Kami tidak pernah mengatakan bahwa pintu gerbang
ijtihad telah tertutup, karena kesempatan menjadi mujtahid tetap terbuka sampai
hari kiyamat. Namun secara realita, siapakah sekarang ini ulama yang mampu
masuk derajat mujtahid seperti asy-Syafi'i, Abu Hanifah, Malik, Ahmad bin
Hanbal dan lain-lain. Adakah doktor-doktor syari'at zaman sekarang yang dapat
di sejajarkan dengan ulama-ulama pengikut madzhab seperti Imam an-Nawawi, Ibnu
Hajar dan lain-lain? Jika tidak ada yang dapat di sejajar dengan mereka, lalu
kenapa tiba-tiba mereka mendakwahkan diri berijtihad?
Ketetapan wajib bertaqlid bagi orang yang belum
sampai derajat mujtahid adalah berdasar:
1. Dalil Al-Qur’an Q.S. an-Nahl ayat 43
فَاسْأَلوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا
تَعْلَمُونَ
“Bertanyalah kalian semua kepada orang yang
mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui.”
Dan sudah menjadi ijma’ ulama bahwa ayat tersebut memerintahkan bagi orang yang tidak mengetahui hukum dan dalilnya untuk ittiba’ (mengikuti) orang yang tahu. Dan mayoritas ulama ushul fiqh berpendapat bahwa ayat tersebut adalah dalil pokok pertama tentang kewajiban orang awam (orang yang belum mempunyai kapasitas istinbath [menggali hukum]) untuk mengikuti orang alim yang mujtahid.
Dan sudah menjadi ijma’ ulama bahwa ayat tersebut memerintahkan bagi orang yang tidak mengetahui hukum dan dalilnya untuk ittiba’ (mengikuti) orang yang tahu. Dan mayoritas ulama ushul fiqh berpendapat bahwa ayat tersebut adalah dalil pokok pertama tentang kewajiban orang awam (orang yang belum mempunyai kapasitas istinbath [menggali hukum]) untuk mengikuti orang alim yang mujtahid.
Senada dengan ayat di atas adalah Qur`an surat
At-Taubah ayat 122;
فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ
طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا
إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ (122)
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka Telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.( 122)
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka Telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.( 122)
2. Ijma’
Maksudnya, sudah menjadi kesepakatan dan tanpa ada
khilaf, bahwa shahabat-shahabat Rasulallah berbeda-beda taraf tingkatan
keilmuannya, dan tidak semua adalah ahli fatwa (mujtahid) seperti yang
disampaikan Ibnu Khaldun. Dan sudah nyata bahwa agama diambil dari semua
sahabat, tapi mereka ada yang memiliki kapasitas ijtihad dan itu relatif sangat
sedikit dibandingkan dengan jumlah semua sahabat. Di antaranya juga ada
mustafti atau muqallid (sahabat yang tidak mempunyai kapasitas ijtihad atau
istinbath) dan shahabat golongan ini jumlahnya sangat banyak.
Setiap shahabat yang ahli ijtihad seperti Abu Bakar,
‘Umar, ‘Ustman, Ali, ‘Abdullah bin Mas’ud, ‘Abdullah bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin
‘Umar dan lain-lain saat memberi fatwa pasti menyampaikan dalil fatwanya.
3. Dalil akal
Orang yang bukan ahli ijtihad apabila menemui suatu
masalah fiqhiyyah, pilihannya hanya ada dua, yaitu: antara berfikir dan
berijtihad sendiri sembari mencari dalil yang dapat menjawabnya atau bertaqlid
mengikuti pendapat mujtahid.
Jika memilih yang awal, maka itu sangat tidak
mungkin karena dia harus menggunakan semua waktunya untuk mencari, berfikir dan
berijtihad dengan dalil yang ada untuk menjawab masalahnya dan mempelajari
perangkat-perangkat ijtihad yang akan memakan waktu lama sehingga pekerjaan dan
profesi ma’isyah pastinya akan terbengkalai. Klimaksnya dunia ini rusak. Maka
tidak salah kalau Dr. al-Buthi memberi judul salah satu kitabnya dengan “Tidak
bermadzhab adalah bid’ah yang paling berbahaya yang dapat menghancurkan agama”.
Dan pilihan terakhirlah yang harus ditempuh, yaitu taqlid. (Allamadzhabiyah
hlm. 70-73, Takhrij Ahadits al-Luma’ hlm. 348. )
PISS-KTB
Posting Komentar