Ramadhan kembali hadir di tengah-tengah kita. Kaum Muslimin
menyambutnya dengan perasaan gembira. Hanya saja, sebagian menyambutnya dengan
rasa syahdu, sementara yang lain menyambutnya sebatas sebuah tradisi yang
dijalankan setiap tahun.
Sebagian menjadikan Ramadhan sebagai sarana perbaikan diri, sementara yang lain
tidak mendapatkan manfaat apa-apa dari bulan yang luar biasa ini, selain lapar,
haus, dan letih belaka. Sungguh sayang sekiranya kita berpuasa sebulan penuh
tapi tidak ada perbaikan diri yang dicapai saat keluar dari bulan yang mulia
ini.
Bulan Ramadhan memiliki banyak keutamaan. Selain dikenal sebagai Syahrul
Qur’an, Syahrul Jihad, dan beberapa nama lainnya, bulan Ramadhan juga
dikenal sebagai Syahrus Shabr, bulan kesabaran. Pada bulan Ramadhan kita
memang dituntut untuk banyak bersabar dan menahan diri.
Dengan berpuasa, kita harus bersabar dengan rasa lapar dan haus yang kita
tanggung sejak pagi hari hingga matahari terbenam. Kita juga harus bersabar dan
menahan lidah kita dari mengucapkan yang tidak baik atau marah-marah. Jika ada
yang mengajak berkelahi, kita dianjurkan untuk bersabar dan menjelaskan kepada
orang itu bahwa kita sedang berpuasa.
Saat berbuka puasa kita juga dianjurkan bersabar dan tidak menghabiskan terlalu
banyak makanan. Kita juga dianjurkan untuk memperbanyak bacaan Al-Quran dan
shalat malam pada bulan Ramadhan. Semuanya membutuhkan kesabaran.
Istilah sabar sangat akrab di telinga kaum Muslimin, tetapi tidak semua orang
memahami dan menghargai kesabaran. Tidak jarang kesabaran diidentikkan dengan
kelemahan dan ketidakberdayaan. Orang yang sabar kadang dilihat sebagai orang
yang pengalah dan tak berdaya. Padahal sabar adalah sumber kekuatan.
Di dalam Al-Quran dijelaskan bahwa satu orang yang sabar mampu mengalahkan
sepuluh lawan dalam pertempuran, atau setidaknya mereka mampu menghadapi lawan
sebanyak dua kali jumlah mereka (QS 8: 65-66). Ia juga merupakan suatu anugerah
yang besar. Tentang ini Rasulullah SAW bersabda, "…dan tidaklah
seseorang itu diberi sesuatu yang lebih baik dan lebih lapang daripada
kesabaran." (Muttafaqun Alaih)
Kesabaran merupakan karakter yang sangat mulia dan ia bisa diraih dengan cara
melatih dan membiasakan diri dengannya. Rasulullah SAW pernah menjelaskan,
"…barang siapa yang mensabar-sabarkan diri (berusaha untuk sabar), maka
Allah akan menjadikannya seorang yang sabar…" (HR. Bukhari). Bulan
Ramadhan merupakan kesempatan yang besar bagi seorang Muslim untuk melatih
kesabaran. Ia dilatih untuk mengontrol jiwanya dari pengaruh hawa nafsunya.
Dengan begitu ia bisa keluar dari bulan Ramadhan sebagai pribadi yang kuat dan
pandai mengendalikan diri dan emosinya.
Sabar memiliki pengertian yang luas. Secara umum para ulama menjelaskan bahwa
sabar memiliki tiga aspek, yaitu sabar dalam menjalankan perintah Allah, sabar
menahan diri dari yang dilarang oleh-Nya, dan sabar terhadap ketetapan-Nya.
Menariknya, konsep sabar juga mencakupi hampir seluruh pengertian kecerdasan
emosi (emotional intelligence).
Dalam beberapa tahun belakangan ini, kecerdasan emosi sering diperbincangkan
dan dianggap tidak kalah penting, atau malah lebih penting, dari kecerdasan
intelektual (IQ). Kecerdasan emosi dipercayai oleh sebagaian ahli sebagai
faktor yang lebih penting dalam menjamin kesuksesan seseorang. Dan tidak
seperti IQ, kecerdasan emosi bisa dilatih dan dikembangkan.
Jika kita memperhatikan penjelasan tentang kecerdasan emosi, ternyata konsep
kecerdasan ini juga tercakup dalam konsep kesabaran sebagaimana akan dibahas
nanti. Tapi sebelumnya, marilah kita perhatikan penjelasan umum tentang
kecerdasan emosi terlebih dahulu.
Apa yang dimaksud dengan kecerdasan emosi? Kapan dikatakan seseorang memiliki
emosi yang cerdas? Setidaknya ada dua ciri-ciri kecerdasan emosi. Pertama,
seorang dikatakan memiliki kecerdasan emosi ketika ia mampu mengendalikan
emosinya. Orang yang tidak pandai mengendalikan emosi, atau orang yang sering
dikendalikan oleh emosinya, merupakan orang yang tidak cerdas secara emosi.
Emosi memiliki banyak bentuk. Ia bisa berupa kemarahan, rasa takut, rasa cinta
atau keinginan yang kuat, rasa cemas, dan lain sebagainya. Seorang yang tidak
pandai mengendalikan emosi-emosi ini merupakan orang yang tidak cerdas secara
emosi.
Seorang yang memiliki IQ tinggi tapi tidak pandai mengontrol emosinya, boleh
jadi akan menjumpai kegagalan dalam hidupnya. Di Amerika Serikat pernah ada
kasus di mana seorang anak SMA memiliki nilai sangat bagus. Ia lulus dengan
nilai hampir semuanya sembilan dan sepuluh. Tapi ada satu mata pelajaran di
mana ia mendapat nilai delapan dan itu membuatnya sangat gelisah.
Ia ingin masuk ke sebuah universitas terbaik dan nilai delapan itu merupakan
penghalang bagi cita-citanya. Ia mendatangi guru mata pelajaran terkait dan
memohon agar bisa menaikkan nilainya. Guru tersebut menolak dan menyatakan
kalau nilainya sudah final. Anak ini begitu kecewa dan frustrasi. Ia merasa marah
dan takut gagal. Ia merasa kesal dengan sang guru sampai akhirnya ia menikam
guru itu dengan senjata tajam.
Begitulah, anak dengan nilai pelajaran begitu tinggi, akhirnya melanjutkan
kariernya ke penjara. Kasus ini memperlihatkan betapa kecerdasan emosi bisa
lebih menentukan dibandingkan IQ dalam menentukan kesuksesan seseorang. Anak
yang cerdas tadi tidak pandai mengendalikan emosinya, dan ia pun akhirnya jatuh
dalam masalah yang sangat serius.
Ust. Alwi Alatas
Posting Komentar