1. Wajib bagi orang yang tidak mampu ber-istinbath dari Al-Qur’an dan Hadits.
2. Haram bagi orang yang mampu dan syaratnya tentu
sangat ketat, sehingga mulai sekitar tahun 300 hijriah sudah tidak ada ulama
yang memenuhi kriteria atau syarat mujtahid. Mereka adalah Abu Hanifah, Malik,
asy-Syafi'i, Ahmad bin Hanbal, Sufyan ats-Tsauri, Dawud azh-Zhahiri dan
lain-lain.
Lalu menjawab perkataan empat imam madzhab yang
melarang orang lain bertaqlid kepada mereka adalah sebagaimana yang diterangkan
ulama-ulama, bahwa larangan tersebut ditujukan kepada orang-orang yang mampu
berijtihad dari Al-Qur’an dan Hadits, dan bukan bagi yang tidak mampu, karena
bagi mereka wajib bertaqlid agar tidak tersesat dalam menjalankan agama.
(Al-Mizan al-Kubra 1/62. )
Begitu juga menjawab Ibnu Hazm dalam Ihkam al-Ahkam
yang mengharamkan taqlid, karena haram yang dimaksudkan menurut beliau adalah
untuk orang yang ahli ijtihad sebagaimana disampaikan al-Buthi ketika menjawab
musykil dalam kitab Hujjah Allah al-Balighah [1/157-155] karya Waliyullah
ad-Dihlawi yang menukil pendapat Ibnu Hazm tentang keharaman taqlid. ( Al-la
Madzhabiyyah hlm. 133 dan ‘Iqdul Jid fi Ahkam al-Ijtihad wa at-Taqlid hlm. 22.
)
Dalam keyakinan orang-orang yang bermadzhab, antara taqlid dan ittiba’ (mengikuti pendapat ulama) adalah sama. Dan itu tidak pernah ditemukan bahasa atau istilah yang membedakannya. Namun, menurut orang-orang yang anti taqlid, meyakini adanya perbedaan antara dua bahasa tersebut sehingga jika mereka mengikuti pendapat ulama, seperti mengikuti Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qayyim, Nashiruddin al-Albani dan lain-lain maka menurut mereka, itu adalah bagian dari ittiba’ dan bukan taqlid. Karena menurut pehaman mereka, taqlid adalah mengikuti imam madzhab yang akan selalu diikuti, meski imam madzhab tersebut salah atau bisa di sebut taqlid buta. Sedangkan ittiba’ tidaklah demikian. Sebuah statemen dangkal dan tidak berdasar sama sekali.
Dalam keyakinan orang-orang yang bermadzhab, antara taqlid dan ittiba’ (mengikuti pendapat ulama) adalah sama. Dan itu tidak pernah ditemukan bahasa atau istilah yang membedakannya. Namun, menurut orang-orang yang anti taqlid, meyakini adanya perbedaan antara dua bahasa tersebut sehingga jika mereka mengikuti pendapat ulama, seperti mengikuti Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qayyim, Nashiruddin al-Albani dan lain-lain maka menurut mereka, itu adalah bagian dari ittiba’ dan bukan taqlid. Karena menurut pehaman mereka, taqlid adalah mengikuti imam madzhab yang akan selalu diikuti, meski imam madzhab tersebut salah atau bisa di sebut taqlid buta. Sedangkan ittiba’ tidaklah demikian. Sebuah statemen dangkal dan tidak berdasar sama sekali.
Mengenai masalah perbedaan dua kata diatas, pernah
terjadi dialog antara Dr. Muhammad Said Ramadhan al-Buthi dengan seseorang tamu
yang datang kepada belaiau. Tamu tersebut berkeyakinan seperti di atas bahwa
ada perbedaan antara taqlid dan ittiba’. Kemudian Dr. al-Buthi menantang tamu
tersebut untuk membuktikan apa perbedaan antara dua kata tersebut, apakah
secara bahasa atau ishtilah dengan di persilahkan mengambil referensi dari
kitab lughat ata kamus bahasa Arab. Namun, tamu tersebut tidak mampu
membuktikan pernyataannya tersebut.
Sama seperti apa yang di lakukan oleh Dr. Al-Buthi,
kami juga menantang orang-orang yang mengharamkan taqlid lalu mereka juga
mengambil pendapat Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qayyim, Nashiruddin al-Albani dan
lain-lain dalam tulisan dan pidato-pidato mereka, apakah hal itu termasuk
taqlid atau ittiba'? Jika mereka mengatakan bukan taqlid, maka klaim tersebut
perlu di buktikan secara ilmiyyah bukan asal bicara untuk membodohi umat.
Lebih jelasnya lihat kitab al-Lamadzhabiyyah, sebuah
karya apik yang menolak kebathilan orang-orang yang anti-madzhab dengan
argumen-arguman yang kuat. Termasuk di dalamnya terdapat catatan perdebatan
yang terjadi antara Nashiruddin al-Albani dengan Dr. Muhammad Said Ramadhan
al-Buthi.
PISS-KTB
Posting Komentar