Dalam Surat Al Kahfi diantaranya dijelaskan mengenai pengalaman
Spiritual Musa dan Khidir (Al-Kahfi: 60-82).
Siapakah Nabi Musa?
Beliau masih keturunan Nabi Ibrahim AS. Sejak
dalam kandungan sudah menderita sebab pada masa itu adalah masa Fir’aun berjaya.
Ahli Nujum selaku penasehat Fir’aun bermimpi bahwa akan lahir seorang anak yang
kelak menggantikan posisinya sebagai raja. Fir’aun tidak terima dan
memerintahkan untuk membunuh semua perempuan hamil. Beruntung ibunya Musa
berhasil lolos karena perutnya tidak terlihat seperti hamil.
Ahli Nujum itu
mengabarkan lagi bahwa calon bayi itu masih selamat. Lalu Fir’aun memerintahkan
untuk membunuh seluruh bayi di negeri itu. Dan dicurigailah rumah ibu Musa.
Sementara itu, Ibu Musa sudah sedikit frustasi. Sampai-sampai dia berpikiran
“daripada anakku mati di tangan Fir’aun lebih baik dia mati di tanganku”.
Dengan berat hati dia menyembunyikan bayinya di atas pemanggang roti yang
panas. Algojo pun tak berhasil menemukan bayinya. Satu-satunya tempat yang
tidak digeledah adalah pemanggang roti itu karena mereka berpikir tidak mungkin
dijadikan persembunyian. Setelah algojo pergi, si Ibu dengan lemasnya membuka
pemanggang roti. Dia membayangkan bayinya telah mati terpanggang. Namun ajaib!
Saat tutupnya dibuka, bayi itu justru tersenyum pada ibunya. Maasyaa Allah!
Karena cemas Fir’aun akan berulah lagi, Ibu Musa memutuskan
untuk menghanyuntukan bayinya ke sungai Nil. Lagi-lagi keajaiban terjadi,
alih-alih mengalir dari hulu ke hilir, peti itu justru melawan arus dan
berhenti tepat di belakang istana Fir’aun. Yang akhirnya ditemukan oleh istri
Fir’aun yang sedang mandi. Melihat bayi itu, Asiyah begitu gembira. Apalagi
sudah lama belum dikaruniai putra.
Maka dia membujuk suaminya agar diizinkan
untuk merawat bayi itu. Asiyah tercatat sebagai salah satu perempuan mulia yang
disebuntukan oleh Nabi karena ketaatannya meski pada akhir hayatnya harus
disiksa oleh suaminya sendiri. Saat musa kecil mulai rewel karena minta ASI,
Asiyah mencarikan ibu susuan untuk anak angkatnya. Dan satu-satunya perempuan yang
berhasil menenangkan bayi Musa ternyata tak lain adl Ibu kandungnya sendiri.
Musa pun disusui olehnya. Ibunya sudah merasa bahwa bayi itu adl anaknya namun
dia tetap bungkam demi keselamatan putranya.
Kisah rumah tangga Fir’aun menunjukkan bahwa tidak mesti
orang jahat selalu dikelilingi orang jahat. Begitu pula sebaliknya. Jangan
mudah menilai seseorang dari nasab atau lingkungan keluarganya. Istri paling
shalihah justru istrinya orang paling jahat (Fir'aun). Anak yang paling buruk
justru anaknya nabi Nuh. Paman paling jahat justru pamannya Nabi SAW. Setiap
manusia akan mempertanggungjawabkan dirinya masing-masing. Maka itu, jangan
hanya mengandalkan nasab! Wajar bila orang baik lahir dari orang tua yang baik,
tapi itu tidak menjamin. Tetap harus ada pendidikan yang diberikan orang tua
pada anak agar menjadi baik.
Ketika sudah besar, Musa berhasil mengalahkan Fir’aun dan
Allah memberinya mukjizat dapat membelah lautan yang akhirnya menenggelamkan
Fir’aun. Saat menyeberangi laut merah, Fir'aun mengendarai kereta kencana yang
ikut tenggelam. Pada tahun 80an, seorang arkeolog menemukan fosil kereta tersebut
di dasar laut merah. (Allahu Akbar! Terbukti bahwa kisah ini nyata terjadi)
Kecerdasan Musa sangat tinggi sehingga dia bisa "bercakap-cakap" dengan Allah (oleh karena itu Nabi Musa digelari Kalimullah). Dilatarbelakangi pernyataan dari
seorang khadimnya bahwa dia orang paling ‘alim, kemudian Allah berfirman bahwa
ada yang lebih alim. Maka Musa antusias untuk berguru padanya. Ternyata yang
dimaksud adalah Khidir. Sikap Musa menujukkan bahwa untuk bisa memperoleh ilmu,
seseorang harus tawadhu’ dan mau terus belajar dari siapapun. Bahkan Musa yang
memiliki kecerdasan luar biasa pun masih mau belajar. Apalagi kita?
Dalam ayat tersebut Musa menyatakan dia akan berjalan hingga
melihat bertemunya dua lautan (majma’al bahrain). Dalam tafsir Ar-Razi, yang
dimaksud dua lautan itu bukan secara harfiahnya namun itu perumpamaan ilmu.
Lautan menjadi simbol keilmuan. Bertemunya dua lautan menggambarkan bertemunya
epistimologi ilmu barat dan ilmu timur. Ilmu yang berasal dari barat adl
mengedepankan rasionalitas. Sementara ilmu yang berasal dari timur adl mengasah
spiritualitas. Jika keduanya mampu dipadukan dalam diri seseorang, maka dia
telah menjadi manusia kamil. "Secerdas-cerdasnya akal manusia, hatinya
tetap butuh sentuhan".
Kisah perjalanan Musa dan Khidir mengajarkan kita beberapa
hal:
1. Tawadhu’
dan jangan sombong jika ingin memperoleh ilmu
2. Sabar
dalam menuntut ilmu, artinya sabar juga untuk menaati guru
3. Jangan
bersikap tadbiir (terlalu banyak bertanya/membantah)
4. Jangan
mudah menyimpulkan sesuatu, sebab tiap kejadian tentu ada hikmah pelajaran yang
dapat dipetik
Wallahua’lam bis showab
Prof. KH. Nasaruddin Umar (Imam Besar Masjid Istiqlal)
Posting Komentar