Zaman memang sedang
susah. Harga kebutuhan pokok terus melambung tinggi setiap hari. Sementara gaji
tidak tentu bertambah setiap bulan. Jutaan sarjana bertambah setiap tahunnya.
Namun sebagian besar perusahaan ‘kurang ramah’ dengan para sarjana baru lulus.
“Dibutuhkan karyawan yang berpengalaman, minimal pernah bekerja dua tahun,”
begitu semboyannya.
Banyak warga terdhalimi oleh situasi. Rumah-rumah mereka tergusur atau
digusur. Akibat kelalaian, puluhan ribu orang korban Lapindo Brantas kehilangan
tempat tinggal dan pekerjaan. Di saat yang sama, ada orang bermewah-mewah
untuk hal-hal yang sedikit kemanfaatanya. Ada pengusaha yang rela mengeluarkan
biaya 10 Milyar untuk biaya pernikahan anaknya. Seorang bakal calon Bupati atau
Walikota menghabiskan dana serupa untuk biaya kampanye.
Bahkan ada yang lebih menyedihkan dari semua itu. Menjelang perayaan Tahun
Baru 2010, sebuah pengelola hiburan di Jakarta rela menghabiskan uang Rp
2 Miliar hanya untuk biaya kembang api.
Fenomena ini bisa melukai perasaan Anda, khususnya yang sedang
menderita, yang tak memiliki pendapatan apa-apa dan yang selalu ditolak saat
melamar kerja.
Ini memang zaman susah. Meski demikian, semua kesusahan hendaknya tetap
menjadikan kita terus bersemangat untuk berusaha dan tidak gampang menyerah.
Kegigihan untuk mencari nafkah hendaknya tetap terjaga, jangan sampai
kendor. Ketidakadilan sosial atau politik, janganlah menyebakan kita menjadi
“buta” dan gelap mata.
Mengapa demikian pentingnya bekerja? Karena dalam agama kita, bekerja bukan
semata untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan, lebih dari itu, ia akan
mengangkat derajat kita di mata manusia maupun di sisi-Nya. Dalam agama Islam,
orang yang bekerja adalah orang yang memiliki harga diri dan kemuliaan.
Dalam salah satu haditsnya, baginda Rasulullah SAW menjelaskan, “Seorang
yang membawa tambang lalu pergi mencari dan mengumpulkan kayu bakar lantas
dibawanya ke pasar untuk dijual dan uangnya digunakan untuk mencukupi kebutuhan
dan nafkah dirinya maka itu lebih baik dari seorang yang meminta-minta kepada
orang-orang yang terkadang diberi dan kadang ditolak.” (HR.Mutafaq’alaih)
Orang yang dengan gigih bekerja keras, membanting tulang, mencari rezki dari
memeras keringat dan makan dari hasil itu, maka itu lebih baik dari makan hasil
yang diperoleh dari harta warisan, atau memperoleh berdasarkan pemberian orang
karena si pemberi merasa terdorong untuk memberi, terlebih jika shadaqah itu
memang diminta-minta.
Dalam hadits yang lain, Rasulullah SAW bersabda, ”Barangsiapa pada malam
hari merasakan kelelahan dari upaya ketrampilan kedua tangannya pada siang
hari, maka pada malam itu ia diampuni oleh Allah SWT.” (HR. Ahmad)
Semua bentuk usaha yang dilakukan dengan membanting tulang dan pantang
menyerah akan memompa semangat berkontraksi otot tubuh yang menyebabkan
kesehatannya tetap terjaga dan semakin menambah kekuatannya. Secara fisik orang
yang berlaku seperti ini akan tumbuh menjadi pribadi yang kuat, sedang dalam
jiwanya akan tumbuh rasa percaya diri dan sifat mandiri. Ia tidak
tergantung dengan orang lain.
Sebaliknya orang yang hidup berdasar dari belas kasih orang lain, selain
bermental pasif, mereka juga memiliki jiwa lemah bahkan mematikan jiwa. Dengan
sangat tegas Nabi mengingatkan kepada kita bahwa, “Pengangguran (dapat)
menyebabkan hati keras (keji dan membeku).”(HR. Asysyihaab).
Ali Atwa Hidayatullah
Posting Komentar