern Al-Munawwir Komplek Nurussalam Krapyak
Yogyakarta. Antara yang menarik dalam ceramah beliau adalah tentang pentingnya
santri putri mempersiapkan diri menjadi kiai putri, atau menjadi istri
pendamping kiai
Malam ini kita memperingati Haul Ibu Ny. Hj. Salimah. Jadi
haulnya bu nyai. Ini sungguh penting, bukan sekedar soal emansipasi, tapi
momentum menjadikan ibu nyai sebagai figur teladan.
Kalau ada yang bilang “haul itu bid’ah”?! Sudah biarkan
saja. Dibilang “bid’ah” juga gak papa. Bahkan kalau perlu, kita mengadakan
“muludan” setiap malam, atau minimal sepekan sekali. Gimana tidak penting?!
Lha wong ada muludan, ada haul saja kelakuannya masih seperti itu, tidak sesuai
dengan Kanjeng Nabi, apalagi kalau tidak ada muludan?!
Kalau sedang dalam acara pengajian seperti ini semua orang
memang kelihatannya khusyu’ dan anteng-anteng. Tapi coba kalau pas di jalan,
apalagi pas demo! Lupa dengan Kanjeng Nabi yang halusnya luar biasa. Bahkan ada
yang mengaku ulama, tapi kelakuannya tidak seperti Kanjeng Nabi. Kenapa?!
Barangkali karena mereka tidak mendapat rahmat (kasih sayang) Allah Ta’ala.
Sebab Kanjeng Nabi sendiri bisa halus
dan lemah lembut seperti itu karena beliau mendapat rahmat Allah Ta’ala.
Allah berfirman:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللهِ لِنْتَ لَهُمْ
(Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah, engkau (Muhammad)
berlaku lemah lembut terhadap mereka.)
Adanya haul seperti ini juga agar kita ingat dengan
kematian. Semua orang kan merasa atau beranggapan akan hidup terus. Peringatan
haul seperti ini supaya menjadikan orang berpikir, besok kalau saya mati,
dihauli, atau tidak ya?!
Yang lebih istimewa, malam ini yang di-hauli adalah Bu Nyai.
Bahkan kalau perlu Anda memperingati Rabi’ah al-Adawiyah, seorang wali
perempuan luar biasa yang sangat pantas bila diperingati haulnya. Beliau
perempuan yang diganderungi oleh banyak lelaki, bahkan oleh para ulama jaman
itu. Tapi beliau menolak mereka, dan beralasan: “Saya sudah punya pacar kok.
Pacarku adalah Yang Paling Kuasa dan Paling Hebat sendiri…” Ya, beliau gandrung
kepada Gusti Allah. Hebatnya lagi saat curhat kepada Allah, beliau matur: “Ya
Allah, saat di Akherat kelak, bila Engkau tidak berkenan memasukkanku ke surga,
mohon -karena Engkau Maha Kuasa-, jadikan aku makhluk yang buesaaar sekali, yang
badanku dapat memenuhi neraka, yang karena itu menyebabkan orang tidak dapat
masuk neraka…” Kalau sekarang?. Orang merasa hanya dirinya yang akan masuk
surga, sementara orang lain masuk neraka. Atau menganggap dirinya pantas masuk
surga, dan tidak peduli orang lain masuk neraka.
Atau bisa juga memperingati Haul Sayyidah Khadijah, Sayyidah
Aisyah, istri-istri pendamping Nabi yang luar biasa. Coba Anda lihat kehidupan
kiai-kiai itu. Barangkali mereka punya anak-anak yang hebat, bukan karena diri
mereka, tapi karena istri-istri mereka. Kalau kiai, yang diurusi sudah banyak:
ngurusi santri, ngurusi masyarakat, yang akibatnya sering tidak ngopeni anak
sendiri. Siapa yang ngurusi anaknya? Ya, bu nyai.
Anda jangan meremehkan peran bu nyai sebagai pendamping
kiai. Mereka mempersiapkan segala kepentingan kiai, mulai dari menyiapkan
minuman kopinya, kitabnya… Belum lagi kalau ada urusan-urusan kemasyarakatan,
ibu nyailah yang akan menyiapkan konsumsinya, suguhannya… Belum lagi kalau
kiainya capek, mesti yang mijeti, ya bu nyai… Kalau kiai sedang mangkel dan
mengeluh: “Orang kok susah dinasehati… Diberitahu kok malah ngeyel/bantah…”,
ibu nyai-lah yang berperan besar ngerih-rih (Jawa: membangkitkan semangat) kiai
agar tidak “putus asa”, dengan bilang begini: “Sing sabar, bah…”
Kira-kira seperti itulah gambaran Sayyidah Khadijah
radliyallahu anha, yang menjadikan Kanjeng Nabi girab-girab (girang) saking
senengnya punya istri beliau. Bagaimana tidak?! Saya sendiri pernah naik Jabal
Nur (gunung tempat Gua Hiro’), yang waktu itu belum ditata sedemikian rupa
seperti sekarang ini, alias masih terjal dan asli. Kanjeng Nabi -sesudah
bertemu malaikat Jibril guna mendapat wahyu al-Qur’an yang pertama-, turun dari
gunung itu dengan bergegas, setengah berlari. Sampai di rumah, dalam keadaan
takut, gemetar dan campur aduk, beliau minta diselimuti oleh Siti Khadijah. Dan
apa yang dilakukan oleh Siti Khodijah? Beliau mendampingi dan ngerem-rem (Jawa:
memberi wejangan kesejukan) kepada Kanjeng Nabi agar dapat tenang, dengan
berkata: “Tidak mungkin Allah berlaku buruk terhadapmu, sebab panjenengan itu
orang baik. Allah tidak akan membiarkanmu…”
Luar biasa Siti Khadijah. Barangkali karena faktor seperti
itulah yang menjadikan Siti Aisyah tidak kuat menahan cemburu, padahal Siti
Khadijah sudah wafat bertahun-tahun lamanya. Hal ini karena Kanjeng Nabi masih
saja ingat dengan Siti Khadijah. Sedikit-sedikit ngomongi Khadijah, hingga
kemudian Nabi menjelaskan bahwa Siti Khadijah adalah wanita yang benar-benar
istimewa, di samping karena beliau adalah “orang yang pertama kali percaya
kepadaku, saat tidak ada sama sekali orang yang percaya kepadaku”.
Inilah pelajaran penting bagi Anda semua, wahai
santri-santri putri. Andalah nanti yang akan menjadi kiai putri, atau kalau
tidak bisa, ya harus siap menjadi istri pendamping kiai. Dan semua itu butuh
persiapan. Apa itu? Ya, ngaji sing tenanan. Mumpung Anda di sini, di pondok,
ngaji dan belajarlah dengan sungguh-sungguh. Hingga pada saatnya nanti Anda
sudah siap menjalankan peran Anda sebaik-baiknya.
Sumber: Kyai Hilmy Muhammad
Posting Komentar