Memiliki buah hati atau momongan
adalah suatu kebahagiaan bagi setiap orang tua, kehadirannya merupakan anugerah
dari Allah yang harus disyukuri sekaligus amanat yang harus dijaga dengan baik.
Sebaliknya, tak jarang ketidak-hadiran momongan menjadi pemicu keretakan rumah
tangga.
Salah satu bentuk syukur atas adanya
buah hati adalah menjaga dan merawatnya dengan sebaik mungkin, diantaranya
dengan memberikan air susu ibu (ASI).
Sebagian wanita -di tengah arus isu
emansipasi dan kesetaraan gender yang mengalir keluar dari batasnya kanalnya-
menganggap menyusui sebagai beban. Dengan alasan kesibukan, mereka rela tidak
menyusui buah hatinya sendiri. Bahkan diantaranya tega enggan menyusui anaknya
hanya dengan alasan demi menjaga keindahan tubuhnya. Lalu bagaimana Islam dan
para ahli hukum Islam memandang praktek menyusui?
Sebagai agama yang komprehensif,
Islam telah menyinggung masalah menyusui ini dalam Kitab-Nya, tepatnya dalam
al Baqarah, 233 :
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ
أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا
تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا
مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ فَإِنْ أَرَادَا
فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ
أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا
سَلَّمْتُمْ مَا ءَاتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ
اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (البقرة : 233)
"Para
ibu hendaklah menyusui
anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan
penyusuannya. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu
dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani kecuali sesuai dengan kadar
kemampuannya. Janganlah seorang ibu (menjadi) menderita sengsara karena anaknya
dan seorang ayah (jangan menjadi menderita) karena anaknya, dan ahli warispun
berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun)
dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas
keduanya. Dan jika kalian ingin anak kalian disusui oleh orang lain, maka tidak
ada dosa bagi kalian apabila kalian memberikan pembayaran sepatutnya.
Bertakwalah kalian kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa
yang kalian kerjakan."
Siapakah "para ibu" yang
dimaksud dalam ayat tersebut?
Ada tiga pendapat dalam memahami kata "para ibu" yang ada dalam ayat
di atas :
1. Mujahid, Ad Dhahhak dan As
Siddiy: maksud dari kata "para ibu" dalam ayat tersebut adalah
isteri-isteri yang telah dicerai oleh suaminya yang masih memiliki anak kecil
yang masih perlu disusui.
2. Al Wahidiy : makna kata "para
ibu" di sini adalah wanita yang masih berstatus sebagai isteri dan
memiliki anak kecil untuk disusui.
3. Abu Hayyan dalam Bahr al
Muhith : maksud dari kata "para ibu" di ayat tersebut
adalah umum, mencakup isteri aktif maupun isteri yang sudah dicerai.
Lalu bagaimana hukum menyusui itu
sendiri? lagi-lagi ulama berbeda pendapat dalam masalah ini:
Menurut Imam Malik, Wajib bagi
seorang ibu menyusui anaknya jika
a) dia masih berstatus sebagai isteri; atau
b) si anak tidak mau menyusu kepada selain ibunya; atau
c) tidak ada ayahnya.
Adapun bagi wanita yang telah dicerai ba`in maka tidak ada kewajiban
menyusui, kalau pun terpaksa dia menyusui, maka dia berhak mendapatkan upah
atas apa yang telah dia kerjakan.
Sementara mayoritas Ulama menghukumi Sunnah bagi
seorang ibu menyusui anaknya, kecuali dalam kondisi tertentu seperti jika anak
tersebut tidak mau menyusu kepada selain ibunya atau suaminya tidak mampu untuk
membayar biaya penyusuan anaknya, atau dia mampu namun tidak ada orang yang mau
menyusui anaknya. Dalam kondisi pengecualian tersebut maka hukum menyusui anak
adalah wajib.
Terlepas dari perbedaan ulama,
seorang anak adalah amanah dari Allah yang harus mendapatkan perawatan
terbaik dan menyusui merupakan salah satu cara perawatan yang terbaik. Satu hal
yang perlu dicatat adalah bahwa Islam amat menekankan pemberian air susu ibu
(ASI) kepada bayi, meskipun tidak harus melalui ibunya sendiri. Wallahu
a'lam.
Ust. Nur Ichwan, Pesantren Al Muta'allimin Jakarta
Posting Komentar