Dakwah
merupakan satu bagian yang tidak dapat ditinggalkan dalam kehidupan umat
beragama. Dalam ajaran Islam, ia merupakan suatu kewajiban yang dibebankan oleh
agama kepada pemeluknya, baik yang sudah menganutnya ataupun belum.
Syeikh
Ali Mahfudh dalam kitabnya Hidayah al-Mursyidin, sebagaimana dikutip oleh KH.
Sahal mahfudh, menetapkan definisi dakwah sebagai: ”Mendorong (memotifasi)
untuk berbuat baik, mengikuti petunjuk Allah, menyuruh orang mengerjakan
kebaikan, melarang mengerjakan kejelekan, agar dia bahagia di dunia dan
akhirat”. (KH. Sahal Mahfud, Nuansa Fiqih Sosial, hal 97).
Sementara
dakwah menurut Quraish Shihab adalah seruan atau ajakan kepada keinsafan atau
usaha mengubah situasi kepada situasi yang lebih baik dan sempurna, baik
terhadap pribadi ataupun masyarakat.(Prof. dr. Quraisy Shihab, Membumikan
al-Quran, hal 194)
Dalam
merealisasikan kewajiban dakwah ini, para da’i atau muballigh
menggunakan banyak media dan metode, misalnya ceramah, diskusi, bimbingan
penyuluhan, penerbitan buku, majalah dan lain sebagainya. Disini perlu
ditegaskan bahwa masing masing media dan metode dakwah ini memiliki kelebihan,
keistemewaan dan kekurangan, sehingga dibutuhkan kejelian penggunaan media
dakwah tertentu sesuai dengan kondisi sasaran dakwah yang dihadapi. Ini
dimaksudkan supaya kita tidak fanatik kepada salah satu media dakwah dan
menyepelekan kepada media dakwah lainnya.
Kegiatan
dakwah dengan memahami dua definisi dakwah di atas, sepintas lalu tampak begitu
mudah dan ringan bahkan nyaris tanpa hambatan. Tetapi kegiatan dakwah dalam
tahap implementasi atau praktek di lapangan ternyata tidak sesederhana dan
semudah itu. Barangkali kalau sekadar menyampaikan materi atau pesan
dakwah saja banyak yang mampu. Namun untuk mencapai keberhasilan atau
kesuksesan dakwah, yang ditanda’i salah satunya lewat penerimaan secara sadar
dari sasaran dakwah terhadap materi atau pesan dakwah yang kita sampaikan dan
inilah letak kesulitannya.
Hal
itu membuktikan bahwa dalam menyampaikan materi atau pesan dakwah para juru
dakwah terkadang tidak cukup hanya menyampaikan materi dakwahnya secara
blak-blakan, lurus, dan transparan. Sebab penyampaian dakwah secara transparan
dan apa adanya ini kadang berpotensi besar menyudutkan tradisi, budaya, atau
nilai-nilai yang diagungkan oleh masyarakat yang menjadi objek dakwah. Padahal
sudah menjadi naluri manusia adalah tidak mau dipersalahkan. Dan orang akan
mempertahankan diri secara emosional manakala mereka diserang atau dipojokkan
secara psikologis. Bagaimana masyarakat bersedia menerima dakwah jika
mubalighnya tidak bisa menghargai mereka?
Ketika
seorang da’i dakwahnya tidak mendapat simpati dari masyarakat, janganlah keburu
ia menuduh masyarakat tersebut sebagai komunitas masyarakat yang bebal hatinya,
tidak mempan oleh nasihat. Justru pertama kali yang harus dikoreksi oleh da’i
tersebut adalah cara, sikap, dan strateginya dalam menyampaikan dakwah. Sudah
tepat dan benarkah metode yang ia sampaikan?
Oleh
karena itu, demi tercapainya keberhasilan dakwah, supaya pesan dakwah diterima
dan dipraktekkan oleh objek dakwah diperlukan seni, metode, dan pendekatan yang
benar. Dan strategi yang sering menjadi pedoman golongan sunni dan merupakan
manhaj dakwah salafusshaleh adalah metode dan cara pendekatan yang
sangat bagus dan persuasif, yaitu dengan hikmah, mauidzah hasanah, dan diskusi
atau dialog dengan cara yang lebih baik. Metode ini digali dari al-Quran surat
an-Nahl ayat 125.
KH.
Ahmad Shiddiq mengutip dari tafsir al-Khazin menerangkan lebih detail tiga
metode di atas. Mengajak dengan hikmah, artinya memberi keterangan yang mantap,
kokoh, dan benar. Atau menggunakan dalil-dalil yang benar yang mengungkapkan
kebenaran dan menghilangkan keragu-raguan.
Mauidzah
hasanah artinya memberi petunjuk yang menggairahkan kepada kebenaran
serta menunjukkan bahaya atau akibat perbuatan buruk, yang mengesankan kasih
sayang perawat bagi pasien. Metode dialog atau debat yang lebih baik artinya
menggunakan pendekatan yang lemah lembut. (KH. Ahmad Siddiq, Khittah
Nahdliyah, hal 85)
Kenapa penulis artikel ini mengatakan bahwa dakwah dengan
ketiga metode diatas adalah metode terbaik dan persuasif? Karena
dengan modal metode seperti itu, seperti apapun keadaan sasaran dakwah, sang
da’i tetap menghargai meraka, memosisikan mereka sebagai manusia yang tidak
hanya memiliki akal tetapi juga emosi dan perasaan yang tidak boleh
diperlakukan seenaknya layaknya patung. Dan inilah istilah yang penulis sebut
sebagai dakwah yang beradab.
Dengan
demikian karena objek dakwah merasa dihargai dan diperlakukan selayaknya
manusia lainnya, maka penerapan dakwah dengan metode hikmah, mauidzah hasanah
dan mujadalah bi ahsan ini punya peluang lebih besar untuk
diterima dan mendapat simpati dari masyarakat. Berbeda dengan metode dakwah
yang disampaikan dengan jalan kekerasan, paksaan dan cara-cara yang bersifat
sarkastik, alih-alih masyarakat akan bersimpati dan menerimanya, justru
perlawanan dan permusuhanlah yang akan dikobarkan oleh mereka. Atau seandainya
mereka mau menerima, besar dugaan penerimaan mereka itu karena
keterpaksaan yang semu sifatnya, bukan penerimaan atas dasar kesadaran diri. Wallahu
A’lam
Ust.
M. Haromain pada Mading Hidayah Lirboyo
Posting Komentar